Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beratnya Melawan Godaan untuk Bercerai

6 Desember 2019   11:11 Diperbarui: 6 Desember 2019   11:31 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini masyarakat dibuat kaget dengan kabar perceraian salah satu ulama kondang sekaligus kontroversial tanah air, Ustadz Abdul Shomad atau biasa dikenal sengan sebutas UAS. UAS adalah seorang pendakwah publik yang belakangan cukup digandrungi karena pembawaannya yang humoris namun berisi ketika menyampaikan tausiyahnya.

Problematika umat yang ditanyakan kepada beliau seringkali dijawabnya dengan gayanya yang humoris tapi to the point. Dengan berbagai ceramah yang beliau sampaikan, tidak mengherankan jika publik menilai beliau sebagai sosok yang memiliki kehidupan pribadi sempurna mengingat sebelumnya tidak pernah ada kabar miring samasekali perihal kehidupan pribadi beliau. Oleh karena itu, ketika kabar perceraian beliau mengemuka tak ayal publik pun seperti tidak percaya dibuatnya.

Dibalik realitas UAS sebagai pendakwah yang populer di masyarakat, kehidupan pribadi beliau memang jarang tersorot. Hal ini tentunya sangat menarik rasa penasaran dari para pengagum berikut para hater-nya. Saat UAS memutuskan mundur sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak sedikit yang menyayangkan hal itu.

Publik masih bisa memaklumi bahwa pengunduran dirinya terkait dengan jadwal dakwah yang padat. Akan tetapi sepertinya keputusan untuk bercerai dengan istrinya sungguh membuat banyak orang bertanya-tanya. Ada apa gerangan dengan rumah tangga UAS hingga sampai melayangkan talak kepada (mantan) istrinya?

Secara umum penyebab dari perceraian itu sebagaimana disampaikan oleh Ketua Tim Kuasa Hukum UAS, Hasan Basri, adalah karena sudah tidak adanya kecocokan diantara keduanya. Jawaban "normatif" ini memang dimaksudkan untuk menutupi privasi UAS karena pada dasarnya sebuah perkara rumah tangga tidak selayaknya diumbar ke muka publik.

Namun dari peristiwa perceraian yang dialami UAS ini kita belajar bahwa berumah tangga itu tidak semudah kelihatannya. Ada cukup banyak tantangan yang mesti dilalui dan ujian yang harus dihadapi. Mereka yang mampu bertahan melalui semua rangkaian ujian itu akan langgeng mahligai rumah tangganya, dan sebaliknya mereka yang tidak mampu bertahan akan mengakhiri rumah tangganya di tengah jalan.

Godaan Kata "Cerai"

Saya memiliki seorang teman yang baru-baru ini bercerai dengan suaminya. Padahal keluarga teman saya itu sudah memiliki dua orang anak yang masih kecil-kecil dengan usia pernikahan yang masih baru seumur jagung. Sangat disayangkan sekali bahtera rumah tangga yang masih "hijau" tersebut harus kandas begitu saja.

Terlebih apabila melihat jalinan asmara keduanya yang sudah terajut cukup lama. Teman saya itu sudah berpacaran dengan mantan suaminya jauh sebelum akhirnya mereka memutuskan menikah. Terlihat sebagai pasangan yang romantis, serasi, dan saling melengkapi. Namun takdir berkata lain, keduanya harus memutuskan ikatan pernikahan karena masalah yang "mirip" dengan UAS.

Sebagai seorang yang telah mengarungi kehidupan rumah tangga, cekcok dalam pernikahan adalah sesuatu yang seringkali terjadi. Bahkan perkara sepele pun bisa memantik sebuah pertengkaran besar. Apalagi ketika salah satu atau keduanya antara suami atau istri tidak mampu menahan emosinya, sebuah pertengkaran bisa terjadi.

