Pemerintah berkeyakinan bahwa angka terinfeksi COVID-19 di Indonesia akan segera mengalami penurunan. Kurva korban terinfeksi diharapkan segera melandai dalam waktu dekat ini. Sehigga munculah opsi untuk melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).Â
Wacana itu sudah dimulai ketika beberapa waktu lalu pemerintah mengutarakan tengah mengkaji opsi untuk memajukan kembali libur lebaran yang sebelumnya dimundurkan di akhir tahun.Â
Selain itu, transportasi publik sudah mulai diizinkan beroperasi kembali meski masih terbatas untuk beberapa kalangan tertentu. Pelonggaran rumah ibadah juga tengah digodok peraturannya.Â
Wacana pelonggaran PSBB yang disampaikan pemerintah juga turut diilhami oleh beberapa negara di dunia yang melakukan langkah serupa.Â
Bedanya, negara-negara lain umumnya melonggarkan lockdown ke level yang lebih "normal". Mungkin ketaraf PSBB seperti di negara kita yang memungkinkan roda ekonomi tetap berjalan biarpun lambat.Â
Sedangkan Indonesia yang sudah PSBB masih hendak dilonggarkan kembali karena dirasa hal itu masih cukup memberatkan laju perekonomian negara.
Seperti diketahui, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot cukup tajam menajdi sekitar 2,97 persen pada kuartal I/2020.
Banyak keluhan disampaikan oleh pelaku industri selama pandemi COVID-19 terjadi di Indonesia beberapa bulan belakangan ini.Â
Badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dialami sebagian masyarakat kita. Sebagian yang lain harus menerima kenyataan diliburkan sementara dari pekerjaannya dan tidak menerima gaji penuh.Â
Untuk Tunjangan Hari Raya (THR) belum tentu semua pekerja beruntung mendapatkan jatahnya. Jika pandemi terjadi berkepanjangan, dan pembatasan aktivitas sosial terus berlaku lebih lama lagi dikhawatirkan hal itu akan membuat perekonomian semakin terpuruk.
Apa yang dialami oleh tukang ojeng pangkalan atau sopir angkutan kota (angkot) mungkin menjadi potret yang paling mudah dilihat terkait imbas dari kondisi ini.Â
Tukang ojek di wilayah dekat rumah kerabat saya beberapa kali mengeluhkan sepinya penumpang seiring larangan transportasi umum melintas. Biasanya bus antar kota menjadi andalan mereka untuk mengais nafkah, tetapi belakangan mendapatkan satu penumpang saja dalam sehari sudah sangat-sangat luar biasa bagi mereka.Â
Demikian halnya dengan para sopir angkot yang biasanya mangkal di kawasan pabrik untuk mengangkut karyawan borongan. Dengan terimbasnya operasional produksi akibat lesunya penjualan, mau tidak mau para karyawan borongan juga diliburkan. Dan para sopir angkot pun kehilangan penumpangnya.
Pemerintah dihadapkan pada realitas ekonomi yang semakin terpuruk akibat pandemi COVID-19. Sepertinya alasan inilah yang jauh lebih masuk akal untuk dijadikan rujukan pemerintah dalam melonggarkan kebijakan PSBB ketimbang kepercayaan diri bahwa pandemi sudah mulai melandai. Karena memang sejauh ini angka terinfeksi masih terus bertambah. Demikian juga dengan angka kematian.Â
PSBB diberlakukan saja masih tidak cukup membantu menekan laju persebaran COVID-19, apalagi PSBB dilonggarkan? Masalahnya jika tetap dengan kondisi sekarang perekonomian bisa makin terpuruk. Angka pengangguran bisa melonjak. Kemiskinan meningkat. Sebuah dilema sebenarnya bagi para pemangku kebijakan.
Sejujurnya saya pribadi masih bingung jikalau diharuskan memilih untuk memprioritaskan salah satu diantara perekonomian atau kesehatan publik. Kesehatan menyangkut nyawa manusia.Â
Perekonomian secara tidak langsung juga berimbas pada hal serupa. Kita tentu ingat kasus sebuah keluarga di wilayah Banten yang terpaksa menahan lapar selama 2 hari tanpa makan dan hanya meminum air putih saja karena tidak memiliki uang samasekali.Â
Bukan tidak mungkin masih ada lagi diluaran sana orang-orang dengan situasi serupa. Terasa begitu sulit saat kita diharuskan memilihsalah satu dari dua hal yang semestinya bisa dipilih kedua-duanya.
Tidak bisakah kita memilih untuk tetap membatasi jarak sosial dan segenap kebijakan pembatasan interaksi antar manusia agar persebaran bisa ditekan sembari tetap memastikan roda perekonomian tetap berjalan secara normal?Â
Sejauh ini hanya bisnis yang mengedepankan aspek digitalisasi saja yang menunjukkan eksistensinya. Sektor-sektor riil yang menuntut pergerakan langsung tubuh manusia masih tetap mengalami desakan yang luar biasa.Â
Sukar untuk bergerak lincah seperti sediakala. Andaikan kita memiliki tubuh buatan seperti pada film "Surrogates", mungkin kita akan tetap bisa menjalankan pekerjaan di luar ruangan seperti biasa tanpa harus khawatir terinfeksi COVID-19. Sayangnya sejauh ini teknologi semacam itu masih belum tersedia di pasaran.
Akhirnya kita hanya bisa memilih antara risiko ekonomi atau risiko kesehatan. Mengutip pernyataan Dahlan Iskan, kita berupaya membangun kembali reruntuhan akibat kebakaran sedangkan diatas api yang masih terus menyala.Â
Risiko bangunan itu akan ambruk kembali bisa terjadi kapan saja. Entah seperti apa pusingnya pemerintah kita sekarang ini. Tapi kita semestinya turut mendoakan yang terbaik untuk negara ini. Berharap pemerintah kita bisa mengambil jalan penyelesaian yang terbaik.
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Refferensi:Â [1]; [2]; [3]; [4]; [5]; [6]; [7]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H