Kapuspen TNI Mayjen Sisriadi merilis pernyataan yang terbilang "melegakan" terkait konflik Indonesia -- China di perairan Natuna yang sempat memanas. Dalam pernyataannya tersebut beliau mengatakan bahwa berdasarkan pengamatan TNI AU melalui udara, kapal-kapal penangkap ikan China sudah keluar dari wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna. Padahal kemarin (08/01) situasi sempat memanas ketika TNI AU mengerahkan 4 pesawat tempur jenis F-16 ke perairan Natuna. Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sampai harus ke Natuna demi menunjukkan keseriusannya perihal pentingnya penjagaan kedaulatan negara. Meski tindakan presiden ini oleh beberapa pengamat dinilai "overacting", namun pasca kunjungan ini dilakukan ternyata kapal-kapal China beranjak pergi meninggalkan perairan Indonesia di Natuna.
Apakah kunjungan Presiden Jokowi ke Natuna bisa dikatakan sebagai tindakan yang berlebihan? Bukankah enyahnya kapal-kapal China dari perairan Natuna justru berkat "jasa" Presiden Jokowi? Menurut Mayjen Sisriadi, kunjungan presiden kita ke Natuna merupakan sebuah pesan penting kepada pemerintah China sehingga mereka memberikan respon langsung dengan "menarik mundur" kapal-kapalnya dari perairan Natuna.
Mungkin belum bisa dipastikan bahwa keluarnya kapal-kapal China dari ZEE perairan Indonesia di Natuna adalah berkat kontribusi Presiden Jokowi yang mendatangi Natuna. Namun setelah nota protes yang tidak digubris dan pengerahan pasukan TNI yang tidak membuahkan hasil, pemerintah kita memang harus melakukan sebuah langkah yang "lebih dari biasanya". Meski mungkin langkah itu akan disebut sebagai langkah yang "overacting".
Setidaknya, sampai saat ini langkah "overacting" itulah yang telah berjasa membuat kapal-kapal China keluar dari wilayah perairan Indonesia. Seandainya kunjungan Jokowi ke Natuna tidak membuahkan hasil seperti keluarnya kapal-kapal China dari ZEE Indonesia, maka barangkali respon publik akan lain lagi. Kalau kedatangn presiden saja tidak membuat pemerintah China respek terhadap kedaulatan Indonesia, maka langkah apalagi yang harus ditempuh? Mungkin presiden harus melakukan penerbangan ke Beijing untuk "melabrak" Presiden Xi Jinping guna memastikan kapal-kapal China segera pergi dari perairan Indonesia. Hanya saja sepertinya hal itu tidak atau belum perlu dilakukan.
"Drama" Natuna semoga akan benar-benar berakhir seiring telah keluarnya kapal-kapal China dari perairan Natuna. Namun tugas pemerintah kita ke depan masih belum tuntas. Wacana untuk menuntaskan pangkalan nelayan di perariran Natuna mestinya tidak dilupakan begitu saja. Juga tentunya terkait patrolin rutin operasi perbatasan harus diintensifkan. Yang membuat kapal-kapal China berani masuk ke perairan Indonesia adalah karena kita abai terhadap wilayah kita sendiri sehingga orang asing pun menerobos masuk. Hal ini tidak boleh dibiarkan terjadi lagi di kemudian hari. Bahkan bukan hanya Natuna, wilayah-wilayah lain yang bersinggungan dengan perbatasan negara lain juga harus dikuatkan pantauannya. Jangan sampai ada sejengkalpun wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini yang diembat oleh bangsa lain, apalagi menyangkut kekayaan alamnya.
Salam hangat,
Agil S Habib
Refferensi :
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI