Permasalahan utama yang saat ini terjadi sebenarnya adalah masyarakat tidak memiliki referensi cukup baik terkait wakil-wakilnya. Bukan hanya wakil rakyat dari kalangan perempuan, bahkan dari kalangan laki-laki pun juga tidak jauh berbeda.Â
Masyarakat baru tahu siapa saja calon wakilnya saat datang ke bilik suara dan melihat foto calon-calon yang ada. Siapa yang sekilas pernah "singgah" di pikirannya, maka kemungkinan orang itulah yang dipilih.Â
Masyarakat tidak memiliki bahan analisa yang cukup untuk menelusuri satu persatu latar belakang serta kompetensi para wakilnya.Â
Pada akhirnya pengambilan keputusan untuk memiliki wakil rakyat seringkali dilakukan secara random (acak), atau yang lebih buruk lagi memilih wakil yang berani membayar lebih kepada mereka. Politik uang.
Apakah Masyarakat Ingin Diwakili Perempuan?
Kita sering menggembar-gemborkan kesetaraan terhadap kaum perempuan, khususnya dalam hal ini terkait posisi mereka sebagai wakil rakyat.Â
Tentunya, angka 30% itu tidak akan serta merta terpenuhi tanpa adanya upaya nyata dalam mewujudkannya. Peranan utama tentu saja pada individu setiap perempuan yang berhasrat menjadi wakil rakyat.Â
Apakah banyak diantara kaum mereka yang berminat menjadi wakil rakyat? Jika sudah berminat, apakah mereka sudah merasa cukup layak untuk menjadi wakil rakyat dan memperjuangkan aspirasi masyarakat pemilihnya?Â
Selanjutnya, dukungan partai politik selaku "pintu masuk" menuju posisi-posisi pejabat publik yang mengelola dan mengawasi roda kehidupan suatu bangsa.Â
Sebanyak apapun perempuan yang berhasrat menjadi anggota dewan tanpa dibarengi dengan penyerapan yang baik dari partai politik maka akan sia-sia saja.Â
Apabila undang-undang mengharapkan keterwakilan kaum perempuan sebanyak 30%, maka partai politik seharusnya menyodorkan sejumlah nama lebih banyak dari proporsi itu.Â
Secara realistis, semua nama yang diajukan oleh semua partai politik itu belum tentu terpilih. Hanya beberapa diantaranya saja. Sehingga jumlahnya pun akan menyusut.Â