Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Momentum Kembali Menjadi Agraris di Tengah Musim Pandemi

17 April 2020   07:22 Diperbarui: 17 April 2020   07:28 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Predikat sebagai negara agraris yang disandang oleh Indonesia sepertinya beberapa tahun terakhir ini semakin memudar. Semakin banyak penduduk pedesaan yang enggan untuk meneruskan tongkat estafet menekuni profesi sebagai petani. Mereka cenderung terobsesi untuk menjadi pekerja kantoran, buruh pabrikan, atau profesi lain yang menjanjikan gaji bulanan. 

Sejarah peradaban masa lalu kita yang kental dengan nuansa agragria tidak bisa dipungkiri lagi semakin kehilangan peminat. Banyak faktor penyebab sebenarnya. Mulai dari permasalahan ketersediaan lahan hingga jaminan kesejahteraan yang kurang menjanjikan membuat sektor agraria kita kehilangan pesonanya. 

Padahal kita semua tahu produk-produk agraria begitu penting dalam menunjang ketahanan pangan sebuah negara. Bahkan apabila dikelola dengan tepat sektor ini tak kalah menjanjikannya dengan sektor industri yang begitu digandrungi beberapa tahun terakhir ini.

Bagaimanapun juga, kecenderungan sebagian orang untuk terjun dalam sektor yang memberikan kompensasi penghasilan rutin bulanan tidak bisa dilepaskan dari perubahan zaman. Sejarah menunjukkan bahwa peradaban manusia di masa lalu adalah menjadi petani sebelum revolusi industri terjadi dan membuat banyak orang berbondong-bondong menjadi pekerja berpenghasilan tetap. 

Seiring berjalannya waktu, kita semakin terbius dengan godaan menjadi pelaku industri hingga lantas meninggalkan "fitrah" sebagai petani yang bagi sebagian kalangan tidak kunjung menguntungkan itu. Perlahan tapi pasti kekhawatiran bahwa sektor pertanian kita mulai kehilangan peminat semakin kentara. 

Banyak produk-produk pertanian yang semestinya mampu kita penuhi sendiri ternyata harus impor dari luar negeri karena kemampuan pasokan dalam negeri yang terbatas. Padahal tanah Indonesia begitu subur dan diagung-agungkan sejak dulu.

Dalam penggalan sebuah lirik lagu dikatakan, "Orang bilang tanah kita tanah surga, Tongkat kayu dan batu jadi tanaman,..". Sebuah gambaran bahwa apa yang ditanam disini akan hidup dan memberikan sumbangsih bagi mereka yang menanam. Sayang seribu sayang nostalgia itu sepertinya tidak bisa mengingkari fakta bahwa kita semakin menjauh dari fitrah sebagai bangsa agraris.

Sumber Pangan dan Bisnis yang Selalu Eksis
Beberapa waktu terkahir ini kita menyaksikan banyak negara terpuruk oleh sebab pandemi virus corona COVID-19. Bukan hanya permasalahan pada sektor kesehatan masyarakat, lebih jauh lagi hal itu juga turut mengacaukan situasi ekonomi global. Termasuk Indonesia. 

Kekhawatiran akan terinfeksi virus dan juga kebijakan pembatasan interaksi sosial membuat banyak bisnis kembang kempis. Bahkan sebagian di antaranya harus terjerembab karena tidak kuasa menahan badai krisis. 

Banyak karyawan yang dirumahkan karena omset penjualan perusahaan terjun bebas. Banyak pegawai pabrik diistirahatkan karena operasional produksi yang tidak maksimal. Banyak pedagang pinggir jalan menjerit karena menunrun drastisnya jumlah penghasilan. Semua terpuruk dan entah sampai kapan bisa bangkit kembali.

Pemberlakuan kebijakan karantina wilayah memiliki konsekuensi berat berupa terkendalanya aktivitas bisnis. Beberapa diantaranya bahkan sudah berhenti beroperasi sama sekali. Salah seorang rekan pernah bercerita perihal kekhawatirannya yang mendalam jikalau pabrik tempat ia bekerja meliburkan para karyawannya tanpa gaji seebagaimana biasa. "Mau makan apa saya dan keluarga jikalau tidak bekerja lagi?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun