Seruan lockdown terus digaungkan oleh sebagian orang yang khawatir terhadap kondisi persebaran virus corona covid-19 di Indonesia. Jumlah korban terinfeksi dan korban meninggal dunia masih terus bertambah dari waktu ke waktu. Sebuah situasi yang sudah barang tentu membuat risau semua orang.Â
Langkah-langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah sejauh ini masih dirasa belum optimal dan belum cukup berhasil meredam "amukan" covid-19 yang masih terus saja menjangkiti orang demi orang.
Sumber persebaran harus dihentikan. Demikian seruan yang belakangan sering diutarakan. Rantai penularan perlu diputus sedini mungkin. Dan prosedur isolasi atau karantina dinilai sebagai cara yang paling ampuh untuk melakukan hal itu.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, pernah mengatakan bahwa pemerintah sudah menimbang dari berbagai sisi dan segi terkait kebijakan penanganan virus corona di Indonesia. Menurutnya, pemerintah tidak hanya memandang dari satu sisi saja. Dan keputusan untuk tidak melakukan lockdown dinilai sebagai opsi terbaik untuk saat ini.
Lockdown memang didesak untuk segera diberlakukan juga di Indonesia mengingat keberhasilan China dalam memerangi pandemi virus ini. China yang disebut-sebut sebagai negara asal muasal covid-19 telah menunjukkan kepada dunia bahwa mereka mampu mengatasi masalah kesehatan warganya yang disebabkan oleh infeksi virus corona ini.Â
Kebijakan lockdown yang mereka berlakukan hingga hampir dua bulan lamanya itu membuat China kini sebagai negara yang kecil sekali penambahan jumlah korban baru yang terinfeksi. Bahkan banyak dari rumah sakit darurat ditutup operasinya mengingat sudah banyak dari warganya yang sembuh. Lockdown yang dilakukan China berhasil.
Italia yang kini berubah menjadi "Wuhan Baru" pun seperti terinspirasi untuk menerapkan kebijakan serupa. Italia ditutup total aksesnya. Lockdown. Namun bukannya jumlah korban terinfeksi menurun drastis, korban meninggal dunia bahkan telah mencapai "rekor baru" menembus angka 5.000 jiwa. Mengalahkan jumlah kematian akibat covid-19 di "negara asalnya". Sama-sama menerapkan kebijakan lockdown, tapi efektivitas pencapaiannya berbeda jauh.
Kekuatan "Big Data" RRT
Beberapa dokter asal China yang bertugas membantu penanganan pandemi covid-19 di Italia mengaku kecewa dengan situasi yang terjadi disana. Menurut mereka, banyak dari warga yang tidak mematuhi instruksi petugas medis. Seharusnya semua pihak turut bekerja sama dan mematuhi langkah-langkah penahanan sebagaimana yang diberikan oleh petugas.Â
Tanpanya, maka lockdown tidak akan memberikan hasil maksimal. Hal itu terlihat dari masih banyaknya korban terinfeksi setiap harinya. Bahkan dikabarkan juga angka kematian telah mencapai 600 hingga 700 jiwa dalam 24 jam.
Mengapa lockdown di China bisa berjalan efektif sedangkan tidak demikian halnya di Italia? Selain perihal kedisiplinan semua pihak dalam mematuhi prosedur pelaksanaan lockdown, ternyata ada satu hal penting yang membuat China begitu sukses menerapkan kebijakan ini. Big Data.Â
Dukungan big data mumpuni yang dimiliki oleh otoritas China memudahkan mereka untuk melakukan kontrol terhadap segala situasi dan kondisi selama periode lockdown diberlakukan. China atau Republik Rakyat Tiongkok (RRT) saat ini memang dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kemampuan luar biasa dalam bidang digital dan teknologi informasi.Â
Big data hanyalah sebuah potret kecil kemampuan mereka yang belakangan mereka "pamerkan" saat mengatasi pandemi covid-19 di negaranya. China yang beberapa waktu lalu menjadi pesakitan, kini berubah menjadi rujukan semua pihak untuk mengatasi pandemi serupa di negara masing-masing.Â
Selain Italia yang meminta bala bantuan dokter asal China untuk menghadapi situasi di negerinya, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertahanan (Kemenhan) juga melakukan hal serupa dengan meminta beberapa Alat Pelindung Diri (APD) untuk memerangi covid-19 di Indonesia.
Dalam ulasan yang dibuat oleh Dahlan Iskan melalui laman pribadinya, www.disway.id, keberhasilan China atau RRT menekan persebaran covid-19 di negaranya adalah berkat peran serta big data.
Di China, seluruh warga yang berada dalam wilayah lockdown diwajibkan untuk mengunduh aplikasi khusus bernama "Jiang Kang Bao" atau secara harfiah berarti "Sehat Itu Harta Karun". Melalui aplikasi ini seluruh warga akan terhubung dengan pusat data kesehatan nasional, yang mana pada aplikasi tersebut setiap warga diharuskan melakukan registrasi menggunakan identitas resmi mereka masing-masing.Â
Istilahnya menggunakan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) masing-masing orang untuk mengkonfirmasi statusnya ke dalam pusat data kesehatan nasional. E-KTP ini tidak hanya berfungsi untuk registrasi saja, akan tetapi juga dipergunakan untuk menunjang hampir seluruh aktivitas warga China.Â
Dilansir oleh aljazeera.com, setiap warga akan tercatat rute aktivitasnya selama beberapa hari terakhir. Seseorang melakukan perjalanan dari mana kemana, jam berapa, dan lain sebagainya. Peran E-KTP disini sangat vital terutama untuk menunjang aktivitas mengendarai transportasi umum serta beberapa fasilitas publik yang kesemuanya mengharuskan registrasi dengan E-KTP tadi. Big data.
Kalau boleh dijabarkan, E-KTP Â di China itu tadi hampir sama dengan yang dijabaran Sandiaga Uno kala kampanye capres-cawapres beberapa waktu lalu. Bahwa cukup dengan satu kartu untuk semua fasilitas. Registrasi, bayar parkir, tiket kereta, tiket bus, bayar tol, bayar listrik, dan lain sebagainya.Â
Satu kartu untuk seluruh aktivitas. Dengan demikian seluruh kegiatan kita akan terekam disana. Iya, semua aktivitas kita yang melibatkan transaksi E-KTP. Sedangkan didalam E-KTP ini ada informasi lengkap seperti biodata diri, nomor telepon, alamat rumah, alamat email, facebook, twitter, dan lain sebagainya. Sekali lagi, big data.
Dengan semua informasi lengkap terekam semuanya, maka tracing aktivitas pertemuan orang per orang bisa lebih mudah dilakukan. Bahkan apabila ada tambahan pengawasan CCTV, keberadaan big data itu akan semakin memudahkan pantauan oleh otoritas kepada mereka yang ditengarai perlu berada dalam pengawasan.Â
Terkait kasus pandemi coronavirus maka keberadaan big data semacam ini sangatlah bermanfaat. Inilah yang dilakukan oleh otoritas RRT yang memantau betul kegiatan warganya selama masa lockdown.Â
Warga yang bepergian ke tempat umum dperiksa suhu tubuhnya melalui "laser" pengukur suhu, dan diawasi kamera pengawas perihal "atribut" masker pelindung.Â
Lebih canggih lagi mereka mengembangkan perangkat Artificial Intellegence (AI) yang mendeteksi itu semua secara keseluruhan hanya dalam satu pengecekan saja. Setiap kali ada orang terindikasi melanggar ketentuan pihak medis akan langsung diberikan peringatan. Bagaimana bisa?Â
Data yang terekam baik itu dari laser suhu ataupun dari kamera pengawas langsung terkoneksi dengan big data yang sudah ada sebelumnya. Kemudian semua data yang terkumpul dari sekian banyak aktivitas itu di-summary melalui aplikasi yang bisa dipantau masing-masing orang.Â
Kemana saja aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh setiap orang akan terlacak, demikian juga pertemuan dengan siapa saja sangat mungkin dideteksi. Terawasi hampir secara total. Dalam kasus lockdown, semua itu penting untuk mendisiplinkan seluruh warga agar menaati ketentuan pemerintah.
Sisi Negatif Big Data
Namun selalu ada sisi lemah dari suatu langkah revolusioner. Senantiasa ada pro kontra yang menyertai terobosan baru bidang teknologi informasi. Privasi.Â
Big data membuat semua orang terkoneksi satu sama lain. Terpantau rekam jejaknya. Sangat sulit untuk merahasiakan aktivitas kita dari pihak-pihak yang memiliki kewenangan akan akses big data tersebut. Menjadi sangat berbahaya apabila data yang seharusnya menjadi privasi masing-masing orang malah justru dijadikan alat untuk merugikan kita.Â
Terlebih ketika data tersebut dipublikasikan ke muda publik yang akhirnya malah membuka aib kita dihadapan umum. Bagi yang tidak punya rahasia besar mungkin biasa saja menyikapi hal ini. Tapi tidak demikian bagi sebagian orang yang memiliki hal-hal besar untuk dirahasiakan.
Indonesia Butuh Big Data?
Bagaimana dengan Indonesia, apakah butuh big data? Dalam konteks penanganan virus corona hal ini bisa dibilang perlu. Terutama untuk memberikan informasi dan mengontrol aktivitas publik yang berpotensi membuat covid-19 semakin menyebar luas. Informasi real time untuk kewaspadaan tentu diperlukan.Â
Sebagaimana halnya yang dilakukan juga oleh Korea Selatan (Korsel) dalam menyebarkan informasi lokasi terinfeksinya orang-orang terinfeksi coronavirus.Â
Meskipun di Korsel sendiri kebijakan tersebut dianggap melanggar privasi. Namun ketika keselamatan nyawa banyak orang menjadi prioritas, kepentingan terkait privasi bisa saja dinomorduakan. Tapi sekali lagi, hanya untuk kondisi genting sebagaimana yang terjadi sekarang ini.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sebagaimana dipublikasikan oleh katadata.co.id, jumlah penduduk DKI Jakarta saja mencapai 10,5 juta jiwa pada tahun 2019 lalu. Sedangkan Wuhan sendiri penduduknya berada pada kisaran 11 Juta Jiwa. Wuhan menggunakan big data untuk menunjang "kelancaran" lockdown. Kita?
Sedangkan untuk penduduk Jawa Timur memiliki jumlah penduduknya sekitar 39,5 juta jiwa. Belum lagi jika menyebutkan provinsi lainnya. Belum lagi menilik kondisi geografis wilayah Indonesia. Jikalau lockdown diberlakukan tapi tidak ditunjang kedisiplinan tinggi, maka situasinya akan tidak jauh berbeda dengan di Italia.Â
Lain kiranya jika setiap orang berlaku sebagaimana saudara-saudara kita dari agama Hindu tatkala menjalani ibadah catur brata nyepi. Taat pada aturan. Maka tanpa big data pun Indonesia mampu menjalani lockdown.
Poin pentingnya adalah big data memegang fungsi yang sangat srategis dalam menanggulangi masalah besar seperti pandemi virus corona ini. Biarpun ada sisi negatif dibalik keberadaan big data, selama hal itu bisa dikendalikan dengan baik maka dampak big data akan banyak sekali manfaatnya. Kita memiliki E-KTP yang sudah sejak beberapa tahun lalu mulai diterapkan. Ini sebenarnya merupakan start awal yang baik untuk memulai implmentasi big data di Indonesia.Â
Sayangnya apa yang sudah dimulai itu tidak dilanjutkan atau bahkan dituntaskan dengan baik. Kita masih saja memfotokopi E-KTP untuk segala macam keperluan seperti daftar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), daftar kuliah, melamar kerja, perpanjang Surat Izin Mengemudi (SIM), perpanjangan BPKB, dan lain sebagainya.Â
Padahal dengan E-KTP seharusnya semua berjalan lebih praktis. Cukup informasikan nomor registrasi, maka semuanya beres. Begitupun dengan data kesehatan kita, apabila semua terkoneksi kepada big data maka bukan tidak mungkin penanganan masalah virus corona ini akan lebih sigap dilakukan.
Namun, kita tidak bisa mundur kebelakang lantas menyesali semuanya. Kita hanya bisa menjadikan ini semua sebagai pelajaran seraya melakukan perbaikan kedepan terhadap hal-hal yang dirasa perlu. Khususnya terkait big data ini.Â
Pandemi covid-19 telah memberikan satu lagi pelajaran kepada kita untuk lebih adaptif terhadap perubahan zaman. Berfikir disruptif dalam memandang banyak hal. Tidakkah kita merasa harus ada yang diubah dari cara pandang bangsa ini? Big data telah memberikan alarm itu. Tapi apakah kita lantas menyadarinya atau malah bersikukuh mengingkarinya?.
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Refferensi :
[1]; [2]; [3]; [4]; [5]; [6]; [7]; [8]; [9]; [10] Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H