Sangat tidak biasanya Joko Widodo (Jokowi) mendapatkan kritikan dari politisi atau orang-orang yang "sealiran" dengannya. Sesama kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Apalagi selama ini partai berlogo banteng moncong putih senantiasa menjadi "kendaraan" yang mengantarkan Jokowi ke kursi presiden selama dua periode berturut-turut.
Sebaliknya, Jokowi juga menjadi magnet elektoral yang luar biasa bagi partai besutan Megawati Soekarnoputri itu. Semenjak Jokowi tampil sebagai andalan dalam setiap periode pemilihan umum (pemilu), PDIP selalu menjadi urutan pertama partai pemenang pemilu.
Jokowi menyuntikkan energi besar ke PDIP setelelah pemilu terdahulu yang sempat "dipencundangi" oleh Partai Golkar dan Partai Demokrat. Sehingga tidak mengherankan apabila PDIP begitu militan mendukung setiap kebijakan Presiden Jokowi, dan sebaliknya Jokowi juga memberikan porsi peran strategis dalam pemerintahan kepada para kolega satu partainya. Simbiosis mutualisme.
Lontaran kritik dari politisi partai kepada pemerintah tentu menjadi hal yang biasa. Namun tidak biasa apabila kritikan itu dilakukan oleh para politisi dengan latar belakang partai yang sama. Bahkan terkesan "tabu". Normalnya, setiap kebijakan pemerintah akan senantiasa didukung oleh partainya sendiri. Dan seperti itulah yang dulu-dulu terjadi.
Lantas ketika belakangan ini mengemuka pemberitaan perihal lontaran kritik dari politisi PDIP kepada Presiden Jokowi, maka hal itu sangatlah tidak biasa. Sepertinya aneh terdengar di telinga publik.
Apakah pandemi virus corona telah merenggangkan hubungan harmonis yang sudah terajut selama ini? Harus diakui bahwa mayoritas kebijakan Jokowi terkait pandemi COVID-19 mendapatkan respon negatif dari masyarakat. Belum lagi carut marut penanganan situasi pandemi yang memicu masalah disana sini. Yang terbaru, kebijakan pemerintah menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan langsung ditanggapi negatif banyak kalangan. Termasuk oleh beberapa kader PDIP sendiri.
Anggota Komisi IX Fraksi PDI Perjuangan, Ribka Tjiptaning, menyantakan tidak setuju dengan keputusan kenaikan iuran BPJS ini. Menurutnya hal itu hanya akan mempersulit rakyat dan semestinya pemerintah mempunya sensitivitas terkait situasi saat ini. Hal senada juga disampaikan oleh Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo, yang menyebut kebijakan menaikkan iuran BPJS itu menyengsarakan rakyat. FX Hadi Rudyatmo juga merupakan politisi berlatar belakang PDIP, sama seperti Jokowi. Bahkan sama-sama orang Solo.
Jika merunut pada pernyataan Ribka Tjiptaning yang menyebut termasuk Ketua DPR Puan Maharani turut tidak menyetujui kebijakan kenaikan iuran BPJS yang dilakukan Presiden Jokowi, maka itu artinya para kader PDIP mulai ramai-ramai menentang kebijakan sang "kader andalan".
Apakah ini murni wujud implementasi fungsi kontrol terhadap presiden ataukah hanya upaya untuk "melarikan diri" dari kebijakan tidak populis sang presiden? Atau lebih jauh lagi Jokowi mungkin mulai dijauhi oleh internal partainya sendiri.
Sudah menjadi rahasisa umum bahwa saat ini adalah periode terakhir Jokowi berkuasa. Untuk pemilu selanjutnya Jokowi tidak akan memiliki "nilai jual" lagi di hadapan rakyat pemilih. Popularitas Jokowi tidak bisa lagi dijual untuk menaikkan citra partai. Justru sebaliknya, setiap langkah "ceroboh" Jokowi akan memberikan imbas penilaian negatif terhadap para partai pendukungnya, terutama PDIP sebagai "tempat asal" Jokowi.
Hal ini tentu dihindari oleh para kader PDIP yang masih memiliki cukup banyak agenda di masa depan. Pemilihan kepala daerah, pemilu legislatif 2024, hingga pilpres 2024. PDIP mungkin merasa harus mulai jaga jarak dengan sang presiden dan sedikit demi sedikit terlepas dari ketergantungan terhadap popularitas Jokowi.