Wacana Menteri  Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo untuk membuka kembali kran ekspor benih lobster yang sempat ditutup oleh Menteri KKP era sebelumnya, Susi Pudjiastuti, hingga saat ini masih hangat menjadi perbincangan banyak pihak. Sebagian ada yang mendukung rencana ini, namun tidak sedikit juga yang menentangnya.
Edhy Prabowo yang menggulirkan wacana ini beranggapan bahwa ekspor benih lobster saat ini perlu dilakukan mengingat masih banyak dari masyarakat kita yang menggantungkan hidup dari perdagangan benih lobster. Sehingga apabila keran ekspor ditutup maka hal itu akan berdampak pada terganggunya penghasilan warga negara. Selain itu, ekspor lobster juga berpotensi menambah sumber devisa negara dalam jumlah yang cukup besar.
Membuka kran ekspor lobster pada satu sisi memang dianggap memberikan manfaat yang besar. Akan tetapi disisi lain hal itu juga berpotensi mengganggu perkembangan sektor perikanan di dalam negeri. Ekspor lobster disebut hanya akan menguntungkan negara-negara importir dan menghancurkan sentra perikanan yang ada di Indonesia.
Tidak hanya itu, kebijakan ekspor dikhawatirkan akan menyulut eksploitasi besar-besaran terhadap benih lobster yang pada akhirnya hanya akan merusak lingkungan. Terbukanya keran ekspor biji lobster hanya akan mencegah perkembangan budidaya jangka panjang dengan produk lobster yang lebih bernilai tambah.
Karena tentu harga lobster akan melonjak jauh lebih tinggi apabila ia dijual dalam kondisi dewasa atau bahkan sudah menjadi hidangan olahan. Hal inilah yang melaterbelakangi Susi Pudjiastuti, eks Menteri KKP sebelum Edhy Prabowo, untuk menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Ranjungan dari Indonesia.
Pertimbangan Edhy Prabowo mungkin ada benarnya karena ia berorientasi penyelematan lapangan kerja. Hanya saja pandangan dari Susi Pudjiastuti patut diperhatikan mengingat kekayaan alam Indonesia yang demikian melimpah ini seharusnya mampu diberdayakan dengan sebaik-baiknya. Kekayaan perairan kita sungguh melimpah.
Jikalau itu dikelola dan diberikan nilai tambah yang tepat maka akan menjadi sumber penghasilan yang sangat luar biasa. Selama ini kita seringkali "terjebak" dalam kebiasaan mengekspor barang "mentah" dan kita justru menjadi sasaran pasar barang jadi negara lain yang membeli barang "mentah" dari kita. Padahal kita sendiri sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengolah sendiri semua barang "mentah" itu sehingga memberikan keuntungan yang berlibat-lipat bagi bangsa kita. Dalam hal ini seharusnya kita belajar tentang bagaimana membuat sesuatu yang bernilai tambah.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentunya tidak menutup mata melihat fenomena ini. Dimana dua menterinya dari dua era yang berbeda memiliki pandangan yang bertolak belakang. Yang satu cenderung bersepakat membuka kran ekspor lobster, sedangkan yang lainnya lebih memilih menutup kran ekspor. Apakah wacana Edhy Prabowo menjadi suatu pertanda berubahnya arah kebijakan Presiden Jokowi dalam mengelola sektor kelautan dan perikanan tanah air?
Mungkin banyak diantara kita yang tidak bersepakat dengan gagasan dibukanya kran ekspor lobster hingga kita pun beramai-ramai memprotes pemikiran sang menteri. Akan tetapi kita harus ingat bahwa menteri adalah kepanjangan tangan presiden. Menteri hanyalah representasi kebijakan presiden. Jikalau nantinya kran ekspor lobster benar-benar dibuka, maka yang lebih layak dimintai penjelasannya adalah presiden kita sendiri, Bapak Ir. H. Joko Widodo.
Sejauh ini sepertinya presiden masih belum mengeluarkan pernyataan yang menangkan yang kontra atau menyejukkan yang pro terhadak wacana ekspor lobster ini. Sepertinya beliau masih melihat sampai sejauh mana kontroversi ini bergulir hingga tiba saatnya nanti diputuskan kebijakan apakah akan tetap menutup keran ekspor ataukah membukanya kembali. Sampai saat itu tiba, setiap pihak yang pro ataupun kontra harus benar-benar mencari titik tengah dari polemik ini.
Masing-masing pihak pasti memiliki pertimbangan untung ruginya. Akan tetapi yang harus diingat disini adalah bagaimana kita mencari titik tengah dengan sisi keuntungan terbaik dan mengantisipasi efek negatif yang muncul karenanya. Beberapa seknariao kebijakan perlu dirumuskan sehingga alam Indonesia benar-benar bisa menjadi anugerah berharga untuk bangsa ini bukan hanya untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.