Sudah beberapa waktu berlalu sejak pandemi COVID-19 menjangkiti Indonesia. Kondisinya terlihat belum terlalu membaik. Hal ini pun membuat banyak kalangan menilai buruk kinerja pemerintah, khususnya terkait penanganan situasi pandemi di Indonesia.Â
Sebuah riset yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menunjukkan bahwa mayoritas kebijakan terkait COVID-19 yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan jajarannya direspon negatif oleh publik. Dari delapan kebijakan yang dipantau oleh indef, enam diantarananya disebut memicu sentimen negatif masyarakat dan hanya dua saja yang dinilai positif.
Kebijakan seperti PSBB, ketidaktegasan larangan mudik, pengangguran akibat COVID-19, program kartu prakerja, pengamanan sosial, dan terakhir adalah aturan khusus penghinaan presiden. Sebagian publik menilai bahwa PSBB kurang efektif, dan ada juga yang menilai pemerintah lepas tangan terhadap kondisi masyarakat.Â
Sedangkan terkait mudik sebagian menilai risiko ekonomi dibalik pelarangan mudik dan juga kurang tegasnya pemerintah saat pertama kali wacana ini digaungkan. Seperti yang kita tahu, pada awalnya larangan mudik hanya sebatas anjuran dan masih baru-baru saja larangan tegas diberlakukan.Â
Belum lagi bahasan mengenai kartu pra kerja yang ditengari ada permainan didalamnya seiring penunjukan Ruang Guru sebagai mitra. Aturan terkait penghinaan presiden sepertinya juga kurang pas dibahas selama periode serba sulit yang dialami masyarakat belakangan ini.
Sedangkan respon positif terkait kebijakan COVID-19 pemerintah tanpa disangka justru muncul dari kebijakan pembebasan narapidana. Kebijakan yang sempat memicu keresahan di beberapa pemberitaan publik ini justru menunjukkan respon sebaliknya dibanding pemberitaan yang beredar. Kebijakan yang boleh dibilang "mutlak" diapresiasi secara positif adalah terkait pembebasan tarif listrik untuk beberapa kalangan masyarakat. Terutama untuk kalangan yang rentan secara ekonomi.
Figur AlternatifÂ
Ketimpangan dengan kecenderungan tidak puas atas kinerja serta kebijakan yang dikeluarkan pemerintah membuat sebagian kalangan berharap untuk memiliki opsi lain yang sekiranya mampu memperbaiki situasi jauh lebih baik ketimbang yang ada sekarang. Kekecewaan terhadap Presiden Jokowi membuat publik "menoleh" kepada figur lain dan berharap mereka mampu memberikan harapan baru.Â
Sebagai "mantan" rival Jokowi, Prabowo Subianto masih sering menjadi pihak yang dibicarakan agar berbuat sesuatu. Seperti yang sempat diutarakan oleh politisi Partai Demokrat, Andi Arief. Respon pembaca artikel saya yang berjudul Andai Presidennya Prabowo, seperti Apakah Penanganan Covid-19 Berjalan? juga cukup tinggi. Hal ini menandakan besarnya harapan publik bahwa Prabowo akan mampu menciptakan situasi yang berbeda jikalau beliau berperan lebih dalam pemerintahan.Â
Namun, taklimat yang disampaikan oleh Prabowo melalui kanal Youtube yang salah satu poin bahasannya berisi "pembelaan" Prabowo terhadap kinerja Jokowi menunjukkan realitas bahwa beliau tidak bisa diharapkan lebih. Perannya tidak akan pernah melampaui Jokowi atau bahkan sang menteri "kesayangan", Luhut Binsar Pandjaitan. Sehingga publik pun mengalihkan pandangannya pada figur yang lain, Siti Fadilah Supari.
Menteri Kesehatan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Siti Fadilah Supari, namanya cukup mengemuka beberapa waktu terakhir. Rekam jejak kemampuannya dalam melindungi warga Indonesia dari wabah Flu Burung tahun 2005 dan wabah Flu Babi (H5N1) pada tahun 2009 lalu membuat namanya tiba-tiba populer di media sosial.Â
Berkat pengalaman mengatasi wabah flu babi itulah sosok ini dinilai tepat untuk turut mengomandoi upaya perlawanan terhadap pandemi COVID-19 di Indonesia. Lembaga kegawatdaruratan medis dan kebencanaan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) bahkan mendesak pemerintah agar bergegas membebaskan beliau supaya turut membantu penanganan pandemi ini.Â
Perlu diketahui, untuk saat ini Siti Fadilah Supari sedang menjalani masa tahanan setelah terjerat kasus korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes). Namun MER-C menilai bahwa semua upaya perlu ditempuh agar penaganan pandemi bisa dilakukan secara lebih baik.
