Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Social Distancing Effect, Sisi Emosi Kehidupan ala "Surrogates"

16 April 2020   07:03 Diperbarui: 16 April 2020   07:16 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kehidupan yang berjarak | Sumber gambar : www.merdeka.com

Sekarang adalah eranya social distancing dan physical distancing. Semua karena virus corona COVID-19. Persebarannya yang begitu cepat dan luas memaksa kita untuk mengambil langkah-langkah pencegahan agar tidak turut menjadi korban terinfeksi. 

Sekian waktu sejak pertama kali pandemi ini merebak, langkah-langkah yang ditempuh sejauh ini belum terlihat mampu untuk mengendalikan situasi secara penuh. Sehingga kebijakan pembatasan interaksi sosial pun semakin digalakkan. 

Kebijakan mulai lockdown hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun diberlakukan karena dinilai efektif untuk setidaknya mengurangi laju persebaran COVID-19. Namun, dibalik penerapan kebijakan pembatasan interaksi sosial ini ternyata memiliki "efek samping" yang bisa jadi akan merubah banyak hal dalam cara hidup kita dimasa yang akan datang.

Salah seorang dokter sekaligus dosen pengajar salah satu universitas di Britania Raya, Dr Amir Khan, menuliskan dalam laman aljazeera.com bahwa social distancing berisiko menciptakan gangguan psikologis dalam diri seseorang. Manusia merupakan makhluk sosial sehingga sayogyanya memiliki kehidupan yang saling terkoneksi dengan manusia lainnya. 

Ketika pembatasan interaksi sosial dilakukan hal itu akan membuat seseorang merasa kehilangan akan arti penting koneksi dengan orang di sekitar. Sesuatu yang bisa memicu kesepian didalam diri. Kesepian inilah yang dikemudian hari membuat perasaan semakin tertekan dari waktu ke waktu. Dalam banyak kasus menurut Dr Amin Khan, kesepian memberikan dampak buruk terhadap kesehatan.

Kesendirian yang disebabkan oleh pembatasan interaksi sosial juga rentan menyebabkan mimpi buruk pada seseorang. Apalagi hal ini didorong oleh pemberitaan tentang COVID-19 yang terasa begitu menakutkan bagi sebagian orang. 

Bukan hanya itu, kesepian yang dialami khususnya oleh para lanjut usia (lansia) seiring penerapan social distancing berisiko meningkatkan potensi gawat penyakit Alzheimer. Batasan interaksi sosial juga menghambat kebiasaan hangat seperti sentuhan dan pelukan menjadi sangat terbatas. Padahal sebuah pelukan terkadang begitu dibutuhkan oleh sebagian orang diantara kita.

Era Baru Interaksi

Banyak dari kita mungkin yang berharap agar social distancing ini bisa segera diakhiri. Meski sepertinya kita harus menunda sedikit lebih lama keinginan itu setelah sebuah studi yang dilakukan oleh Harvard School of Public Health menunjukkan kemungkinan bahwa social distancing harus tetap diberlakukan hingga tahun 2022 mendatang dengan catatan vaksin antivirus belum tersedia serta layanan medis kritis belum mengalami peningkatan yang signifikan. 

Sejauh ini banyak rumah sakit atau layanan kesehatan yang begitu kewalahan menangani lonjakan kasus COVID-19 yang terjadi begitu pesat sehingga membuat mereka kewalahan dalam penanganan. Terutama untuk kasus pasien kritis yang memerlukan dukungan medis memadai. 

Amerika Serikat (AS) saja yang demikian maju mengalami kendala keterbatasan ventilator. Hal inilah yang dirasa memberatkan tatkala pandemi telah memasuki fase reda namun belum tuntas sepenuhnya. Jikalau layanan medis terus-menerus kewalahan, maka biarpun pandemi mereka hal itu bisa menyebabkan gelombang "serangan" selanjutnya terjadi lagi.

Di sinilah peran penting vaksin antivirus yang meredam persebaran virus tidak terjadi berlarut-larut. Apabila kesiapan layanan medis kritis dan vaksin belum menunjukkan perkembangan berarti, maka satu-satunya cara adalah terus memberlakukan social distancing.

Apakah kita akan mampu bertahan lama menerapkan pola interaksi sosial yang sangat jauh berbeda dibandingkan pola interaksi kita sebelumnya? Dalam sekejap kita dituntut untuk merubah kebiasaan interaksi sosial 180 derajat. Sulit sekali memang.

Kehidupan "Surrogates"

Tahun 2009 lalu produsen film Hollywood merilis sebuah film yang berjudul "Surrogates". Film yang berkisah tentang sebuah kehidupan dimana aktivitas manusia diruang publik diwakili oleh sebuah robot. 

Dalam film tersebut manusia tidak saling berinteraksi secara langsung dengan manusia lain. Aktivitas interaksi sosial diwakili oleh robot kloningan yang disebut "surrogates", sedangkan si manusia aslinya hanya "menyetir" duplikatnya itu dari rumah. Benar-benar bentuk social distancing yang sangat ekstrem.

Apakah kehidupan kita dimasa mendatang akan digiring ke arah itu? Tidak lagi berinteraksi secara langsung dengan manusia lain. Hanya melalui media perantara yang menghubungkan kedua belah pihak. Life from home. Terlihat begitu aman untuk dijalani karena seseorang tidak perlu lagi khawatir tertular virus. Namun benarkah demikian?

Saya meyakini tidak ada yang bisa menggantikan kehangatan sebuah interaksi secara langsung antar manusia. Emosinya akan berbeda. Rasanya sangat berbeda. Seperti halnya ketika kita menghubungi orang tua di kampung menggunakan perangkat telekomunikasi telepon, video call, atau sejenisnya hal itu masih akan kalah dengan saat kita bersua langsung mereka. Mencium tangan mereka, memeluk mereka. Sebuah robot tidak akan pernah mampu menggantikan manusia, karena kita memiliki sisi emosional yang khas. Itulah kita.

Salam hangat,

Agil S Habib 

Refferensi:
[1]; [2]; [3]; [4]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun