Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Tak Semua Komisi DPR Sepakat Kenaikan Iuran BPJS

8 November 2019   07:06 Diperbarui: 8 November 2019   11:29 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Layanan BPJS Kesehatan | Sumber gambar : www.cnbcindonesia.com

Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 memberikan penegasan terkait kebijakan baru pemerintah yang akan menaikkan iuran BPJK Kesehatan sebesar 100% pada semua segmen peserta berlaku per 1 Januari 2020. 

Keputusan ini direspons keberatan oleh publik karena dianggap semakin membebani masyarakat. Meskipun begitu ternyata pemerintah tetap tidak mau bergeming dari keputusannya tersebut dengan pertimbangan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan adalah untuk menutupi defisit keuangan negara.

Namun siapa sangka kebijakan pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada semua kelas ini ternyata menyalahi kesepakatan dengan Komisi IX DPR pada rapat tanggal 2 September 2019 yang meminta agar pemerintah tidak menaikkan iuran untuk kelas III.

Seperti yang disampaikan oleh Nihayatul Wafiroh, Anggota DPR Komisi IX Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), keputusan pemerintah menerbitkan Perpres ini dan mengabaikan permintaan dari Komisi IX DPR adalah bentuk "egoisme" pemerintah.

Dampaknya, Komisi IX DPR mengancam tidak akan bersedia menggelar rapat lagi dengan BPJS Kesehatan dan juga Kementeria Kesehatan (Kemenkes).  

Seiring keputusan pemerintah yang sudah memastikan bahwa iuran BPJS Kesehatan naik di semua kelas terhitung per 1 Januari 2020, maka seluruh peserta BPJS Kesehatan mau tidak mau harus merogoh koceknya sedikit lebih dalam untuk membayar iuran. Padahal Perpres ini terbit tanpa persetujuan dari DPR, khususnya komisi IX.

Lantas apakah kebijakan kenaikan iuran BPJS ini bisa disebut ilegal?

Dalam sistem demokrasi Indonesia yang menganut trias politika, di mana pemerintahan diatur sedemikian rupa dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Sistem ini membuat kekuasaan "dipecah" dalam tiga kategori, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Eksekutif adalah pelaksana "harian" dari "operasional" sebuah negara.

Sedangkan legislatif merupakan representatif dari suara masyarakat. Yudikatif sendiri memegang kewenangan di bidang hukum

 Apabila legislatif digambarkan sebagai representasi suara rakyat, maka sayogyanya suara legislatif memiliki kekuatan yang cukup untuk "mencegat" kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat.

Apabila mayoritas suara di legislatif tidak sepakat dengan kebijakan pemerintah, maka seharusnya kebijakan tersebut tidak dipaksakan ada.

Seperti halnya ketika masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berencana menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), kala itu sebagian besar anggota legislatif bersepakat "menentang" kebijakan itu.

Sehingga pada akhirnya pemerintah kala itu pun tidak jadi menunaikan kebijakannya menaikkan harga BBM.

Mengapa situasi serupa tidak terjadi terhadap kebijakan pemerintah yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk semua kelas? Permintaan DPR agar pemerintah tidak menaikkan iuran BPJS Kesehatan kelas III ternyata tidak membuat presiden merevisi Perpres yang diterbitkannya. Minimal untuk saat ini.

Apakah memang pemerintah diperbolehkan "membantah" permintaan dari DPR? Apakah terkait kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan ini tidak memerlukan "restu" dari badan legislatif? Apabila memang demikian realitasnya, lalu untuk apa legislatif ada?

Mungkin memang perlu iuran BPJS Kesehatan dinaikkan mengingat defisit anggaran yang semakin menganga. Padahal seharusnya pemerintah masih bisa mengusahakan opsi lain dalam rangka menyiasati hal ini.

Kalau pun memang harus naik, setidak-tidaknya untuk BPJS Kesehatan kelas III jangan diperlakukan sama kenaikannya dengan kelas yang lebih tinggi. Jikalau pemerintah mengatakan untuk beli rokok dan pulsa saja mampu, mengapa untuk bayar BPJS Kesehatan saja tidak?

Pandangan seperti itu sama artinya dengan menyamarakatan masyarakat yang berada di kelas ekonomi bawah adalah para perokok dan "pecandu" pulsa. Padahal belum tentu demikian.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan sudah diputuskan secara resmi. Bahkan DPR pun sepertinya tidak mampu membuat pemerintah bergeming dengan keputusannya. Walaupun hal itu hanya terkait kemungkinan diturunkannya tarif untuk kelas III saja.

Pemerintah berdalih bahwa mereka sedang menyiapkan rencana untuk memberikan subsidi bagi peserta BPJS Kesehatan kelas III   sehingga seolah-olah tidak terjadi kenaikan iuran untuk kelas tersebut.

Lalu apa bedanya merevisi Perpres di mana untuk kelas III tidak perlu mengalami kenaikan tarif dibandingkan tidak merevisi Perpres namun dibarengi dengan pemberian subsidi? Apakah rencana pemberian subsidi ini bukan membuat birokrasi bertambah dan makin rumit? Belum lagi potensi gelontoran dana subsidi yang rawan diselewengkan.

Ataukah mungkin ini hanya upaya mengulur waktu hingga publik jengah dan melupakan fakta bahwa iuran BPJS Kesehatan untuk semua kelas dinaikkan 100%? Hanya waktu yang akan membuktikan.

Salam hangat,

Agil S Habib

Refferensi :

[1] ; [2] ; [3]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun