Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kata-kata Metafora-Hiperbolis Sarat Singgungan di Lingkungan Kerja, Perlukah Disampaikan?

18 Januari 2020   11:38 Diperbarui: 18 Januari 2020   12:00 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu seorang rekan mengisahkan pengalamannya di tempat kerja tatkala sedang mengajukan izin keluar sementara kepada pihak personalia. Namun terkait adanya kepentingan tertentu, ia meminta bantuan kepada rekannya yang lain yang kebetulan sedang mengajukan izin serupa guna meminta approval tanda tangan dari kepala bagian personalia disana. 

Selang beberapa lama ketika rekannya kembali dari ruang personalia, ia menyampikan pesan bahwa izinya "ditolak" dan tidak dibubuhkan tanda tangan oleh sang kepala personalia. 

Alasannya, seorang karyawan yang mengajukan izin harus menghadapkan dirinya secara langsung kepada sang kepala personalia dalam meminta tanda tangan, tidak boleh diwakilkan. 

Dalam lampiran berkas pengajuan izin yang ditolak itu, sang kepala personalia menuliskan surat "cinta" yang isinya sarat pesan metaforik bahkan cenderung hiperbolik. "Pengajuan izin tanda tangan harus dilakukan sendiri, karena disini bukan kantor kecamatan." Kurang lebih bunyi pesan tegurannya seperti itu. 

Dengan suasana emosi yang mulai terpancing oleh "provokasi" dalam surat cinta itu, sang rekan tadi mencoba tetap tenang dan menahan tensi emosinya sembari mendatangi sang kepala personalia untuk meminta tanda tangan pengajuan izinnya. 

Barangkali rekan saya tadi tidak cukup update informasi perihal aturan pengajuan izin yang diterapkan disana. Atau bisa jadi sang pemilik aturan berasumsi bahwa aturannya sudah cukup jelas dipahami oleh para karyawan dengan sepintas memberikan pengumuman yang entah kapan dilakukan.

Menyimak cerita pengalaman dari sang rekan, ada beberapa hal yang pmungkin dilakukan secara kurang tepat. Terutama dalam kaitan menjalin komunikasi antar orang per orang. 

Sebagai sesama manusia kita tentunya memiliki potensi yang sama, yaitu akal pikiran serta emosi. Sehingga setiap jalinan komunikasi yang dilakukan hendaknya benar-benar memperhatikan kedua aspek itu. 

Bagaimana supaya sebuah komunikasi dijalankan secara nyaman dan cair tanpa adanya tendensi saling meremehkan, merendahkan, menyinggung, atau bahkan menilai orang lain tidak memiliki kecerdasan yang mumpuni. 

Apa yang dilakukan oleh sang kepala personalia tadi adalah sebuah cerminan sikap yang bisa dibilang cenderung arogan. Ia membuat sebuah surat cinta yang isinya melabeli seseorang tidak tertib birokrasi melalui sebuah kalimat yang "nyelekit". 

Mengapa kita lebih suka membuat suatu keadaan terlihat lebih rumit daripada menyampaikannya secara langsung dan baik-baik. Daripada berkata-kata, "Pengajuan izin tanda tangan harus dilakukan sendiri, karena disini bukan kantor kecamatan." alangkah lebih baik jikalau kita mengatakan, "Mohon maaf untuk pengajuan izin harus diajukan sendiri dan tidak bisa diwakilkan. Izin yang bapak ajukan harus bapak sendiri yang mengurusnya." Bukankah kalimat tersebut terasa lebih bijak untuk disampaikan?

Saya sendiri bingung mengapa kita lebih suka memilih kata-kata yang tidak efisien. Apakah hal itu dilakukan sebagai upaya menyindir untuk  memberikan efek jera? Ingat, sisi emosi adalah yang paling rentan di dalam diri seseorang. 

Sekali sisi itu terusik, maka ada efek besar dibaliknya. Pandangan seseorang bisa berubah, dari sebelumnya segan menjadi acuh, dari sebelumnya respek menjadi cuek, dan dari sebelumnya simpati menjadi antipati. 

Bagi seorang pemimpin, memilih kata-kata itu adalah bagian dari kecakapan dalam memimpin. Pemimpin memang harus menegakkan disiplin, mengevaluasi kinerja, dan mengarahkan mereka yang berada dalam lingkup kerjanya agar senantiasa menjalankan rule yang berlaku. 

Namun bukan berarti hal itu lantas dilakukan dengan mengumbar kalimat-kalimat "sampah" kepada orang lain. Saya kira di era modern ini kita sudah cukup cerdas dalam memahami kata-kata sederhana dalam konteks apapun. 

Teguran, nasihat, atau masukan bisa disampaikan dengan cara yang paling sederhana dengan kata-kata yang bersahabat. Semoga kita bisa lebih bijak dalam menyampaikan maksud kita kepada orang lain.

Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun