Namun teori behavioristik yang dipelopori salah satunya oleh Ivan Pavlov ini sebenarnya melewatkan satu poin penting yang dimiliki oleh manusia. Bertentangan dengan teori behavioristik yang menganggap bahwa karakter dan kepribadian manusia dibentuk oleh lingkungan, Ary Ginanjar Agustian dalam buku ESQ menyatakan bahwa manusia itu dianugerahi potensi luar biasa berupa tiupan nur ilahi.
Hal inilah yang "mendorong" kita untuk mencintai kebenaran, menyukai keadilan, senang akan kekuasaan, bahagia dengan penghargaan, dan lain sebagainya. Semua kecenderungan itu lahir dari tiupan nur ilahi bahwa Tuhan itu Mahabenar, Mahaadil, Mahaberkuasa, Mahabesar, dan lain-lain. Dalam buku ESQ hal ini disebut dengan psikologi Asmaul Husna atau 99 Thinking Hat.
Bahwa sesungguhnya setiap orang itu memiliki "hak" untuk menentukan sendiri kemana arah hidupnya. Setiap manusia memiliki fitrah untuk menjadi orang baik, terlepas dari apapun kondisi lingkungannya.
Lingkungan yang bobrok mungkin bisa berpengaruh terhadap diri seseorang. Akan tetapi ketika mereka berpegang teguh terhadap fitrah didalam hatinya maka kebobrokan itu tidak akan "menular" kepada dirinya.
Ketika film Joker ini dipersalahkan terkait kemungkinan terinspirasinya seorang penonton film itu untuk bertindak melanggar hukum, sebenarnya hal itu kurang tepat. Bagaimanapun juga setiap orang memiliki kuasa untuk mengarahkan dirinya menjadi seperti apa. Apakah mereka masih berusaha mendengarkan bisikan hatinya yang suci ataukah menghiraukannya.
Di sinilah poin utamanya. Semuanya kembali pada pribadi kita masing-masing. Jikalau selama ini kita sudah "kadung" terbiasa menghiraukan bisikan hati nur ilahiah yang berasal dari dalam hati, maka tidak perlu menonton film Joker sekalipun sudah cukup membuat pribadi kita terpuruk. Sudah begitu banyak pelaku kriminalitas lahir diluar sana tanpa harus menonton film Joker terlebih dahulu.
Kita sudah terlalu sering mengabaikan sumber daya terhebat kita. Hati nurani. Celakanya, sumber daya ini seringkali luput dari perhatian banyak orang. Termasuk diri kita sendiri.
Pemilik kurikulum pendidikan bahkan lebih fokus pada aspek-aspek kognitif atau hal-hal lain yang sifatnya "hard". Sesuatu yang sifatnya "soft" seperti hati nurani ini justru terabaikan.
Padahal amanah para founding father bangsa ini sudah jelas mengamanahkan kepada para generasi penerus untuk membangun jiwa bangsa terlebih dahulu barulah membangun badan. Dengan kata lain hati harus lebih diutamakan.
Jika ini yang kemudian kita pahami sebagai sesuatu yang penting untuk dilakukan, maka kita akan menyaksikan sebuah bangsa dengan karakternya yang berkualitas. Pada akhirnya Joker hanyalah sebuah tontonan yang menjadi hiburan semata, tidak lebih dari itu.
Salam hangat,
Agil S Habib