Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Covid-19 Terus Mengancam, tapi Kita Masih Butuh Makan, Apa Solusinya?

14 April 2020   07:37 Diperbarui: 14 April 2020   07:48 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aktivitas pasar tradisional di tengah pandemi COVID-19 | Sumber gambar: kompas.com

Masalahnya adalah prioritas. Semua orang tahu bahawa kesehatan adalah aspek penting. Tetapi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari juga tidak kalah penting. Bahkan mungkin itulah yang terpenting. 

Buktinya, sebagian orang rela menempuh jalan pintas mencuri, merampok, atau merampas hak milik orang lain demi agar kebutuhannya tercukupi. Aksi kriminalitas yang mereka lakukan memiliki konsekuensi yang tidak baik bagi mereka, tetapi hal itu tetap ditempuh oleh sebagian orang karena terdesak akan kebutuhan hidupnya. 

Logika serupa bisa saja terjadi untuk kasus pandemi COVID-19 ini. Masyarakat bukan tidak mengerti bahaya dari virus corona ini. Tetapi mereka merasa ada sesuatu yang lebih besar untuk mereka perjuangkan.

Pemerintah selaku pemilik kebijakan tentu menyadari bahwa setiap orang memiliki kebutuhannya masing-masing. Melarang orang untuk beraktivitas mencari nafkah sedangkan mereka tidak atau belum mampu memberikan jaminan ekonomi yang memadai tentu tidak sepadan. 

Para petugas di lapangan mungkin bisa saja memaksa orang-orang untuk taat aturan karena mereka sendiri sudah mendapatkan jaminan pendapatan atas profesinya itu. Lantas bagaimana dengan orang-orang yang hendak mereka tertibkan itu? Sangatlah riskan memberhentikan operasional sebuah bisnis tanpa adanya kompensasi yang seimbang. 

Hal itu hanya akan menimbulkan permasalahan lain. Mungkin semua akan terasa lebih mudah jikalau setiap warga negara dijamin kecukupan kebutuhan hajat hidupnya biarpun semua aktivitas bisnis terhenti. Sayangnya, hal itu tidaklah semudah yang dikira.

Hidup Berdampingan dengan Virus

Sebuah pernyataan menarik hari ini saya dengar dari seorang supir truk. "Perut tidak bisa di-lockdown.". Terdengar lucu, tapi menyiratkan pesan yang mendalam. Semua orang butuh makan. Orang-orang yang memiliki cukup banyak tabungan di rekening pribadinya barangkali lebih mudah menyikapi periode karantina wilayah, phisical distancing, atau #dirumahaja. Lain halnya dengan orang-orang yang mengandalkan pendapatan harian. Kalau satu hari tidak bekerja maka tidak ada penghasilan. Yang artinya, tidak ada makanan untuk hari itu.

Yang bisa dilakukan sekarang adalah mencoba untuk hidup berdampingan dengan virus. Tetap beraktivitas seperti biasa tetapi tanpa harus terinfeksi virus dan jatuh sakit karenanya. Mungkinkah? Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Tinggal cara yang diberlakukan nantinya akan seperti apa. Anjuran mengenakan masker di tempat umum adalah sesuatu yang penting untuk ditaati. Sehingga sayogyanya setiap orang bisa menaatinya. 

Namun, kita harus menyadari bahwa tidak semua orang menjadikan hal itu sebagai prioritas utamanya. Masker belum tentu menjadi kebutuhan prioritas untuk dibeli. Oleh karena itu perlu adanya pihak-pihak yang bersedia secara sukarela memberikan masker gratis kepada semua orang. Khususnya bagi mereka yang tidak menjadikan masker sebagai prioritas ekonomisnya. Social solidarity adalah kunci yang bisa menangani pandemi ini.

Usulan terkait percepatan pengumpulan zakat juga saran yang sangat baik untuk diimpelemntasikan. Karena hal itu sedikit banyak akan membantu meringankan beban orang lain yang terhimpit oleh situasi ekonomi sulit saat ini. Saya kira, Indonesia yang mayoritas muslim jikalau menyadari esensi dari berzakat maka akan sangat banyak sekali golongan rentan ekonomi yang terbantu. Ekonomi gotong royong yang tercermin dalam zakat adalah bagian dari social solidarity kita untuk sama-sama bertahan di tengah pandemi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun