Episode "perang dagang" antara pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa (UE) terkait diskriminasi produk kelapa sawit asal Indonesia yang tertuang dalam kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Gelegated Regulation UE sepertinya masih akan berlanjut.
Dalam aturan tersebut, minyak kelapa sawit dikategorikan sebagai komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi sehingga membuatnya tidak termasuk sebagai energi terbarukan sebagaimana yang disyaratkan UE.
Hal ini memiliki konsekuensi produk kelapa sawit Indonesia "tertolak" di tanah eropa. Sesuatu yang pada akhirnya membuat pemerintah Indonesia geram mengingat kontribusi sawit terhadap pemasukan negara tidaklah sedikit.
Belakangan pemerintah mempercepat pemberlakuan kebijakan larangan ekspor nikel dari sebelumnya ditetapkan mulai tahun 2022 menjadi per 1 Januari 2020. Terkait dengan kebijakan ini UE pun meradang dan mengancam akan menggugat Indonesia ke World Trade Organization (WTO).
Selain itu, asosiasi produsen baja eropa juga menuding Indonesia berlaku tidak "sportif" dalam bisnis dengan negara-negara di UE. Meski UE sudah mulai mengeluarkan gertakannya kepada Indonesia, namun pemerintah sudah menyiapkan alasan terkait perberlakuan kebijakan larangan ekspor ini.
Kebijakan ini dikeluarkan atas dasar mulai menipisnya cadangan nikel dalam negeri sehingga pemerintah harus segera mengambil langkah guna mengantisipasi efek dari hal ini.
Hanya saja sepertinya UE menilai kebijakan larangan ekspor nikel sebagai langkah "balas dendam" Indonesia terhadap pelarangan produk sawit asal Indonesia diedarkan ke UE.
Sepertinya pemerintah akan terus mengupayakan berbagai cara agar produk sawit kita bisa kembali memasuki pasar eropa.
Sebelum ramai tentang pelarangan ekspor nikel yang diangggap sebagai nilai tawar Indonesia ke UE terkait produk sawit, banyak kalangan yang mendukung agar pelaku usaha penerbangan tanah air "memboikot" produk pesawat Airbus yang tidak lain merupakan produk andalan salah satu negara Uni Eropa, Prancis.
Dilansir oleh laman cnbcindonesia.com, total pesanan pesawat Airbus dari Indonesia per Oktober 2019 saja sudah mencapai 313 unit. Dalam hal ini Indonesia menyumbang sekitar 5,7% dari total order pesawat Airbus di kawasan Asia Pasifik.
Jumlah pesanan pesawat sebanyak itu konon nilainya bisa mencapai US$ 42,8 miliar atau sekitar Rp 599,4 triliun. Sebagai perbandingan, nilai ekspor sawit Indonesia ke UE hingga medio 2018 "hanya" mencapai angka US$ 4 -- 5 miliar.
Bayangkan seandainya pesanan pesawat Airbus itu kita alihkan ke negara non Uni Eropa seperti Boeing milik Amerika Serika (AS) atau Sukhoi milik Rusia. Betapa besar "kehilangan" yang dirasakan oleh UE nantinya.
Sepertinya episode dari drama pelarangan sawit ke UE ini masih akan berlangsung panjang. Mereka yang berkepentingan terhadap bijih nikel dan order pesawat Airbus turut terbawa dalam polemik sawit.
Sepertinya lini-lini bisnis kita memiliki potensi "solidaritas" untuk mendukung satu sama lain dimana saat sebuah komoditas tertolak, maka komoditas lainnya akan turut serta bertindak.
Mungkin polemik ini akan berlanjut pada lobi tingkat tinggi antar pemimpin di UE dengan pemerintah Republik Indonesia (RI). Setidaknya dari peristiwa ini kita menunjukkan kepada bangsa eropa bahwa Indonesia pun mampu untuk "menggertak".
Sebagai warga Indonesia tentu kita berharap bahwa pemerintah mampu bersikap yang terbaik untuk kepentingan bangsa ini. Pelarangan ekspor bijih nikel mesti memiliki dampak positif yang lebih besar dibandingkan efek negatifnya.
Jangan sampai pemberlakuan kebijakan tersebut hanyalah sekadar luapan emosi tanpa memiliki pertimbangan panjang dan mendalam. Semestinya sebuah kebijakan memiliki orientasi kepentingan jangka panjang bagi bangsa ini. Demikian halnya dengan "dorongan" untuk membatalkan pemesanan pesawat Airbus.
Hal itu haruslah bukan sekadar langkah sakit hati. Mengingat dunia penerbangan adalah salah sektor yang paling rawan menyangkut keselamatan nyawa manusia.
Terlebih pada saat ini pesawat Airbus dinilai sebagai yang paling memberikan rasa aman dalam dunia penerbangan setelah beberapa pesawat produksi Boeing yang beroperasi di Indonesia mengalami kecelakaan seperti yang terjadi pada JT610 milik maskapai Lion Air beberapa waktu lalu.
Selain itu kita juga tentu masih ingat kasus kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 milik Rusia yang menabrak Gunung Salak saat melakukan uji terbang di Indonesia beberapa tahun lalu.
Pada intinya ada aspek-aspek lain yang patut untuk dipertimbangkan sebelum menempuh sebuah langkah kebijakan. Sakit hati, emosi, atau gengsi sebagai dasar pengambilan keputusan seringkali akan membawa dampak buruk terhadap suatu keputusan.
Sehingga sangatlah penting untuk membuat keputusan dengan kepala dingin serta pertimbangan yang matang. Hitung-hitungannya harus detail dan berorientasi jangka panjang. Semoga pemerintah kita mampu memberikan keputusan yang tepat demi kebaikan bangsa ini kedepan.
Salam hangat,
Agil S Habib
Refferensi :
[1] ; [2] ; [3] ; [4] ; [5] ; [6]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H