Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

"Pengkhianatan" Anies Baswedan dan Definisi "Maksiat" pada Gelaran DWP

13 Desember 2019   06:08 Diperbarui: 13 Desember 2019   06:17 2188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Benarkah DWP Sarang Maksiat? | Sumber gambar : metro.tempo.co

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kembali menjadi sorotan. Kali ini sekelompok organisasi masyarakat (ormas) yang menyebut diri mereka Gerakan Pemuda Islam (GPI), Forum Syuhada Indonesia, dan Forum Umat Islam Bersatu ramai-ramai mendatangi Balai Kota DKI Jakarta untuk melakukan aksi protes terkait pemberian izin acara Djakarta Warehouse Project (DWP) yang akan dilaksanakan pada 13 -- 15 Desember 2019 ini di JIExpo Kemayoran.

Masa dari ormas tersebut menilai bahwa acara DWP sebagai sarang maksiat yang tidak sepatutnya diberikan izin pelaksanaan. Mereka bahkan menganggap Anies Baswedan sebagai seorang penghianat karena memberikan izin diselenggarakannya acara ini di "bumi" Jakarta.

Sekilas tentang DWP ini yaitu sebuah even musik bergenre electronic dance dengan menampilkan Disc Jockey (DJ) lokal maupun mencanegara. Rangkaian acara kebanyakan didominasi nyanyian serta tarian.

Mungkin bisa kita sebut sebagai dugem "akbar". Acara yang benar-benar identik dengan pesta malam dunia metropolitan. Didalamnya para muda mudi berkumpul dengan beragam busananya.

Sebagian mungkin lebih layak disebut seksi. Barangkali image seperti inilah yang membuat acara DWP "dicurigai" sebagai sarang kemaksiatan berbalut festival musik. Namun "label" sebagai sarang maksiat ini disangkal oleh beberapa kalangan, termasuk diantaranya oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi. Prasetio bahkan menilai DWP sebagai salah satu andalan sumber pendapatan DKI Jakarta dari tahun ke tahun. 

Pada tahun 2017 lalu ketika acara ini juga dilaksanakan di DKI Jakarta, kontroversi serupa juga menyeruak. Namun Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta kala itu, Tinia Budiarti, memberikan pembelaan bahwa DWP dilaksanakan di tempat terbuka sehingga tidak mungkin ada tindak maksiat disana.

Ia juga menyebutkan bahwa minuman keras atau terlebih narkoba juga dilarang peredarannya disana sehingga kemaksiatan yang dikhawatirkan sangat kecil kemungkinan terjadinya. Selain itu, Sandiaga Uno yang sempat menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta juga mendukung dilaksanakannya acara ini.

Hanya saja beberapa pernyataan yang disampaikan oleh beberapa pejabat teras DKI Jakarta ternyata tidak membuat seruan penolakan terhadap acara ini memudar. GPI, salah satu ormas yang menolak pelaksanaan acara ini mengatakan bahwa setiap tahun mereka menyusup dalam perhelatan acara tersebut.

Dari penilaian mereka, DWP tidak lebih dari ajang berkumpul para penikmat maksiat untuk melakukan seks bebas, konsumsi narkoba, hingga pesta minuman keras. Klaim inilah yang menjadi dasar penolakan dari sejumlah ormas perihal diadakannya acara ini. Dalam rangka menguatkan argumentasi dan penilaian yang mereka miliki terkait DWP sebagai sarang maksiat, mungkin beberapa ormas yang kini melakukan aksi protes tersebut sebaiknya juga menyertakan bukti adanya tindakan maksiat yang dimaksud.

Entah itu berupa foto, video, atau mungkin rekaman suara. Klaim yang mereka maksudkan harus benar-benar jelas keberadaannya sehingga tidak menjadi fitnah dan agar khalayak memahami secara gamblang tentang "definisi" maksiat yang mereka maksud.

Mengartikan Kata "Maksiat"

Apa yang kita pahami tentang kata maksiat? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maksiat memiliki makna perbuatan yang melanggar perintah Allah SWT. Suatu perbuatan dosa yang tercela, buruk, nista, dan sebagainya. Konsep tentang maksiat sendiri sebenarnya sudah menjadi ajaran yang populer dikenal masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa melalui ajaran walisongo.

Sunan Ampel adalah sosok yang memperkenalkan ajaran Moh Limo kepada masyarakat kita pada waktu itu. Moh Limo terdiri dari moh main (tidak berjudi), moh ngombe (tidak minum minuman keras), moh maling (tidak mencuri), moh madat (tidak menggunakan narkoba), dan moh madon (tidak berzina). Inti dari kemaksiatan adalah perbuatan-perbuatan yang memiliki "afiliasi" terhadap salah satu atau seluruhnya dari moh limo tersebut.

Terkait dengan DWP, apakah ada keterkaitan pada rangkaian acara tersebut dengan moh limo? Apabila minuman keras, narkoba, dan seks bebas terjadi disana sebagaimana klaim GPI maka sudah bisa dipastikan bahwa acara tersebut benar memang sebagai sarang maksiat.

Namun apakah cukup sampai disitu saja "klaim" maksiat itu berlaku? Sebenarnya ada hal-hal lain yang berpotensi untuk menjadi bagian dari moh limo yang seringkali luput dari perhatian. Jikalau kita menggali lebih dalam maka kita akan melihat banyak sekali kemaksiatan terjadi disana. Mata bisa bermaksiat tatkala menyaksikan tarian erotis dan seseorang berpakaian seksi hingga mengundang gejolak syahwat.

Telinga bisa bermaksiat kala terjadi cumbu rayu yang menggoda hasrat. Tangan dan anggota tubuh pun bisa bermaksiat kala bersentuhan tubuh dengan lawan jenis yang bukan muhrim. Namun bisa jadi hal ini tidak dimaknai demikian oleh mereka yang bukan menjadi bagian keyakinan atas hal ini.

Definisi kata maksiat bisa jadi merupakan sesuatu yang relatif bagi sebagian orang. Beberapa orang mungkin ada yang menyebut DWP penuh kegiatan maksiat, namun belum tentu bagi sebagian yang lain. Siapapun bisa mengklaim maksiat atau tidak tergantung dari sisi pemahaman yang mereka miliki. Dalam hal ini, cara teraman untuk bersikap adalah tidak memberikan komentar.

Jika kita menilai DWP sebagai acara maksiat, maka sebaiknya tidak datang pada acara tersebut. GPI dan segenap ormas lain tentu memiliki hak bersuara dan menyampaikan pendapatnya. Demikian halnya dengan kita semua. Akan tetapi keputusan akhir tetap berada ditangan para pemimpin atau dalam hal ini pemerintah daerah DKI Jakarta.

Mereka tentu memiliki segenap pertimbangan yang dijadikan alasan untuk mengizinkan atau tidak suatu acara diselenggaran. Hanya saja pemerintah juga mesti memperhatikan kekhawatiran beberapa ormas tadi bahwa DWP mungkin saja digunakan sebagian oknum untuk menikmati kemaksiatan.

Minimal hal-hal yang berpotensi meresahkan publik seperti seks bebas, pesta minuman keras, dan narkoba agar jangan sampai "mencemari" acara festival musik tersebut. Hal inilah yang mesti dijaga agar tidak sampai sebuah acara disalahgunakan menjadi sesuatu yang justru mencoreng citra warga DKI Jakarta khususnya dan Bangsa Indonesia pada umumnya.           

Salam hangat,

Agil S Habib

Refferensi :

[1] ; [2] ; [3] ; [4] ; [5] ; [6] ; [7] ; [8] ; [9] ; [10]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun