Untuk pertama kali sejak 24 Februari 2020 rupiah berhasil menembul level psikologis dibawah Rp 14.000 per dollar amerika dengan level terbaiknya yaitu Rp 13.835. Keberhasilan rupiah mencapai nilai tukar Rp 13.000 bisa dibilang cukup melegakan mengingat selama beberapa bulan terkahir ini rupiah seakan manjadi pesakitan dari mata uang lain terutama dollar amerika.Â
Pandemi COVID-19 yang menghantam negara-negara di dunia termasuk Indonesia menjadikan perputaran roda bisnis terhambat. Bahkan sebagian diantaranya terhenti sehingga membuat modal yang tertanam di Indonesia dibawa lari investor.
Seiring dengan menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar amerika apakah ini merupakan pertanda bahwa perekonomian Indonesia akan segera membaik? Atau ini hanya euforia sesaat pasca pemberlakuan new normal yang mengizinkan unit usaha beroperasi kembali. Apabila ancaman gelombang kedua COVID-19 sampai terjadi maka situasi seperti sebelumnya tidak menutup kemungkinan akan kembali terjadi. Sehingga ada dua hal penting yang patut diperhatikan disini.Â
Pertama, ketaatan masyarakat dalam mengikuti protokol kesehatan selama menjalani new normal. Termasuk para pebisnis yang juga harus memberikan dukungan penuh terhadap penerapan protokol kesehatan dengan memfasilitasi perlindungan kepada para pekerjanya. Bagaimanapun juga kepedulian terhadap aspek kesehatan merupakan intisari dari new normal itu sendiri.
Kedua, melakukan langkah akselerasi dan juga inovasi lini usaha. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada banyak sekali perusahaan yang mengalami keterpurukan akibat efek pandemi. Sebaliknya, ada juga perusahaan-perusahaan yang menemukan momentum kegemilangan selama masa pandemi. Mereka adalah perusahaan yang menganadlkan teknologi digital. Dulu, siapa yang kenal Zoom? Sekarang ia begitu populer bahkan mengalahkan pemberitaan tentang Gojek dan sejenisnya. Zoom dan segenap penyedia layanan digital lain menemukan momentum kebangkitannya.Â
Hal ini seharusnya menjadi pelajaran bagi segenap pelaku usaha. Untuk menata kembali dirinya, untuk mendisrupsi layanan bisnisnya. Sebuah perusahaan yang sebelumnya memproduksi pakaian untuk ekspor selama masa pandemi COVID-19 terjadi kemungkinan besar akan terpuruk. Terkecuali mereka yang mencoba melebarkan sayap untuk memproduksi baju Alat Pelindung Diri (APD) atau sejenisnya. Pandemi COVID-19 telah memaksa kita semua untuk bertindak lebih cepat dari seharusnya.Â
Tanpa pandemi COVID-19 mungkin dunia digital baru benar-benar mendominasi di beberapa tahun mendatang. Akan tetapi hal itu sepertinya terjadi lebih cepat dari perkiraan dengan adanya pandemi tersebut. Tidak ada yang tahu apakah gelombang kedua COVID-19 akan terjadi atau tidak. Namun kita sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengendalikan hal itu. Sembari mengantisipasi segala kemungkinan buruk yang akan terjadi, melakukan langkah perubahan juga perlu dilakukan. Secepat dan sebaik mungkin. Sehingga apabila situasi buruk serupa terulang kita sudah memiliki persiapan yang jauh lebih baik.
Semua ini adalah tentang cara bagaimana kita bersikap. Bagaimana kita mempersiapkan rencana A,B,C dan seterusnya. Kemarin kita menyebut bahwa situasi yang terjadi saat ini sebagai yang pertama kali terjadi sehingga memberi kita banyak pelajaran berharga. Seharusnya kita sudah memiliki imunitas seandainya kondisi serupa kembali terjadi di masa yang akan datang. Tata caranya sudah ada, strateginya sudah ada juga. Tinggal apakah kita berkenan mengeksekusinya atau tidak.Â
Kebangkitan pasca pandemi adalah sebuah kemungkinan yang bisa terwujud selama kita mau mengupayakannya. Paling tidak rupiah sudah memberikan kita pelajaran berhaga bahwa setelah terpuruk kita pun bisa kembali bangkit dengan lebih gemilang lagi. Seperti rupiah yang tengah memburu rekor nilai tukar terbaiknya terhadap dollah amerika. Mampukah?
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Refferensi :
[1]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H