Sayangnya, harapan MER-C dan sebagian kalangan lain masih belum bisa diwujudkan. Hingga saat ini Siti Fadilah Supari masih harus menjalani masa tahanannya di usia yang ke-70 tahun. Biarpun petisi online sudah dibubuhi puluhan ribuan tanda tangan, sepertinya pemerintah belum bergeming untuk memilih opsi pembebasan tersebut. Lantas kepada siapa lagi publik mengutarakan harapannya?
Indonesia Mencari "Superhero"
Penanganan COVID-19 yang dinilai lambat pada akhirnya membuat mantan pasangan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia (RI) periode 2004 -- 2009, Susilo Bambang Yudhoyono -- Jusuf Kalla (SBY -- JK) mengutarakan keprihatinannya. JK menilai penanganan pandemi COVID-19 tidak maksimal, dan SBY menganggap pemerintah kurang bersinergi dengan dunia internasional.Â
"Teguran" yang diberikan para "mantan" orang tertinggi di Indonesia kepada pemerintah saat ini sepertinya bukanlah pernyataan asal-asalan. Beliau berdua sudah pernah menghadapi situasi yang tidak jauh berbeda. Wabah flu burung 2005, wabah flu babi 2009, dan krisis ekonomi global tahun 2008. Semua berhasil mereka lalui dengan baik. Kondusivitas Indonesia tetap terjaga. Tatkala melihat situasi saat ini terasa begitu buruk, tentu beliau-beliau ini akan bersuara lantang. Menyerukan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk menuntaskan permasalahan ini.
Sepertinya belakangan ini masyarakat Indonesia membutuhkan seorang figur yang benar-benar mampu menangkan hati mereka. Memnebar rasa optimisme dan keyakinan bahwa semua ini bisa dilalui. Seolah kita sedang berada dalam invasi makhluk jahat yang terus meneror tanpa henti. Seorang superhero begitu dinantikan kehadirannya, seperti halnya pada film-film Hollywood itu.Â
Akan tetapi kita sekarang tidak sedang berada dalam dunia fantasi. Juga tidak sedang menonton adegan menegangkan di film dimana saat masyarakat ketakutan lantas muncul sosok superhero yang menjadi pahlawan bagi semua orang. Ada Batman yang muncul melawan kekejaman Joker, ada Avenger dan yang melawan Thanos, dan lain sebagainya. Lalu siapa superhero yang akan melawan COVID-19 di Indonesia? Prabowo? Siti Fadilah Supari? Jusuf Kalla? SBY? Atau Bima Kesatria Garuda?
Barangkali kita harus menantikan keberadaan sosok-sosok itu. Atau bisa jadi sebenarnya telah banyak bermunculan superhero di sekeliling kita yang tanpa kita sadari sudah mengupayakan sesuatu yang besar. Seperti para petugas medis, seperti relawan pembagi masker, seperti orang-orang kreatif yang membuat ventilator portabel, seperti anak-anak muda cerdas penggagas metode penanggulangan COVID-19, seperti aparat yang menertibkan perilaku masyarakat selama pembatasan sosial, dan lain sebagainya.Â
Mereka mungkin adalah para superhero yang berupaya memberikan sumbangsih terbaik dari diri mereka. Seharusnya kita tidak kekurangan sosok superhero itu. Kita hanya butuh figur yang mampu menjadi simbol keteladanan yang menunjukkan kepada kita bahwa kita bisa menang melawan virus ini.Â
Oleh karena itulah mengapa nama-nama publik figur seperti Prabowo, Siti Fadilah Supari, SBY, JK, dan lainnya terus diapungkan ke hadapan publik. Figur Presiden Jokowi sejauh ini belum bisa menjawab harapan besar itu. Lantas siapa yang mampu mengemban peran penting itu?
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Refferensi:
[1]; [2]; [3]; [4]; [5]; [6]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H