Pandemi Covid-19 memang masih terus melanda, akan tetapi perekonomian harus terus berputar. Transaksi jual beli adalah sebuah keharusan bagi setiap orang untuk menunjang keberlangsungan ekonomi.Â
Terutama perekonomian masing-masing keluarga. Berbicara tentang transaksi jual beli, maka dalam hal ini kita tidak bisa melepaskannya dari kesepakatan antara pembeli dan penjual. Penjual menjajakan barang dagangannya dengan kisaran harga tertentu.Â
Orientasi mereka tentu keuntungan yang sebesar-besarnya dengan tetap memperhatikan perkiraan harga "wajar" yang sekiranya tetap bisa dijangkau oleh pembeli.
Sebaliknya, pembeli menginginkan barang terbaik dengan harga yang semurah mungkin. Akibatnya terjadilah tawar menawar antara kedua belah pihak. Mengupayakan titik temu harga yang disepakati sebelum akad jual beli dilakukan.Â
Bagi para pembeli yang lihai menawar umumnya akan berpeluang mendapatkan harga yang paling "bersahabat" untuk dibayarkan kepada para penjual.Â
Dan "sayangnya" tidak semua orang memiliki "bakat" demikian. Sebagian orang lebih memilih untuk menerima harga secara apa adanya seperti yang ditawarkan para penjaja dagangan.
Berkaitan dengan prosesi tawar menawar, ada satu hal yang mungkin bisa diadopsi oleh semua calon pembeli meski tidak memiliki cukup bakat untuk menawar barang dagangan.
Khususnya dalam melakukan transaksi di pasar tradisional atau pedagang "pinggiran" yang tidak menyematkan harga pas terhadap produk-produknya.Â
Hal itu adalah memanfaatkan bahasa daerah. Lakukan komunikasi selama proses transaksi dengan menggunakan bahasa daerah yang digunakan di daerah setempat atau lebih khusus lagi sesuai bahasa daerah asal pedagang dimana kita tertarik untuk membeli.Â
Pada umumnya pasar tradisional para pedagangnya kebanyakan berlatar belakang orang dari daerah atau perantau. Para pedagang itu banyak yang "kedaerahan" atau bukan asli orang kota. Lebih nyaman berbahasa daerahnya masing-masing seperti Sunda, Jawa, Madura, dan lain sebagainya.Â
Saat ada orang yang cenderung formil akan membeli barang dagangan mereka dan calon pembeli itu menggunakan Bahasa Indonesia untuk berkomunikasi maka biasanya para pedagang tersebut akan menjajakan harga "terbaik" atau yang memberikan margin keuntungan tertinggi.Â
Toh, mereka orang kota. Pasti uangnya banyak. Demikian anggapan yang seringkali muncul di benak para pedagang itu. Apalagi kalau calon pembeli itu tidak terlalu cerewet dalam menawar. Maka bersiap-siaplah dibanderol dengan harga yang diatas normal.
Hanya beberapa jam perjalanan saja. Meskipun begitu, saat membeli beberapa barang kebutuhan seperti buah-buahan atau barang-barang lain yang dijajakan di pinggir jalan, harga yang ditawarkan oleh sang penjual terkesan begitu mahal.Â
Barulah dari situ kerabat tadi mengeluarkan "jurus" negosiasi dengan bahasa daerah. Saat itu kebetulan bahasa sunda. Setelah beberapa waktu bernegosiasi, akhirnya didapatkan harga yang lebih murah ketimbang harga awal yang ditawarkan sang penjual.Â
Situasi ini bukan hanya sekali dua kali dialami oleh kerabat saya tadi. Melainkan sudah beberapa kali. Dan dari situlah kemudian ia menyimpulkan bahwa dirinya tidak mau lagi berbelanja di pedagang tradisional menggunakan Bahasa Indonesia. Ia lebih memilih menggunakan bahasa daerah asalnya, bahasa Sunda.
Pengalaman kerabat saya tersebut mirip dengan apa yang dialami oleh teman kuliah saya dulu. Teman saya itu adalah seorang berlatar etnis Madura, sehingga fasih berbahasa madura. Dan umumnya para pedagang di daerah dekat tempat kuliah kami kebanyakan adalah perantau dari Madura.Â
Sebenarnya bertransaksi menggunakan Bahasa Indonesia juga bisa dilakukan. Namun apabila transaksi dilakukan menggunakan "bahasa ibu" dimana para pedagang itu berasal serasa ada solidaritas sosial didalamnya.Â
Ada rasa segan untuk mematok harta tinggi kepada saudara satu suku, yang teridentifikasi melalui bahasa daerah yang dipakai. Biarpun mungkin para pembelinya bukan berasal dari suku asli dari bahasa yang ia gunakan, hal itu seakan tetap memberikan kesan berbeda bagi sang penjual.Â
Entah itu penghargaan atau keakraban yang tidak bisa diungkapkan penjabarannya. Tapi pada intinya bertransaksi jual beli menggunakan bahasa daerah memberikan cukup banyak keuntungan.Â
Paling tidak si pembeli bisa mendapatkan harga yang relatif lebih murah ketimbang saat membelinya dengan "kedok" orang kota.
Mungkin inilah salah satu sisi keunikan masyarakat kita yang memiliki beraneka ragam etnis, suku, dan budaya. Seiring dengan begitu kuatnya pengaruh daerah dalam kultur masyarakat kita, ternyata hal itu juga bisa memberikan sisi keuntungan yang tidak disangka-sangka.Â
So, jangan malu untuk berbelanja menggunakan bahasa daerah biarpun untuk saat ini kita hidup di wilayah perkotaan. Selain menjaga kosakata bahasa daerah kita tetap terjaga, hal itu juga memberikan sisi keuntungan secara ekonomis.
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H