Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Benarkah Merokok Bikin Kenyang?

26 September 2019   13:19 Diperbarui: 26 September 2019   13:27 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hidangan Rokok | Ilustrasi gambar: hellosehat.com

Fenomena orang-orang dengan tingkat ekonomi lemah masih banyak yang merokok mungkin memantik keprihatinan kita bersama. Kita pasti menyayangkan uang yang semestinya bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari malah justru sebagian diantaranya terpakai untuk membeli rokok atau tembakau berikut kertas bungkus rokok dan segala kelengkapan lain untuk meracik rokok sendiri. 

Kita seringkali menganggap bahwa orang-orang seperti itu melakukan tindakan yang "aneh" karena untuk kebutuhan makan saja pas-pasan tetapi uangnya malah dipakai untuk membeli rekok. Namun dari sebagian perokok yang berada pada kelas ekonomi lemah itu justru menganggap rokok sebagai solusi atas keterbatasan itu. 

Mereka beranggapan bahwa dengan merokok justru membuat mereka kenyang tanpa harus menyantap makanan. Mereka bisa menekan biaya konsumsi untuk membeli beras, lauk, dan sejenisnya. Dengan merokok, konsumsi makanan mereka bisa jadi berkurang dari yang biasanya tiga kali sehari bisa menjadi sekali saja atau beberapa kali makan namun porsinya msaing-masing sangat sedikit. Hemat.

Padahal anggapan ini sebenarnya kurang tepat. Merokok sebenarnya tidak membuat kenyang, tapi mengurangi nafsu makan. Dikutip dari laman kompas lifestyle, rokok membuat tubuh seseorang kekurangan oksigen atau dalam istilah medis disebut hipoksia. 

Saat tubuh kekurangan oksigen, hal itu akan mempengaruhi gen lapar yang disebut leptin. Akibatnya nafsu maka menjadi berkurang. Apabila hal ini terus berlanjut, akan berdampak pada kerusakan organ tubuh dan berat badan sulit bertambah. 

Pada penelitian lain sebagaimana dilansir juga oleh kompas lifestyle, nikotin yang terbawa masuk kedalam tubuh melalui asap rokok dapat mengaktifasi sel otak tertentu yang mengakibatkan berkurangnya nafsu makan. Jadi sebenarnya bukan rokok membuat kenyang, hanya nafsu makannya yang hilang.

Bagi masyarakat dengan kondisi ekonomi serba terbatas, kebutuhan makan tetaplah sesuatu yang pokok. Tetapi disisi lain mereka juga ingin agar beberapa jenis kebutuhan lain juga bisa terpenuhi. 

Akhirnya tidak sedikit dari mereka yang rela menahan lapar, mengurangi porsi makan, hingga mencari "pelampiasan" agar konsumsi makan bisa mereka kurangi yang mana diantaranya dengan merokok. 

Satu batang rokok bisa jadi mewakili sepiring nasi dan lauk pauk. Kalau beli di warung untuk satu porsi sederhana saja bisa menghabiskan uang Rp 10.000. Sedangkan angka itu bisa saja dibelikan satu bungkus rokok. Lumayan, mungkin demikian pemikiran yang luput dari perhatian kita di masyarakat. 

Mereka mungkin beranggapan bahwa banyak diantara perokok yang sehat-sehat saja kondisinya. Jadi merokok bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Uang jatah makan sebagian bisa ditabung untuk memperbaiki rumah, membayar tagihan, atau membeli smartphone.

Rokok dan Angka Kematian
Data statistik yang pernah dipublikasikan beberapa tahun lalu oleh laman kompas lifestyle menyebutkan bahwa sekitar 60% penyakit jantung disebabkan oleh kebiasaan merokok. Adapun sebagaimana diketahui bahwa penyakit jantung merupakan salah satu "pembunuh" terbesar manusia. 

Data kementerian yang dipublikasikan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2017 lalu menyebutkan bahwa penyakit jantung menduduki urutan kedua setelah stroke sebagai penyebab kematian tertinggi. Dengan kata lain, kebiasaan merokok memberikan "kontribusi" yang cukup besar terhadap angka kematian akibat penyakit di Indonesia.

Namun hal ini sepertinya masih sering disepelekan oleh masyarakat kita, terutama oleh mereka dari kalangan perokok berlatar ekonomi kurang mampu. Peringatan yang ada sering dianggap sebagai angin lalu. 

Mereka baru benar-benar memahami bahaya rokok setelah terbaring sakit, dengan kondisi yang sudah terlambat. Memang benar bahwa kematian itu sepenuhnya kehendak Sang Mahakuasa. Hanya saja kita patut berusaha agar tetap sehat. Salah satunya dengan mengurangi atau bahkan berhenti dari mengonsumsi rokok.

Bukan perkara mudah memang untuk berhenti dari kebiasaan merokok. Apalagi saat hal itu didasarkan pada pemahaman untuk menekan pengeluaran atas semua kebutuhan secara ekonomi. Lebih berbahaya lagi ketika kebiasaan merokok itu memang sengaja dipertahankan dengan maksud serupa. 

Keluarga atau kerabat terdekat mesti mampu memberikan keyakinan bahwa merokok itu sebenarnya justru mematik kerugian dan pengeluaran ekonomi yang lebih besar. Biaya berobat untuk membayar dokter spesialis jantung atau paru-paru tentunya tidak murah. Dan itu harus kita bayarkan saat kondisi penyakit akibat rokok sudah semakin parah. Sayang seribu sayang.

Salam hangat,
Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun