Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Merindu Sarinah Menyangkal Corona

11 Mei 2020   14:19 Diperbarui: 11 Mei 2020   14:37 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cluster Sarinah. Istilah itu belakangan mengemuka pasca berkumpulnya ribuan pasang mata memadati kompleks Sarinah menjelang penutupan McD Sarinah beberapa waktu lalu. Ratusan atau bahkan mungkin ribuan orang memadati sebuah kawasan di tengah pandemi COVID-19 yang mengharamkan dilakukannya aktivitas berkerumun. Tapi apadaya sebuah nostalgia mengabaikan hal itu. 

Virus corona yang tengah mewabah seolah disangkal keberadaannya atas nama nostalgia. Padahal sebuah nyawa jauh lebih bermakna ketimbang nostalgia model apapun.

Peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 Mei 2020 itu memang patut menjadi keprihatinan kita bersama. Terlebih Jakarta sedang berstatus PSBB. Penutupan gerai McD yang beroperasi selama 30 tahun itu tidak semestinya memantik aksi pelanggaran masal terhadap aturan PSBB. Meski dengan alasan nostalgia sekalipun. 

Siapa yang patut bertanggung jawab terkait hal ini? Pihak manajemen seharusnya mempertimbangkan efek dan risiko atas tindakannya. Manajemen McD Sarinah mungkin bisa berargumen bahwa mereka tidak mengedarkan undangan agar masyarakat mendatangi acara tersebut. 

Lantas mengapa acara seperti itu diinformasikan ke hadapan publik jikalau tidak mengharapkan adanya pengunjung? Sekalian saja prosesi penutupan dilakukan secara tertutup atau sebatas disiarkan via kanal online.

Jikalau beberapa hari dari sekarang kemudian bermunculan korban terinfeksi baru COVID-19, maka siapa yang paling bersalah? Pihak manajemen pastinya turut menanggung beban atas hal ini. Lalu bagaimana dengan warga yang berbondong-bondong datang? Tidakkah mereka menyadari risiko besar dari kerumunan yang mereka timbulkan? 

Sepertinya COVID-19 masih begitu dipandang remeh oleh sebagian kalangan. Termasuk oleh mereka yang waktu itu turut berduyun-duyun datang menyaksikan penutupan gerai McD di Sarinah. Sebegitu luarbiasakah kenangan masa lalu mereka disana sehingga berani mengambil risiko demikian besar? 

Percuma saja kerinduan dan nostalgia terobati kalau pada akhirnya ia harus berobat dan merabat diri akibat terinfeksi COVID-19. Apabila kemudian salah seorang dari yang hadir kala itu mendapatkan "nasib sial" terkena COVID-19, yang harus mereka salahkan pertama kali adalah diri mereka sendiri. Bukan orang lain. Bukan manajemen McD Sarinah. Bukan pula pemerintah. Apalagi elit global.

Yang bisa diharapkan saat ini hanyalah jangan sampai ada satu orangpun yang membawa COVID-19 dalam tubuhnya hadir dalam kerumunan malam itu. Semoga para pembawa virus sedang sangat malas untuk keluar rumah saat itu. 

Kini semua sudah berlalu. Waktu tidak bisa diulang. Kerumunan sudah bubar. Dengan kemungkinan beberapa orang membawa pulang virus ke rumahnya masing-masing. 

Menyesal? Tidak ada gunanya lagi. Upaya preventif sudah dilanggar. Kini hanya langkah korektif yang bisa ditempuh. Sembari tetap berharap semua masih akan tetap baik-baik saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun