Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

3 Prinsip "Powerful" untuk Menggapai Jabatan Idaman

21 Januari 2020   14:41 Diperbarui: 21 Januari 2020   16:10 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Delapan tahun lalu semasa masih menjadi mahasiswa saya pernah memiliki rekan satu kamar kos yang kebetulan sudah bekerja. Beliau juga merupakan senior atau kakak tingkat di perguruan tinggi tempat saya menempuh perkuliahan. Satu hal yang paling saya ingat dari sosoknya adalah komitmennya yang begitu tinggi terhadap pekerjaan yang ia jalani. 

Pukul 7 pagi ia sudah berangkat menggunakan angkutan umum dan baru pulang ke kos-kosan paling cepat pukul 10 malam. Padahal sebenarnya jam kerjanya adalah dari pukul 8 pagi hingga 5 sore. Ia memang sengaja melebihkan jam kerjanya bukan semata karena keharusan menuntaskan setiap pekerjaan, akan tetapi ia juga "menyisihkan" waktu untuk membantu sekaligus belajar pekerjaan rekan-rekannya yang lain. 

Hal itu terus ia lakukan selama kurang lebih empat tahun sejak pertama kali ia memulai pekerjaannya di sebuah perusahaan asing yang ada di Indonesia. Berkat kerja kerasnya itu ia kemudian mendapatkan kepercayaan untuk menjabat posisi manager di perusahaan tempat kerjanya dengan usianya yang masih terbilang muda. 

Kalau boleh membandingkan, sebenarnya masih banyak rekan kerja yang lain dengan durasi kerja yang lebih lama daripada dirinya. Ada yang lima, enam, bahkan lebih. Namun ternyata justru ia yang dipilih dan mendapatkan kenaikan jabatan bergengsi.

Dalam buku "Powerful" saya mengulas secara rinci perihal apa-apa saja yang turut berpengaruh terhadap pencapaian hidup seseorang. Salah satunya yaitu terkait dengan upaya menggapai jabatan terbaik dalam suatu profesi yang dijalani. Ada tiga poin penting yang sangat prinsipil dalam menentukan capaian karir seseorang. 

Ketiga hal itu adalah Self Availability (SA), Self Performance (SP), dan Self Quality (SQ). SA adalah terkait dengan kemampuan kita mengoptimalkan setiap waktu untuk menjalani sesuatu yang kita sukai atau kita geluti, seberapa banyak waktu yang kita alokasikan untuk mengembangkan minat atau potensi diri, dan seberapa baik diri kita dalam meminimalisir segala bentuk aktivitas yang tidak berdampak baik terhadap tujuan hidup kita di masa mendatang. 

Dalam kasus rekan saya tadi, 24 jam waktu yang ia miliki dalam satu hari mayoritas diantaranya banyak didedikasikan untuk bekerja serta belajar hal-hal lain terkait dengan lingkup kerjanya. Ia tidak membatasi diri pada tataran jobdesc yang ia miliki saja, tetapi juga meluaskan cakupan pada jobdesc milik orang lain. Ia ingin tahu lebih banyak sehingga memiliki wawasan yang mumpuni dan menjadikannya layak untuk menduduki posisi manager.

Jika kita melihat sosok pemain sepakbola hebat kelas dunia seperti Cristiano Roanaldo, Lionel Messi, Andrea Pirlo, dan lain sebagainya maka akan selalu terselip pernyataan bahwa mereka adalah para pemain yang seringkali menambah durasi waktu latihannya dibandingkan para pemain lain. Kita melihat betapa jagonya Ronaldo dalam mengeksekusi tendangan bebas, hal itu tidak dengan begitu saja ida miliki. 

Akan tetapi dicapai dari sebuah proses penempaan diri yang panjang. Inilah Self Availability, yang menghadirkan sisi perbedaan antara mereka yang biasa-biasa saja dengan mereka yang luar biasa. Give more effort, more time. Be available untuk tujuan atau target yang ingin kita gapai. Apakah cukup sampai disitu?

Kolaborasi SA, SP, dan SQ

Mari kita buat perbandingan sederhana untuk beberapa orang pekerja yang memiliki jumlah jam kerja sama antara satu dengan yang lain. Sama-sama bekerja tujuh atau delapan jam sehari, sama-sama libur di akhir pekan, dan sama-sama memiliki sumber daya yang sama. Tapi ternyata ada sebagian diantaranya yang mendapatkan mandat posisi yang lebih tinggi. Salah seorang dipercaya menduduki jabatan lebih tinggi sedangkan yang lain masih tetap dipertahankan pada posisi lamanya. Mengapa demikian?

Sekilas mari kita perhatikan anak sekolahan atau anak kuliahan. Mereka mendapatkan jatah waktu belajar yang sama, guru yang sama, bahan ajar yang sama. Akan tetapi sebagian ada yang naik kelas dan beberapa gagal. Sebagian ada yang menduduki ranking 1, tetapi sebagian yang lain tidak masuk 10 besar. 

Apa yang membedakannya? Kita mungkin bisa menilainya dari semangat belajar, bisa juga dari sisi fokus tidaknya mereka menerima materi, dan lain sebagainya. Tetapi poin penting yang ingin saya utarakan disini adalah terkait peranan dari Self Performance (SP) pada masing-masing orang. 

SP adalah menyangkut kemampuan seseorang dalam mengoptimalkan setiap waktu dan kesempatan yang ia miliki dengan sebuah upaya penuh kesungguhan hingga memberikan hasil terbaik. 

Ada cukup banyak orang yang menambah waktu belajar, ada yang melebihkan jam kerjanya di kantor, dan sejenisnya. Akan tetapi dibalik waktu "tambahan" itu ternyata hanya diisi oleh sesuatu yang biasa-biasa saja. Tidak ada effort lebih untuk mengoptimalkan waktu tersebut.

Malcolm Gladwell dalam buku Outlier menjelaskan tentang prinsip 10.000 jam. Bahwa mereka yang sukses luar biasa adalah sosok-sosok yang mampu melewati waktu "magis" 10.000 jam. Akan tetapi sebenarnya prinsip 10.000 jam ini hanya terafiliasi dengan aspek SA atau Self Availability. Ia lebih terkait dengan sisi kuantitas waktu, bukan kualitas dari pemanfaatan waktu. 

Terkait dengan hal ini Daniel Goleman dalam buku Focus memberikan penjelasan lebih rinci bahwa prinsip 10.000 jam ini juga harus didukung oleh fokus yang tinggi terhadap sebuah upaya kinerja. Percuma saja berlatih dan mengasah diri apabila pikiran terbang kemana-mana. Fokus harus tercurahkan sepenuhnya terhadap latihan yang sedang kita jalani. Apapun konteks dari latihan itu. SP menekankan pentingnya kesungguhan dalam menjalani sesuatu sehingga diperoleh hasil yang benar-benar sepadan dengan waktu yang dialokasikan.

Kombinasi SA dan SP sepertinya sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan output yang luar biasa. Namun ada berapa banyak orang diluar sana yang memiliki karir gemilang tetapi justru menjadi rakus dan serakah? Kalau kita sering memperhatikan pemberitaan media masa perihal koruptor yang ditangkap KPK maka kita akan mendapati bahwa mereka ada para pribadi yang tidak bodoh. Mereka adalah sosok-sosok yang ulet, tekun, dan kompeten di bidangnya. Akan tetapi hal itu sebenarnya masih menyisakan celah yang harus ditutupi. 

SA dan SP harus disempurnakan oleh astu aspek lagi yang bernama Self Quality (SQ) atau kualitas diri. SQ adalah tentang integritas yang dimiliki oleh seseorang. Dalam hal ini ada empat sifat yang menjadi landasan dari SQ, yaitu Kejujuran (shiddiq), Menyampaikan (tabligh), Terpercaya (amanah), dan Cerdas (fathonah). Empat sifat mulia ini adalah dasar untuk menjadi pribadi yang luar biasa.

Sebuah survei dunia yang dilakukan oleh pakar kepemimpinan menempatkan kejujuran pada urutan tertinggi dari sifat yang mesti dimiliki oleh CEO. Sifat ini mengalahkan sifat-sifat lain untuk menjadi syarat mutlak menjadi pemimpin yang berhasil. Bagaimanapun juga adalah penting memiliki sifat jujur. Sesuatu yang barangkali telah hilang dari diri pejabat publik yang tersangkut perkara korupsi di negeri ini.

Selain kejujuran, menyampaikan apa yang dimandatkan kepada kita adalah suatu keharusan. Tidak mengurangi atau melebih-lebihkan. Sehingga semua informasi tersampaikan dengan sebagaimana mestinya. Hal ini akan memperlancar jalinan komunikasi dan informasi yang akhirnya akan menguntungkan semua pihak.

Seseorang yang layak menduduki jabatan tinggi dalam suatu pekerjaan pastilah mereka yang dipercaya oleh sang pemberi mandat. Sebuah kepercayaan tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus dipupuk dan diupayakan. Track record kita akan berbicara perihal siapa diri kita yang sebenarnya. Apa yang kita lakukan di masa lalu akan menjadi referensi terhadap penilaian diri kita kedepan. Oleh karena itu penting kiranya untuk melatih sifat ini dari waktu ke waktu.

Terakhir, yaitu mengenai arti dari cerdas. Cerdas di sini bukanlah semata memiliki intelektualitas mumpuni, akan tetapi mampu mensinergikan segala potensi kecerdasan yang kita miliki seperti kecerdasan emosi pun kecerdasan spiritual. Ketiga kecerdasan ini mesti dijalankan secara bersamaan agar menghasilkan sebuah output yang berkualitas. Orang-orang yang mampu mengombinasikan ketiga kecerdasan ini akan mampu berbuat sesuatu yang luar biasa.

Pertanyaannya sekarang, apakah selama ini kita sudah cukup peduli terhadap ketiga aspek penting tadi? Apakah kita sudah mengetahui sejauh mana self availability kita, self performance kita, dan self quality kita? Jika untuk menilai diri sendiri saja belum dilakukan, maka apakah kita layak untuk berharap mendapatkan jabatan idaman sebagaimana yang diinginkan?

Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun