Beberapa waktu lalu putra bungsu dari pentolan grup band Dewa 19 dan politisi Ahmad Dhani, Abdul Qadir Jaelani atau yang biasa disapa Dul Jaelani menceritakan kisah perjalanan hidupnya yang sempat menjadi seorang atheis atau tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Pengalaman itu ia rasakan beberapa tahun lalu terutama sebelum dirinya ditimpa musibah kecelakaan maut di tol Jagorawi pada tahun 2013. Dalam kecelakaan tersebut beberapa orang meninggal dunia dan Dul Jaelani sendiri harus mengalami luka cukup serius ditubuhnya.
Dul mengisahkan bahwa ia sempat menganggap bahwa Tuhan itu tidak ada. Ia yang berlatar belakang seorang muslim dan memiliki nama seorang cendekiawan besar Islam ternyata tidak serta merta membuat dirinya menjalani sebuah kehidupan yang tenang dalam memandang keberadaan Tuhan. Dul seringkali mempertanyakan dimana Tuhan, dimana Tuhan, dan untuk apa disembah. Sebuah pikiran yang identik dengan pikiran kaum atheis yang samasekali tidak mempercayai eksistensi Dzat yang maha berkuasa diatas segalanya.
Pengalaman hidup Dul Jaelani barangkali menjadi salah satu potret tentang keberadaan kelompok atheis di negeri yang memiliki sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini. Meskipun pada akhirnya Dul Jaelani menyadari kekhilafannya dan kembali meyakini eksistensi Sang Pencipta, akan tetapi keberadaan atheisme dan komunitas yang mewadahinya tentu merupakan paradoks di negeri yang menempatkan keyakinan terhadap Sang Pencipta pada urutan pertama dasar negaranya.
Apakah dasar negara kita ini tidak cukup menyebar luas dan meresap kedalam relung hati segenap warga negaranya? Ataukah memang ada hal lain yang menyebabkan tumbuhnya sudut pandang keyakinan tentang ketiadaan Tuhan dalam hidup seseorang?
Seseorang yang mengaku dirinya atheis pernah diajukan pertanyaan perihal sebab musebab mereka memiliki keyakinan demikian. Alasan umum yang seringkali mendasari seseorang mengalihkan pandangan hidupnya sebagai seorang atheis adalah terkait adanya ketidakpuasan perihal konsep yang ditawarkan oleh ajaran agama.
Selain itu, mereka juga menganggap adanya hal-hal dalam ajaran agama yang mengekang kemerdekaan mereka dalam menjalani hidup. Beberapa orang yang memilih untuk menjadi atheis menyebutkan terkait kekecewaan mereka terhadap sikap orang tuanya yang melarang mereka untuk membaur dengan orang-orang dari agama lain. Mereka juga mengungkapkan kekecewaan perihal dilarangnya mengucap selamat hari besar umat agama lain.
Mungkin beberapa pernyataan ini disampaikan oleh para atheis yang "kebetulan" berlatar belakang keluarga muslim. Kekecewaan mereka barangkali juga merupakan topik bahasan yang sampai saat ini memang memantik kontroversi publik, khususnya dalam kalangan umat Islam sendiri. Hanya saja, jikalau karena beberapa alasan itu lantas mereka memutuskan untuk menjadi atheis, sebenarnya proses belajar dan perenungan mereka tentang ajaran Islam masih harus diperdalam lagi.
Mungkin dengan mencari guru pengajar yang memiliki wawasan dan kearifan yang mumpuni dalam beragama. Terkadang mereka yang memutuskan untuk menjadi atheis cenderung melakukan semuanya secara autodidak. Mencari referensi di kanan kiri tanpa berupaya melakukan cek dan ricek kepada tokoh-tokoh yang dianggap mumpuni pada bidangnya. Begitupun dengan mereka yang berlatar diluar agama Islam, tentunya juga perlu melakukan konsultasi atas ketidakpuasan pemahaman yang mereka miliki.
Kalau boleh dibilang adalah sebuah ironi tatkala paham atheis menyebar didalam komunitas peradaban masyarakat seperti Indonesia. Terlebih melihat latar belakang nenek moyang kita yang kental dengan nuansa religius. Tentunya kekecewaan dan ketidakpuasan atas suatu kondisi belum tentu sepenuhnya benar sebagaimana yang kita pahami. Seperti halnya kekecewaan seorang "mantan" muslim yang memutuskan menjadi atheis oleh karena kekecewaan terhadap beberapa larangan orang tua.
Padahal bisa jadi larangan orang tua itu masih perlu ditelaah lebih jauh dalam kajian yang lebih mendalam, yaitu melalui guru yang kompeten di bidangnya. Sayangnya, hal ini sepertinya masih belum diambil oleh beberapa saudara kita yang beralih keyakinan menjadi atheis.
Entah karena mereka merasa tidak ada sosok yang layak dipercaya untuk diajak konsultasi, atau bisa jadi kita yang diharapkan untuk menjadi "lawan" diskusi dan konsultasi itu justru sudah mengecap buruk diawal atas kegelisahan pikiran yang dirasakan oleh orang-orang yang kemudian memutuskan menjadi atheis tersebut. Sepertinya ada sekat yang memisahkan antara beberapa orang dalam rangka mencari jawaban atas keraguan tentang konsep ketuhanan yang muncul di pikirannya.
Terlepas benar tidaknya pemahaman tentang atheisme ini, kita semestinya berkaca pada pribadi masing-masing apakah selama ini kita sudah mengenali secara benar keyakinan yang kita anut saat ini atau mungkin kita menjalani keyakinan kita sekarang semata-mata hanya karena mengikuti keyakinan orang tua. Mari melihat kedalam diri masing-masing terkait eksistensi kita sebagai hamba dari Sang Pencipta.
Salam hangat,
Agil S Habib
Refferensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H