Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Gila! 20.000 Ton Beras Terancam Dimusnahkan, ke Mana Saja Pemerintah?

4 Desember 2019   08:05 Diperbarui: 4 Desember 2019   08:15 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian besar masyarakat Indonesia menjadikan nasi sebagai makanan utamanya. Sampai ada sebuah idiom yang mengatakan bahwa kalau belum makan nasi maka itu artinya belum makan. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar, maka kebutuhan akan pasokan beras selaku "cikal bakal" nasi mutlak dibutuhkan. Seharusnya, tidak terlalu sulit untuk mendistribusikan setiap butir beras kepada masyarakat karena mereka memang membutuhkannya. Namun mengapa sampai terjadi sebuah fenomena "langka" dimana sekitar 20.000 ton beras terancam dimusnhkan terkait adanya penurunan mutu beras akibat melebihi batas waktu penyimpanan?

20.000 ton beras tentu bukanlah jumlah yang sedikit. Mengutip dari laman pertanian.go.id, jumlah konsumsi beras masyakat kita pada tahun 2017 adalah sekitar 114,6 kg per kapita per tahun atau 9,6 kg per kapita per bulan. Beras sebanyak 20.000 ton ini bisa mencukupi kebutuhan pangan 174.500 penduduk dalam setahun atau 2.094.000 orang dalam sebulan. Lantas bagaimana bisa beras sebanyak itu dibiarkan "mubazir" begitu saja? Yang perlu kita pertanyakan sebenarnya adalah terkait mengapa kondisi ini bisa terjadi?

Ditengarai, 20.000 ton stok beras ini tersia-siakan akibat sistem manajemen tata keola beras yang salah. Manajemen penyimpanan dan pasokan beras tidak dijalankan secara optimal. Terbukti sepanjang tahun 2018 lalu kebijakan impor beras menyentuh angka 2,25 juta ton. Jumlah ini naik signifikan dibandingkan tahun 2017 yang hanya sebanyak 0,71 juta ton.

Cukup mengherankan sebenarnya melihat kebijakan impor pemerintah ini yang bisa kelolosan dalam melakukan sistem pengelolaan beras. Terlebih data Badan Pusat Statistik (BPS) secara rutin merilis data kebutuhan beras masyarakat setiap kurun waktu tertentu. Pun untuk pertumbuhan jumlah penduduk juga diinformasikan oleh BPS. Apakah ini artinya pemerintah abai terhadap semua data pendukung kebijakannya? Atau jangan-jangan impor beras hanya sekadar permainan dagang untuk kepentingan beberapa pihak tertentu tanpa memikirkan efek jangka panjangnya? Kini kita lihat, 20.000 ton beras sudah kehilangan nilai berharganya.

Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) berargumen terkait expired-nya 20.000 ton beras yang menjadi tanggung jawab pengelolaan mereka. Menurut Perum Bulog, ada dua faktor utama yang menyebabkan hal ini. Pertama, terkena banjir. Beras yang disimpan oleh Perum Bulog terkena banjir, yang artinya tidak ada "pengamanan" yang memadai dari Perum Bulog serta kurangnya pencegahan terhadap hal ini. Potensi banjir bisa terjadi di sebagian wilayah Indonesia.

Semestinya hal ini sudah dimasukkan dalam rencana penyiimpanan beras Perum Bulog terkait bagaimana mereka mempersiapkan rencana A, B, C, dan seterusnya. Jika menyitir kata-kata Prabowo Subianto,  "Prayer is not a strategy.", maka pengelola Perum Bulog tidak bisa terus mengharap agar alam bersahabat dengan kita serta tidak menimpakan banjir yang bisa merusak mutu beras. Cara terbaik untuk memastikan agar banjir tidak berdampak terhadap kualitas beras yang disimpan adalah dengan menyusun rencana menghindarkan beras-beras tadi dari terpaan banjir. Tidak bisakah? Seharusnya bisa.

Selain masalah banjir, Perum Bulog menganggap biang keladi penurunan mutu beras yang mereka simpan adalah terkait kecilnya penyaluran beras yang telah diserap. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang melakukan uji coba kebijakan Beras Strategis (Rastra) ke Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT) di pertengahan tahun 2017. Melihat dari argumen ini sebenarnya kita mulai menangkap "keanehan" dari kebijakan pemerintah.

Peralihan dari Rastra ke BNPT yang dijadikan alasan terkendalanya penyaluran beras hingga berujung pada penurunan mutu beras akibat terlalu lama disimpan sudah dilakukan sejak pertengahan tahun 2017, sedangkan impor beras sepanjang tahun 2018 meningkat secara luar biasa dibandingkan tahun 2017. Perlu diperjelas bahwa tahun 2018 itu terjadi setelah tahun 2017, bukan sebaliknya. Tidakkah kita menangkap sesuatu yang aneh disini?

Apakah tidak ada kemungkinan bahwa penyaluran beras yang dilakukan oleh Perum Bulog menyalahi prinsip FIFO (First In First Out)? Dalam prinsip ini beras yang pertama kali masuk ke gudang penyimpanan haruslah menjadi yang pertama juga saat hendak disalurkan. Hal ini tidak kita ketahui sebagai orang luar yang tidak mengikuti langsung proses operasional di Perum Bulog. Sepertinya ada banyak sekali waste dalam sistem manajemen persediaan di Perum Bulog hingga berujung pada tersia-siakannya 20.000 ton beras. Saya pribadi merasa ragu jika alasan banjir dan peralihan Rastra ke BNPT dijadikan dalih atas hal ini.

Benarkah akan dimusnahkan?

Wacana yang belakangan beredar, 20.000 ton beras yang mengalami penurunan kualitas itu rencananya akan dimusnahkan. Hal ini membuat beberapa pihak seperti Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) meradang. Mereka menilai hal ini sebagai langkah yang mubazir. APPSI meminta agar beras sebanyak itu dihibahkan saja kepada mereka untuk diolah dan didistribusikan kembali kepada masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun