Setiap jenis industri hampir pasti menganut konsep continuous improvement atau perbaikan secara berkelanjutan. Hal ini dilakukan pada setiap lini dan bagian yang menjadi pendukung jalannya sebuah indsutri.
Perbaikan itu bisa berupa efisensi waktu kerja, peningkatan produktivitas, perbaikan aspek keselamatan kerja, dan lain sebagainya.
Namun dalam beberapa tahun terakhir ini beberapa industri tengah menggencarkan bagaimana caranya agar sebuah proses di industri bisa menekan kebutuhan tenaga kerja atau manpower menjadi seminimal mungkin.
Sebuah aktivitas kerja yang biasanya dijalankan oleh dua orang atau lebih diupayakan agar cukup dengan dikendalikan oleh satu orang saja, dan seterusnya. Aktivitas-aktivitas apa saja yang sekiranya bisa digabung maka perlu digabung agar dapat mereduksi jumlah kebutuhan manusia. Mengapa orientasi seperti ini belakangan menjadi perhatian?
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa hampir di setiap tahun upah tenaga kerja mengalami kenaikan. Hal ini tentu menjadi beban tersendiri bagi pelaku industri.
Dengan kondisi bisnis yang serba tidak pasti, peningkatan beban biaya yang "dikomandoi" oleh beban gaji karyawan haruslah diimbangi dengan melakukan tindakan-tindakan yang mampu mengompensasi hal itu.
Cara terbaik untuk melakukan hal itu adalah dengan menggenjot produktivitas kerja tenaga manusia. Pekerjaan-pekerjaan yang sekiranya bisa dituntaskan oleh satu orang akan benar-benar dimaksimalkan meskipun disana mengharuskan adanya perubahan metode, cara kerja, atau barangkali penambahan alat bantu. Hal itu dinilai lebih baik daripada harus mengeluarkan ongkos upah manusia yang secara konsisten dilakukan.
Disatu sisi, langkah menggenjot produktivitas kerja manusia adalah sesuatu yang mesti dilakukan agar suatu organisasi bisnis bisa beroperasi secara efisien. Akan tetapi dibalik langkah perbaikan berkesinambungan itu ada "efek samping" yang mesti ditanggung.
Paling tidak efek itu akan dirasakan oleh para tenaga kerja manusia yang harus menjadi "korban" efisiensi pemampatan jumlah tenaga kerja. Pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh dua orang atau lebih menjadi hanya satu orang saja tentu membuat sebagian diantaranya harus menerima kenyataan kehilangan pekerjaan yang selama ini dijalani.
Langkah seperti ini sudah sangat sering dilakukan oleh banyak korporasi. Sebagian dengan cara melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan sebagian yang lain dengan tidak memperpanjang kontrak kerja karyawan yang telah habis.
Situasi ini memang cenderung menjadi dilema. Perusahaan dengan jajaran manajemen tentu memiliki keinginan untuk menjaga korporasi agar tetap beroperasi secara sehat.
Oleh karena itu mereka harus menyeimbangkan setiap lini pemasukan dan pengeluaran perusahaan. Sebaliknya, para pekerja juga memiliki tingkat kebutuhannya juga. Mereka butuh bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan mereka juga berharap memiliki penghasilan yang lebih besar dari waktu ke waktu. Memang bukan perkara mudah menemukan "trade off" diantara dua kepentingan.
Namun daripada mencari celah untuk saling meniadakan satu sama lain, bukankah sebaiknya setiap pihak mencari titik temu persamaan kepentingan sehingga bisa merumuskan solusi terbaik bagi semua pihak yang terkait?
Jikalau pada kondisi tertentu perusahaan memang harus mengambil langkah mengurangi tenaga kerja manusianya, maka alangkah baiknya apabila hal itu dilakukan dengan tetap memberi support kepada orang-orang yang kelak akan "dibebastugaskan" itu. Minimal dengan pesangon yang memadai, atau syukur-syukur dengan memberikan bekal keterampilan yang lain.
Bagaimanapun juga tidak setiap orang yang keluar dari satu pekerjaan akan dengan mudah mendapatkan pekerjaan lainnya. Selain dari kendala lowongan kerja yang terbatas, mungkin usia mereka dianggap kalah bersaing dengan orang lain yang lebih muda. Padahal cukup banyak angkatan kerja kita yang usianya tidak muda lagi.
Disingkirkan oleh Mesin?

Pekerjaan-pekerjaan yang dulunya dilakukan oleh tangan manusia secara langsung kini sudah banyak yang diambil alih mesin. Memang ada kelebihan-kelebihan pada mesin yang memungkinkannya bekerja lebih lama daripada jam kerja manusia, juga tingkat presisi yang lebih stabil dibandingkan apa yang dilakukan oleh manusia.
Dalam banyak hal mesin memang unggul terhadap manusia. Akan tetapi satu hal yang membuat kita lebih unggul dari mesin adalah perihal keberadaan akal dan kreativitas didalam diri kita.
Kita tidak mungkin selamanya bergantung pada pekerjaan yang mengahruskan kita "mengabdi" kepada orang lain. Ada saatnya dimana nanti kita mesti "mandiri" dalam menjalani profesi. Ada masanya ketika masa kerja kita memasuki periode yang mengharuskan untuk pensiun.
Sehingga mau tidak mau kita memang harus bersiap untuk itu, baik melalui investasi untuk mendapatkan kebebasan finansial di hari tua atau mungkin dengan membuka usaha pasca pensiun dari pekerjaan. Hal itu suatu saat harus kita jalani.
Dunia industri dengan prinsip perbaikan berkelanjutan mungkin akan mengusik kenyamaan kita dalam bekerja di suatu korporasi. Yaitu seiring kemungkinan adanya pengurangan tenaga kerja manusia sebagai wujud efisiensi dan produktivitas kerja.
Namun hal itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa suatu saat nanti kita juga akan mengakhiri "tugas" disana. Perbedaannya hanyalah seberapa cepat kita mengakhiri pekerjaan disana dan menuju periode baru kehidupan selanjutnya. Bukankah lebih baik untuk mempersiapkan hari depan itu sejak jauh-jauh hari?
Salam hangat,
Agil S Habib
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI