Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Normal" Itu Masa Lalu, "New Normal" adalah Masa Depan

30 Mei 2020   10:28 Diperbarui: 30 Mei 2020   10:17 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : medcom.id

Pada periode normal, El Clasico antara FC Barcelona versus Real Madrid akan ditonton sekitar 85.000 sampai 95.000 penonton di stadion plus jutaan pasang mata di seluruh dunia yang menyaksikannya via tayangan televisi. Tapi, pada era "new normal" El Clasico hanya akan ditonton oleh jutaan pasang mata plus 85.000 -- 95.000 penonton yang "beralih" dari dalam stadion dan menonton di rumah masing-masing. Stadion akan menjadi kosong dan hanya dinikmati sajiannya melalui layanan tayangan jarak jauh. Social distancing. Mungkin seperti itulah gambaran penerapan kehidupan normal baru dalam menonton sebuah pertandingan olahraga sepakbola.

Social distancing akan menjadi kata kunci kehidupan normal baru yang belakangan ramai dibicarakan itu. Harapan akan pemulihan situasi dan kondisi pasca new normal sudah banyak dibicarakan. Namun tidak sedikit yang menaruh kekhawatiran efek buruk persebaran virus corona COVID-19 menjadi semakin meluas. 

Politisi Fadli Zon menyebut bahwa semestinya pemerintah menghindari kebijakan coba-coba, mengingat rakyat bukanlah objek yang tepat untuk itu. Meski pemerintah sendiri sudah menyatakan bahwa mereka tidak akan serta merta memberlakukan new normal terkecuali persebaran di wilayah tersebut terkendali. Tapi kekhawatiran publik tidak bisa disembunyikan. Apalagi melihat "aksi" Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu yang meninjau kesiapan mal di kawasan Bekasi untuk mengoperasikan mal dalam konsep new normal.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bahkan menyebut bahwa pembukaan mal pada Juni mendatang merupakan sebuah imajinasi. Suatu angan-angan yang semestinya ditinjau ulang mengingat persebaran COVID-19 yang terus meluas. Lebih jauh lagi, media belakangan juga ramai memberitakan perihal konsekuensi negatif yang harus ditanggung Korea Selatan (Korsel) pasca pemberlakuan new normal. Korban terinfeksi COVID-19 kembali melonjak. New normal disebut gagal dan pembatasan sosial pun kembali diperketat.

New normal tidak akan terjadi tanpa pemberlakuan social distancing yang ketat berikut kedisiplinan dalam mengenakan masker dan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun. Kalau boleh membandingkan, lebih disiplin mana antara warga Korsel dengan warga Indonesia? Mungkin karena itulah presiden menginstruksikan keterlibatan TNI dalam mendisiplinkan masyarakat. "Mengerasi" masyarakat agar bisa hidup lebih disiplin daripada sebelumnya. 

Jadi jangan aneh apabila nanti kita mendapati prajurit TNI berjaga di sekitaran lingkungan mal. Jangan aneh juga saat ada prajurit berjejer di pusat-pusat keramaian sembari mengingatkan warga untuk tetap saling jaga jarak. Kehidupan normal kita mungkin hanya akan menjadi masa lalu. Masa depan sepertinya akan mengarah pada new normal. Namun tidaklah semudah itu merubah normal menjadi new normal. New normal memiliki syarat dan ketentuan tertentu yang harus dipenuhi.

Kalaupun new normal berhasil diterapkan, akan ada sisi lain yang "dikorbankan". Seperti pertandingan bola yang sempat disinggung diawal. Sepakbola tanpa penonton didalam stadion akan menghilangkan sisi "magis" dari olahraga populer tersebut. Atmosfer pertandingan akan jauh berbeda. Bukan hanya oleh para pemain diatas lapangan, tetapi bahkan penonton yang menyaksikan pertandingan via tayangan televisi pun akan merasakan hal serupa. Ada sisi psikologis dari pertandingan bola yang harus tergerus pasca penerapan new normal dalam olahraga tersebut. Demikian juga dengan jenis olaharaga lainnya.

Korelasinya dengan kehidupan new normal yang dicanangkan oleh pemerintah adalah bahwa ada sisi lain kehidupan kita yang akan sangat berbeda ketimbang sebelum-sebelumnya. Kehidupan menahun yang kita jalani dengan cara yang selama ini melekat mesti diubah. Kali ini bukan sedikit demi sedikit, tapi secara frontal. Tidak ada waktu untuk kaget dalam menghadapi situasi serba baru ini. Sangat sulit menata perasaan kita untuk menyikapi situasi baru ini. Tapi sepertinya tidak ada pilihan lain. Setidaknya untuk saat ini. Jikalau selama ini kita sering merasa penasaran terkait seperti apa masa depan, mungkin sekaranglah saat itu tiba. Masa depan bisa sangat berbeda dengan yang kita harapkan.

Salam hangat,

Agil S Habib 

Refferensi :

[1]; [2]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun