Kontroversi pemutaran film Joker hingga saat ini masih terjadi. Sebagian kalangan beranggapan bahwa film ini berpotensi memicu terjadinya tindak kriminalitas. Namun sebagian yang lain justru menganggap bahwa film Joker adalah salah satu film terbaik sepanjang masa.
Beberapa pemeringkat rating film bahkan menempatkan Joker pada urutan ke-9 dari sepuluh besar film terbaik sepanjang masa. Selain itu, dari sisi finansial bisa dikatakan film ini juga mampu menuai sukses besar.
Barangkali disamping karena kualitas filmnya yang mumpuni, kontroversi yang menyertai film tersebut juga turut andil menciptakan rasa penasaran di benak para pecinta film.
Pembawaan karakter sosok Joker yang kelam memang diilhami banyak kalangan. Terlebih ada cukup banyak perkataan-perkataan "bijak" yang diucapkan oleh karakter Joker ini begitu viral di media sosial. Salah satu yang paling populer adalah pernyataan bahwa orang jahat adalah orang baik yang tersakiti.
Ramai-ramai netizen menuliskan status serupa entah sekadar untuk gaya-gayaan semata atau bisa jadi kalimat ini memang terasa benar bagi mereka.
Apakah perkataan yang disampaikan oleh Joker tersebut memang benar dalam realitas? Benarkah orang-orang yang berkelakuan jahat sebenarnya adalah orang baik yang mengalami rasa sakit akibat tekanan kehidupan?
Behavioristik Dibalik Kelahiran Karakter Joker
Pernyataan Joker tersebut sebenarnya terkesan menyalahkan lingkungan terkait apa yang terjadi terhadap dirinya. Ia menjadi sengsara karena lingkungannya, ia hidup susah karena ulah orang lain, dan kemudian ia menjadi orang jahat juga atas kontribusi faktor-faktor eksternal.
Arthur Fleck adalah "korban" dari lingkungan yang lantas "memaksanya" bertransformasi menjadi sosok Joker yang sadis. Pandangan yang dimiliki Joker ini dalam ilmu psikologi dikenal dengan istilah behavioristik, yaitu menyatakan bahwa perilaku seseorang sepenuhnya ditentukan oleh adanya stimulus dari faktor luar dan bukan dari apa yang ada didalam pikiranya sendiri. Teori ini menihilkan adanya peran hati dan pikiran kita pribadi dalam rangka menciptakan karakter diri.
Faktor pengalaman memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan arah perilaku seseorang. Sepertinya hal inilah yang terjadi pada Arthur Fleck sebelum akhirnya berubah menjadi Joker dengan segala kepribadiannya. Kontroversi terkait kekhawatiran perihal kemungkinan terinspirasinya penonton film ini untuk menjadi jahat mungkin cukup beralasan. Karena bisa jadi ada banyak orang diluar sana yang juga memiliki pengalaman hidup pahit serta menyakitkan.
Tidak menutup kemungkinan mereka memendam amarah yang begitu besar serta menaruh kekecewaan mendalam terhadap banyak hal. Pernyataan Joker bahwa orang jahat itu pada dasarnya baik riskan menjadikan orang-orang yang kecewa terhadap kehidupannya tersebut menjadi pribadi yang penuh dendam hingga berujung pada aksi-aksi yang tidak diinginkan.
Namun teori behavioristik yang dipelopori salah satunya oleh Ivan Pavlov ini sebenarnya melewatkan satu poin penting yang dimiliki oleh manusia. Bertentangan dengan teori behavioristik yang menganggap bahwa karakter dan kepribadian manusia dibentuk oleh lingkungan, Ary Ginanjar Agustian dalam buku ESQ menyatakan bahwa manusia itu dianugerahi potensi luar biasa berupa tiupan nur ilahi.
Hal inilah yang "mendorong" kita untuk mencintai kebenaran, menyukai keadilan, senang akan kekuasaan, bahagia dengan penghargaan, dan lain sebagainya. Semua kecenderungan itu lahir dari tiupan nur ilahi bahwa Tuhan itu Mahabenar, Mahaadil, Mahaberkuasa, Mahabesar, dan lain-lain. Dalam buku ESQ hal ini disebut dengan psikologi Asmaul Husna atau 99 Thinking Hat.
Bahwa sesungguhnya setiap orang itu memiliki "hak" untuk menentukan sendiri kemana arah hidupnya. Setiap manusia memiliki fitrah untuk menjadi orang baik, terlepas dari apapun kondisi lingkungannya.
Lingkungan yang bobrok mungkin bisa berpengaruh terhadap diri seseorang. Akan tetapi ketika mereka berpegang teguh terhadap fitrah didalam hatinya maka kebobrokan itu tidak akan "menular" kepada dirinya.
Ketika film Joker ini dipersalahkan terkait kemungkinan terinspirasinya seorang penonton film itu untuk bertindak melanggar hukum, sebenarnya hal itu kurang tepat. Bagaimanapun juga setiap orang memiliki kuasa untuk mengarahkan dirinya menjadi seperti apa. Apakah mereka masih berusaha mendengarkan bisikan hatinya yang suci ataukah menghiraukannya.
Di sinilah poin utamanya. Semuanya kembali pada pribadi kita masing-masing. Jikalau selama ini kita sudah "kadung" terbiasa menghiraukan bisikan hati nur ilahiah yang berasal dari dalam hati, maka tidak perlu menonton film Joker sekalipun sudah cukup membuat pribadi kita terpuruk. Sudah begitu banyak pelaku kriminalitas lahir diluar sana tanpa harus menonton film Joker terlebih dahulu.
Kita sudah terlalu sering mengabaikan sumber daya terhebat kita. Hati nurani. Celakanya, sumber daya ini seringkali luput dari perhatian banyak orang. Termasuk diri kita sendiri.
Pemilik kurikulum pendidikan bahkan lebih fokus pada aspek-aspek kognitif atau hal-hal lain yang sifatnya "hard". Sesuatu yang sifatnya "soft" seperti hati nurani ini justru terabaikan.
Padahal amanah para founding father bangsa ini sudah jelas mengamanahkan kepada para generasi penerus untuk membangun jiwa bangsa terlebih dahulu barulah membangun badan. Dengan kata lain hati harus lebih diutamakan.
Jika ini yang kemudian kita pahami sebagai sesuatu yang penting untuk dilakukan, maka kita akan menyaksikan sebuah bangsa dengan karakternya yang berkualitas. Pada akhirnya Joker hanyalah sebuah tontonan yang menjadi hiburan semata, tidak lebih dari itu.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H