Ego pribadi seseorang seringkali sulit untuk dikontrol, membuat kita selalu ingin menjadi pemenang dan tidak ingin dipersalahkan. Percekcokan dalam suatu pernikahan cenderung saling melemparkan argumen salah benar antar kedua belah pihak. Suami menyalahkan istri atau sebaliknya. Suami disudutkan oleh istri, suami tidak terima, berkata-kata kasar, dan pertengkaran pun memuncak.

Beberapa keluarga mungkin ada yang "main" fisik dengan melemparkan beberapa barang rumah tangga. Hingga yang lebih ekstrem mungkin kekerasan dalam rumah tangga atau yang paling parah penganiayaan.

Ketika sebuah pertengkaran terjadi antara suami atau istri, tidak jarang salah satu atau keduanya melayangkan kata-kata emosional yang berujung pada perceraian. Sang istri minta ditalak atau sang suami menjatuhkan talak cerai kepada sang istri. Jika yang "menjatuhkan" talak adalah sang istri, maka cerai sebenarnya tidak berlaku secara agama.

Pasangan suami istri masih bisa menjalin hubungan sebagaimana layaknya pasangan suami istri. Lain halnya ketika talak cerai itu dilontarkan oleh pihak suami. Hal itu sudah secara otomatis berlaku. Kata-kata cerai, talak, atau sejenisnya memiliki konsekeuensi hukum yang "keras" bila dilontarkan pihak suami, meskipun hal itu disampaikan dalam kategori bercanda sekalipun. Sehingga setiap suami benar-benar harus berhati-hati dalam mengucapkan kata-kata ini.

Permasalahannya, ketika sebuah konflik suami istri terjadi, emosi yang tinggi cenderung membuat seseorang yang mengalaminya lepas kendali. Kalimat-kalimat yang terucap sulit terkontrol hingga akhirnya terlontar ucapan yang menyakitkan. Ketika hal ini terjadi, sangat mudah bagi seorang suami atau istri mengucapkan kata-kata "pamungkas", cerai.

Menahan diri agar selalu berada dalam kendali emosi meskipun dalam suasana pertengkaran yang panas bukanlah perkara mudah. Tantangan untuk terus mampu membawa diri agar tidak melontarkan kata-kata pamungkas tadi menuntut kita untuk bisa berfikir panjang meskipun ditengah suasana yang kurang kondusif.

Orang-orang bijak mengatakan agar kita jangan mengambil keputusan ditengah-tengah terpaan badai emosi. Memutuskan sesuatu ditengah kondisi emosi tinggi cenderung menimbulkan penyesalan panjang di kemudian hari. Sehingga pasangan suami istri yang tengah dihadapkan dalam situasi seperti ini harus memiliki kepekaan untuk mengalah, baik itu salah satu atau kedua-duanya.

Perceraian adalah opsi terakhir dalam menyelesaikan konflik didalam pernikahan. Pernikahan itu tidak dilarang, tetapi hal itu merupakan sesuatu yang dibenci oleh Allah SWT. Sehingga selayaknya hal itu dihindari. Usia pacaran tidak selalu menjamin keharmonisan rumah tangga, contohnya adalah pada teman saya tadi.

Seorang motivator publik belum tentu memiliki rumah tangga yang sempurna, contohnya Anthony Robbin yang berpisah dengan (mantan) istrinya. Bahkan seorang pemuka agama pun belum tentu mampu menjaga rumah tangganya tetap utuh, seperti yang terjadi pada UAS. Namun bukan berarti kesempurnaan berumah tangga tidak bisa tercapai.

Kita bisa belajar banyak pada sosok almarhum Presiden BJ. Habibie dengan istri beliau almarhumah Ibu Ainun Habibie. Kisah rumah tangga mereka sangat luar biasa, penuh cinta hingga usia senja bahkan sampai tutup usia. Mungkin kita bisa membandingkan hal-hal yang terjadi pada beberapa sosok tadi dan belajar yang terbaik demi kebaikan rumah tangga kita.

Salam hangat,

Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun