Loyalitas, sikap ini merupakan salah satu hal yang paling diharapkan ada didalam diri seorang karyawan atau pekerja. Khususnya oleh suatu korporasi atau perusahaan yang mempekerjakan tenaga manusia didalamnya. Loyalitas seringkali menjadi tolok ukur dedikasi seorang pekerja terhadap pekerjaannya. Sekaligus menjadi bukti kesetiaan seorang pekerja terhadap segala situasi dan kondisi suatu pekerjaan. Karena tidak jarang suatu perusahaan adakalanya berada pada era keemasan atau sebaliknya dalam kondisi terpuruk.Â
Loyalitas seseorang akan membuatnya bertahan atau sebaliknya pergi meninggalkan pekerjaannya untuk menuju pekerjaan lainnya. Selain itu, loyalitas juga terkait dengan kesediaan untuk memberikan lebih waktu berikut tenaga kita terhadap sebuah pekerjaan yang dijalani. Semakin banyak "berkorban" maka semakin loyal. Paling tidak seperti itulah gambaran sederhananya.
Lalu apakah setiap loyalitas akan senantiasa berbuah manis? Bagaimana jika seorang karyawan yang sekian tahun bekerja mati-matian dan mencurahkan segenap energi serta pikirannya tanpa pernah berpaling ke "lain hati" malah justru mendapatkan perlakuan buruk dicampakkan dan "dibuang" begitu saja dari tempat ia bekerja? Adilkah perlakuan semacam ini dilakukan oleh sebuah perusahaan terhadap karyawannya?Â
Padahal dalam banyak kesempatan seorang pekerja atau karyawan seringkali menjadi "tertuduh" atas dedikasinya yang dinilai minim terhadap perusahaan. Berlaku tidak adil terhadap perusahaan yang telah menggajinya namun memberikan kinerja tidak produktif. Sehingga mereka pun diberikan punish atas sikapnya tersebut. Lantas ketika perusahaan yang justru menjadi "dalang" ketidakadilan itu maka punish apa yang berlaku?
Beberapa kali kita menjumpai aksi demonstrasi yang dilakukan oleh karyawan terhadap suatu perusahaan dengan tujuan menuntut hak-haknya. Namun respon yang didapat biasanya tidak terjadi dalam waktu instan. Menunggu adanya campur tangan dari kebijakan pemerintah terkait untuk menjembatani tuntutan pekerja dengan kepentingan perusahaan. Birokrasinya bisa cukup panjang. Cukup berbeda ketika situasi sebaliknya terjadi. Saat karyawan yang menjadi pesakitan maka mereka akan dengan mudahnya ditendang.
Seorang kerabat yang bekerja di suatu korporasi hingga 8 tahun lamanya memperoleh perlakuan yang "tidak selayaknya". Dimutasi kerja ke departemen lain padahal di departemen sebelumnya peran serta kemampuannya termasuk yang terbaik. Saat ditanyakan kepada sang atasan perihal sebab musebab mutasi, hanya sebuah jawaban klise yang muncul. Namun hal itu sebenarnya lebih cenderung pada office politic mengingat beberapa waktu sebelumnya beberapa karyawan yang memiliki kedekatan dengan sang kerabat tadi juga mendapatkan perlakuan serupa. Bahkan lebih parah karena sampai dikeluarkan dari pekerjaan. Padahal diantara mereka memiliki rentang waktu pengabdian yang cukup lama juga bagi perusahaan.
Mutasi yang dilakukan pada kerabat saya tadi ternyata membuatnya bekerja dalam lingkungan departemen kerja yang tidak nyaman. Lambat laun situasi itu membuatnya tertekan hingga dengan berat hati "memaksanya" untuk angkat kaki dan mengundurkan diri dari perusahaan yang selama 8 tahun terkahir ini diberinya sumbangsih improvement dari waktu ke waktu.Â
Dari sisi sudut pandang perusahaan, perlakuan semacam itu mungkin dianggap wajar dan bagian dari profesionalitas. Perusahaan juga telah menunaikan kewajiban memberikan gaji layak selama masa pengabdian sang karyawan. Namun apakah memang sepatutnya seperti itu? Sebuah sikap semacam ini adalah pandangan kolot yang melihat kerjasama antara pekerja dengan pengusaha hanya menjadi hubungan antar kepentingan saja, tidak lebih dari itu.
Loyalitas itu hadir sebagai bagian dari hubungan kekeluargaan yang terjalin dalam sebuah lingkungan kerja. Ketika kekeluargaan itu hilang dalam lingkungan kerja, maka layakkah perusahaan menuntut hadirnya loyalitas karyawan didalamnya?
Saat hati seorang karyawan telah "tertambat" pada pekerjaannya, hingga kemudian ia bersedia mengorbankan waktunya untuk berkontribusi terhadap perusahaan, maka itu semestinya sebuah keberuntungan bagi perusahaan tersebut. Bagaimanapun juga waktu adalah salah satu aset paling berharga dalam hidup seseorang. Mendedikasikannya terhadap pekerjaan adalah sebuah persembahan besar. Loyalitas adalah perkara mahal.
Ketika curahan energi telah diberikan sedemikian rupa untuk pekerjaan tapi justru diacuhkan di kemudian hari, maka yang tersisa hanyalah trauma dan sakit hati. Saat penglaman semacam ini diketahui oleh orang lain, tidak mengherankan jika muncul anggapan percuma saja berdedikasi lebih kalau akhirnya kita dibuang juga. Sedikit kesalahan akan membuat kita tidak berguna lagi. Lalu perlukah kita memelihara atau mempertahankan sikap loyal terhadap pekerjaan?
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H