Hari ini, 09 Desember 2019, diperingati sebagai Hari Anti Korupsi sedunia. Peringatan ini dimulai sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan Konvensi Melawan Korupsi pada 31 Oktober 2003 lalu dengan salah satu poin resolusinya adalah menetapkan tanggal 9 Desember sebagai Hari Inti Korupsi Internasional.
Terkait dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia sendiri sebenarnya sudah dimulai sejak lama, khususnya pasca runtuhnya order baru (orba). Presiden ke-2 Republik Indonesia (RI), Almarhum BJ Habibie, sudah menggulirkan ide awal pemberantan korupsi di Indonesia melalui pembentukan Komisi Pengawas Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN).
Semangat pemberantasan korupsi ini kemudian dilanjutkan oleh Presiden ke-3 RI, Almarhum Gus Dur, yang membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPPTK). TGPPTK yang merupakan representasi menggebu pemberantasan korupsi kala itu justru mengalami pembubaran, sehingga membuat  upaya perlawanan terhadap korupsi ini mengalami kemunduran.
Namun tidak butuh waktu lama, Megawati Soekarnoputri yang naik menjadi Presiden menggantian Gus Dur membidani lahirnya sebuah komisi yang kelak menjadi "musuh" besar para koruptor, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Memperingari hari anti korupsi di Indonesia tidak akan bisa dipisahkan dengan nama KPK. Setiap kali menyebut istilah korupsi atau koruptor maka KPK akan menjadi fokus perhatian kita. Momen peringatan Hari Anti Korupsi Internasional di tahun 2019 ini mungkin menyimpan cerita yang berbeda bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Bahkan salah seorang pimpinan KPK, Agus Rahardjo, menyebutkan bahwa tahun 2019 ini merupakan tahun terberat dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Memang harus diakui juga bahwa tahun 2019 menyisakan "kesan" mendalam bagi komisi anti rasuah itu.
Bagaimana tidak, KPK yang selama ini dikenal sebagai lembaga penegak hukum "spesial" dan "luar biasa" kini harus "turun kasta" menjadi sebuah lembaga penegak hukum yang kewenangannya tereduksi. Revisi Undang-Undang KPK yang diketok palu oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 6 September 2019 lalu menjadi penanda akan hal ini. KPK yang sebelumnya memiliki kedudukan independen kini harus rela menjadi bagian dari pemerintah.
Pegawai KPK pun beralih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang harus tunduk terhadap Undang-undang ASN. Selain itu, kewenangan penyadapan yang dimiliki oleh KPK kini harus melalui persetujuan Dewan Pengawas KPK, kemudian KPK sekarang juga harus bekerja dalam pantauan Dewan Pengawas KPK, serta beberapa poin lain yang dianggap memiliki potensi melemahkan komisi anti rasuah ini dalam menjalankan tugas-tugasnya memberangus korupsi.
Revisi UU KPK memang memantik kontroversi publik bahkan hingga saat ini. Beberapa pihak bahkan menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar menerbitkan Perppu KPK yang bisa "menganulir" keberadaan UU KPK hasil revisi tersebut. Akan tetapi sepertinya hal ini belum menunjukkan hasil sesuai harapan.
Para pimpinan KPK sendiri juga sedang mengupayakan dilakukannya  judicial review atau uji materi terhadap UU KPK yang baru ke Mahkamah Konstitusi  sebagai upaya mengembalikan kewenangan "asli" yang mereka miliki.
Namun belum tuntas urusan terkait polemik UU KPK hasil revisi, dunia anti korupsi tanah air seolah mendapatkan "kejutan" lain dari pemerintah. Yaitu dikabulkannya grasi bagi terpidana korupsi Annas Maamun. Koruptor yang dengan sudah payah dijebloskan ke penjara malah justru dibebaskan oleh ampunan presiden. Sungguh sangat disayangkan.
Selain revisi UU KPK dan juga adanya grasi terhadap koruptor, KPK harus menghadapi kenyadaan bahwa pemerintahan kedua Presiden Jokowi tidak menunjukkan semangat dalam memberantas korupsi. Sesuatu yang tercermin dari pidato presiden pasca dilantik menduduki periode kedua masa jabatan dimana kosakata korupsi tidak disinggung samasekali.
Jika kita perhatikan beberapa hal "sepele" lain mungkin kita akan menagkap gelagat bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia tahun 2019 ini seperti tengah berjalan seorang diri. Penyidik KPK yang mengalami kedzaliman oknum misterius, Novel Baswedan, malah diberondong sikap "nyeleneh" politikus Putri Tanjung yang melaporkan dirinya ke polisi atas dugaan pembohongan publik.
Selain itu, ceramah keagamaan di institusi ini dimana Ustadz Abdul Shomad (UAS) menjadi penceramah juga dijadikan polemik.. Membuat KPK dikaitkan dengan radikalisme.
Sehingga wajar jikalau Agus Rahardjo menilai bahwa tahun 2019 adalah tahun yang berat bagi KPK. Namun apakah periode "berat" itu hanya akan terjadi tahun ini saja ataukah masih akan terus berlanjut pada tahun-tahun mendatang?
Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Namun kita harus tetap mencari cara untuk mengoptimalkan sekecil apapun peluang pemberantasan korupsi. Biarlah KPK dihadang sana sini, tetapi pemberantasan korupsi harus terus berjalan.
Gerakan Memberantas Korupsi dengan "Orang Dalam"
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, dalam sebuah kesempatan mengungkapkan fakta bahwa pengungkapan kasus korupsi 80% diantaranya adalah peran dari pihak internal. Dengan kata lain kinerja KPK sangat didukung oleh adanya laporan ketidakberesan dari "orang dalam" instansi, institusi, atau korporasi yang bermasalah.
Berdasarkan laporan ini maka kemudian KPK akan melakukan investigasi ketidakberesan yang terjadi di suatu lembaga bermasalah hingga pada akhirnya mampu menungkap dalam kecurangan disana. Tanpa adanya dukungan dari orang dalam untuk kooperatif terhadap KPK maka akan banyak sekali hambatan dan kendala terhadap upaya pemberantasan korupsi ini.
Ditengah kurangnya keberpihakan beberapa pihak yang mendukung kinerja KPK memberantas korupsi, "orang dalam" adalah sebuah kesempatan yang harus benar-benar dioptimalkan. Keberadaan "orang dalam" membuat KPK tidak perlu susah payah membentuk tim intelejen khusus untuk menemukan titik rawan korupsi di beberapa lembaga.
Hanya saja persebaran "orang "dalam" ini harus diperluas mengingat masih banyaknya orang-orang dengan potensi serupa memiliki ketakutan atau kekhawatiran dalam menyampaikan ketidakberesan yang dilihatnya. Bahkan orang-orang seperti ini seharusnya mendapatkan insentif khusus dari KPK atas keberaniannya melaporkan dugaan kecurangan.
Berdasarkan prinsip pareto, sebuah hasil 80% merupakan kontribusi dari 20% saja. Artinya, 80% pengungkapan kasus korupsi itu adalah "jasa" dari 20% "orang dalam" yang berani mengungkapkan ketidakberesan yang mereka lihat. Namun untuk menjadi "orang dalam" itu tentu tidak mudah.
Jikalau mereka sampai ketahuan orang-orang yang berlaku tidak jujur yang kelak menjadi sasaran KPK, maka orang-orang dalam itu tadi akan menemukan kesulitan demi kesulitan.
Selain keberanian dari dalam diri setiap pribadi, adanya jaminan perlindungan diri serta keluarga yang kuat dari KPK atau bahkan presiden terhadap para "orang dalam" sangatlah diperlukan guna mendukung upaya pengungkapan kasus-kasus korupsi lainnya. Barangkali untuk saat ini kita memang harus bergerak secara "mandiri" dalam rangka menghilangkan korupsi yang sudah terlanjur mengakar kuat di negeri ini.
Salam hangat,
Agil S Habib
Refferensi :
[1] ; [2] ; [3] ; [4] ; [5] ; [6] ; [7] ; [8] ; [9] ; [10]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H