Adakah yang diuntungkan dengan "aksi" lembaga survei ini? Secara pribadi saya melihat bahwa lembaga survei malah menciptakan "atmosfer" politik di mana bangsa ini hanya hidup untuk Pemilu ke Pemilu. Pemilu sebelumnya selesai, dan harus bergegas untuk menyiapkan Pemilu mendatang.Â
Barangkali lembaga survei perlu mengembangkan sayapnya untuk juga memiliki fokus terhadap bidang lain yang secara langsung bisa berkontribusi terhadap pembangunan bangsa. Jangan-jangan karena Pilpres usai maka hal itu menjadikan lembaga survei sepi job. Lantas mereka memulai langkah promosinya.
Jikalau lembaga survei ini hanya fokus memublikasi popularitas tokoh menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang sebentar lagi diadakan, mungkin terasa lebih relevan. Pilpres hendaknya menjadi konsumsi atau publikasi internal mereka saja. Minimal untuk saat ini.
Ketika kontestasi pilpres yang lalu tengah memanas di mana "perseteruan" cebong versus kampret begitu viral di dunia maya, salah satu yang menjadi "dashboard" kompetisi mereka adalah lembaga survei. Saat popularitas Jokowi dianggap mengungguli Prabowo maka para simpatisan akan beraksi untuk menjaga atau menggenjot image sang junjungan.Â
Bahkan lebih ekstrem adalah dengan membuat "kampanye hitam", pembunuhan karakter, dan sejenisnya. Hal itu akan terus berlangsung hingga dirasa cukup berhasil  mereduksi popularitas sang rival atau menaikkan elektabilitas tokoh jagoan.
Kini sepertinya "pola" itu berulang lagi. Popularitas Anies yang cukup tinggi dan dilanjutkan dengan munculnya opini negatif terkait kinerjanya sebagai gubernur, lalu ada perilisan lembaga survei perihal kandidat presiden paling populer.Â
Mereka yang mendukung atau antipati terhadap nama-nama yang dimunculkan oleh lembaga survei bisa jadi akan tergerak untuk menegakkan atau menjatuhkan eksistensi sang tokoh.
Jika demikian yang terjadi maka tidak mengherankan selalu muncul pandangan sinis melalui media masa. Siapa pemicunya?
Saya memiliki keinginan agar iklim perpolitikan kita lebih sejuk untuk dilihat. Setidaknya mirip dengan sebelum tahun 2004 saat lembaga survei belum menancapkan eksistensinya seperti sekarang.
Tapi kita tentu memiliki pandangan masing-masing. Paling tidak, harapan saya adalah lembaga survei tidak menjadi dalang kekisruhan publik akibat perbedaan sikap politik.
Salam hangat,
Agil S Habib