Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Arteria Dahlan Vs Prof. Emil Salim, Potret Pudarnya "Toto Kromo" Berpolitik

10 Oktober 2019   12:16 Diperbarui: 10 Oktober 2019   12:29 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Program-program televisi yang mengatasnamakan diskusi publik sebenarnya lebih layak untuk disebut sebagai ajang debat di muka umum. 

Kenyataannya, sesuatu yang disebut diskusi seringkali berujung pada kengototan masing-masing kubu dalam mempertahankan argumentasinya masing-masing. Sehingga tidak jarang ada aksi "saling serang" satu sama lain. 

Namun terlepas dari sebuatan diskusi ataupun debat publik, satu hal yang tidak boleh terlupakan adalah perihal bagaimana menjaga etika bersikap dan berbicara satu sama lain. Pandangan boleh berbeda, pemikiran boleh berbeda, hanya saja hal itu bukanlah dalih yang membuat seseorang lepas kendali.

Kita sering menyaksikan beberapa publik figur melakukan adu argumen. Salah satu pihak mengkritisi pihak yang lain. Kemudian pihak yang dikritik tidak terima karenanya. Pada akhirnya emosi meluap hingga penyangkalan demi penyangkalan pun dilontarkan. Sayangnya penyangkalan itu seringkali disertai emosi yang tidak terkendali. Membuat "buta" sikap mereka terkait siapa pihak yang tengah dihadapi. 

Ketika emosi itu sudah mencapai puncaknya, penyangkalan itu bisa saja melampaui batas. Tidak peduli orang tua sekalipun akan mereka lawan. Bahkan tunjuk muka sekalipun bukan menjadi sesuatu yang tabu lagi bagi mereka. 

Inilah yang belakangan ini kita saksikan melalui debat publik yang terjadi antara politisi PDI-Perjuangan, Arteria Dahlan, dengan tokoh senior Prof. Emil Salim. Arteria Dahlan dianggap tidak memiliki rasa hormat seiring kata-katanya yang "kasar" dan sikapnya yang terkesan angkuh kepada sosok yang semestinya ia menundukkan kepala tanda hormat saat berbicara dengannya. 

Apa yang Arteria tunjukkan dalam program Mata Najwa itu seolah menjadi potret bahwa "toto kromo" generasi saat ini tengah mengalami degradasi. Budaya "toto kromo" yang begitu dijunjung tinggi itu seperti memudar dan kalah oleh keangkuhan sosok-sosok muda yang merasa lebih tahu segalanya, lebih paham banyak hal, dan merasa paling patriotik. Padahal bisa jadi hal itu hanya sebatas anggapannya saja.

Perbedaan pandangan adalah sesuatu yang biasa. Pendapat orang lain pun tidak selamanya benar.  Boleh jadi kita merasa lebih tahu dari yang lain dan lebih memahami sesuatu yang mana orang lain tidak cukup mengetahuinya. Hanya saja ada beberapa hal tertentu yang tetap tidak boleh kita langgar. Ada batas-batas moralitas yang tetap harus dijunjung tinggi apapun yang terjadi. Salah satu diantaranya adalah terkait bagaimana melakukan perdebatan dan penyangkalan secara santun. 

Sulit memang, tetapi untuk para politisi yang katanya menjadi wakil rakyat tentu "wajib" mamiliki itu semua. Tentunya politisi yang duduk sebagai wakil rakyat di gedung dewan sana sudah cukup tahu betapa pentingnya menjunjung tinggi adab dan etika. Maka ketika etika itu hilang saat tampil di muka publik, tentunya keberadaan sang wakil rakyat menjadi dipertanyakan. Benarkah ia layak?

Bagaimanapun juga nasi sudah menjadi bubur. Arteria Dahlan tidak bisa mengulang kembali waktu dan "membatalkan" perilakunya yang jelas-jelas lepas kendali terhadap Prof. Emil Salim. Sekarang ia harus mengajukan permintaan maaf secara terbuka di hadapan publik. 

Bahkan menurut Sujiwo Tedjo, sang atasan tertinggi Arteria di partai yaitu Ibu Megawati Soekarnoputri yang seharusnya mewakili permintaan maaf itu. Karena permintaan maaf Arteria Dahlan sudah tidak cukup lagi. Sikap tidak hormat kepada sesepuh mestilah dikompensasi dengan permintaan maaf dari "sesepuh" lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun