Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Lebih Banyak yang "Merasa" Miskin daripada yang Benar-benar Miskin?

15 Januari 2020   10:46 Diperbarui: 15 Januari 2020   10:52 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah telah mewacanakan konsumsi gas elpiji "melon" hanya akan biasa dinikmati kalangan yang benar-benar tergolong miskin saja. Pemerintah berencana menggunakan sistem barcode untuk "menandai" masyarakat sehingga distribusi gas elpiji 3 kilogram bisa dilakukan secara tepat sasaran. 

Dengan demikian, para orang kaya tidak akan bisa lagi menikmati penggunaan elpiji melon ini karena mereka tidak terdaftar dalam database orang miskin. Sebagaimana kita tahu, pada tabung gas elpiji melon pemerintah sebenarnya sudah mencantumkan tulisan "HANYA UNTUK MASYARAKAT MISKIN". 

Akan tetapi pada kenyataannya distribusi penggunaan elpiji melon ini masih banyak juga dinikmati oleh kalangan kaya. Rumah-rumah makan berkeuntungan diatas Upah Minimum Regional (UMR) sepertinya juga masih banyak yang mempergunakan elpiji jenis ini.

Padahal kalau merunut data masyarakat miskin, per periode Maret 2019 pendapatan seseorang disebut miskin apabila kurang dari atau sama dengan Rp 425.250 per kapita per bulan. Dengan rata-rata satu rumah tangga berisi 4 hingga 5 anggota keluarga, maka garis kemiskinan berada pada angka Rp 1.990.170 per rumah tangga.

Entah apa sebenarnya yang terjadi sehingga ada kesan bahwa sebagian orang lebih senang untuk disebut sebagai warga miskin. Barangkali mereka "mengincar" fasilitas yang diberikan oleh pemerintah kepada para warga miskin ini seperti raskin, rastra, BBM subsidi, listrik, hingga gas elpiji melon. 

Tidak hanya itu, ketika ada even pembagian zakat atau daging kurban tidak sedikit diantara kita yang rela berbondong-bondong antri untuk mendapatkan jatah. 

Padahal dari mereka yang turut mengantri itu sebenarnya juga memiliki kemampuan lebih dari cukup. Mungkin kita lebih sering merasa miskin bahkan daripada mereka yang memang benar-benar miskin. 

Barangkali kita cukup sering menyerobot hak warga miskin tersebut seperti misalnya menikmati konsumsi listrik, BBM, gas, dan lain sebagainya. Ketika pemerintah berencana menarik subsidi, banyak diantara kita yang berteriak melakukan protes. 

Mengapa? Karena bisa jadi hal itu turut mengusik kenyamanan kita sebagai penikmat fasilitas layanan dari pemerintah. Kita belum tentu benar-benar memperjuangkan nasib saudara-saudara kita yang meskin, melainkan hanya sebuah upaya mempertahankan kenyamanan diri sendiri. Benar?

Bukan tidak mungkin masalah kemiskinan di negara ini sebenarnya justru disebabkan oleh mentalitas masyarakatnya. Bisa jadi penghasilan kita lebih dari cukup untuk hidup layak, namun karena kita merasa lebih nyaman menjadi orang miskin maka hal itu malah membuat kita enggan beranjak dari sana. 

Seharusnya kita memiliki obsesi atau harapan untuk mencapai sebuah titik dimana kita tidak lagi berkategori miskin. Kita harus memperjuangkan kehidupan kita sehingga mencapai taraf layak dan hidup berkecukupan. Ini bukan berarti kita anti orang miskin, hanya saja sebagai upaya untuk merubah nasib kita ke arah yang lebih baik.

Penting bagi kita untuk "mengajari" otak dan pikiran kita agar bisa ber-mindset kaya. Untuk bisa menjadi kaya adalah "haram" untuk merasa miskin. Kaya bukan berarti memiliki harta melimpah, akan tetapi memiliki rasa syukur yang melimpah.  Merasa miskin hanya boleh dilakukan terhadap dua hal. Pertama, merasa miskin ilmu sehingga membuat kita terpacu untuk belajar lebih banyak lagi.

Kedua, merasa miskin amal sehingga mendorong kita untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan. Oleh karena itu mari kita berupaya untuk mulai menjadikan diri kita sebagai pribadi yang merasa kaya atas segala harta yang kita miliki, sembari tetap merasa miskin atas ilmu dan amal kebajikan kita.

Salam hangat,

Agil S Habib

Refferensi :

[1]; [2]; [3]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun