Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Pemimpin Jangan Takut Dihina ("Colek" Pak Jokowi)

25 September 2019   15:43 Diperbarui: 25 September 2019   15:59 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: pixabay.com

Kepala kantor Staf Kepresidenan, Moeldoko, meminta mahasiswa atau masyarakat yang berunjuk rasa agar tidak menghina Presiden Joko Widodo. Dia mengharapkan agar masyarakat berempati pada presiden yang tengah diterpa masalah bangsa begitu bertubi-tubi, mulai dari kerusuhan Papua hingga kebakara hutan. Belum lagi kondisi ekonomi yang serba tidak menentu seiring kisruh demonstrasi yang merebak di berbagai daerah. Moeldoko berharap agar presiden dikasihani oleh segenap masyarakatnya.

Pertanyaanya sekarang, perlukah seorang pemimpin sedemikian memikirkan kondisi dirinya sendiri terkait dihina atau tidak? Pemimpin-pemimpin besar masa lalu seperti Nabi Muhammad SAW bahkan tidak hanya dihina, melainkan juga disakiti. Namun beliau tidak pernah memikirkan itu semua. 

Ketika umatnya ada yang melempari beliau dengan kotoran atau batu sekalipun hingga membuat beliau berdarah-darah, hal itu tidak lantas membuatnya ingin dikasihani. Mengapa? Karena niatan tulus beliau untuk memberikan keteladanan akhlak serta akidah kepada umatnya. 

Beliau senantiasa berprasangka baik kepada umatnya. Apa yang mereka lakukan, penghinaan, kekerasan, dan semua perlakuan buruk itu semata karena ketidaktahuan mereka. Mereka belum memahami indahnya ajaran yang dibawa Sang Rasul.

Jikalau pemimpin umat seperti Nabi Muhammad SAW  saja tidak pernah mengeluhkan penghinaan yang beliau terima, lantas mengapa presiden kita tercinta sampai harus berharap untuk tidak mendapatkan penghinaan? Beliau adalah pemimpin bangsa yang menggenggam nasib seluruh warga negara Indonesia. 

Seharusnya tidak menjadi masalah ketika ada sekelompok orang yang menghina beliau selama tugas dan tanggung jawab yang diembannya ditunaikan secara maksimal. Toh, kalimat penghinaan atau kata-kata menyudutkan samasekali tidak mengurangi sesuatu apapun dari diri beliau. Penghinaan macam apapun, selama itu memang tidak benar pada akhirnya akan lenyap dengan sendirinya. Jadi presiden tidak perlu repot-repot "mengemis" kepada warga negaranya supaya tidak dihina. 

Terhina atau tidaknya pribadi seseorang itu bukan dari seberapa banyak caci maki yang diterimanya. Akan tetapi bisa tidaknya ia menepati janji yang ia sampaikan. Tanpa dihinapun, ketika janji yang dulu sempat diumbar lantas dilanggar maka secara otomatis kehinaan itu menjadi bagian dari dirinya. Lalu apakah bapak presiden merupakan orang yang demikian?

Siapapun diri kita, pemimpin negara atau pemimpin rumah tangga mesti memegang teguh janji yang diutarakan. Jangan takut dihina terlebih mengemis untuk tidak dihina. Cukup bagi kita menjaga integritas diri melalui penepatan setiap janji, atau pembuktian setiap kata-kata. 

Pemimpin itu disegani karena karakternya, karena integritasnya. Rakyat, umat, atau orang-orang yang menjadi tanggung jawab pemimpin bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan penghinaannya. Selama mereka dilayani dengan baik dan diberikan keteladanan luhur seorang pemimpin, maka tanpa diminta sekalipun mereka tidak akan pernah menghina sang pemimpin. Malah justru sang pemimpin akan dimuliakan.

Selepas baginda Nabi Muhammad SAW wafat, sahabat Abu Bakar As Shiddiq datang menghampiri istri nabi yang juga putri beliau, Aisyah RA. "Duhai putriku, amalan apakah yang selama hidup dilakukan Rasullullah tapi belum pernah ayah lakukan?"

Sayyidah Aisyah RA menjawab, "Tidak ada satu pun amal yang dilakukan Rasullullah yang tidak ayah lakukan kecuali satu hal. Baginda nabi setiap hari selalu membawakan makan seorang buta miskin di pasar, meskipun setiap hari itu pula si buta miskin itu menghina beliau." 

Sahabat Abu Bakar lantas melakukan apa yang biasanya dilakukan Rasullullah, yaitu membawakan makan kepada si buta miskin di pasar. Beliau menyuapi orang itu sebagaimana yang baginda nabi lakukan. Namun, saat suapan pertama dilakukan, si buta miskin itu berkata ,"Kamu bukan orang yang biasa menyuapiku."

Tapi sahabat Abu Bakar mencoba meyakinkan, "Tidak. Aku adalah orang yang biasanya." 

Si miskin kemudian memberikan penjelasan bahwa orang yang biasa menyuapinya itu senantiasa mengunyah lembut makanannya terlebih dahulu sebelum disuapkan kepada dirinya. Sontak saat itu Sahabat Abu Bakar tersungkur menangis mendengarnya. 

Baginda nabi adalah sosok pemimpin yang meskipun dihina sedemikian rupa malah justru berlaku demikian mulia. Beliau tidak mengeluh apalagi mengemis agar tidak dihina. Integritas akhlak beliaulah yang kemudian memberikan bukti nyata atas seperti apa pemimpin itu seharusnya bersikap. 

Tidak bisakah kita meniru beliau? Mungkin untuk melakukan yang sama persis dengan hal itu akan cukup berat. Namun setidak-tidaknya kita harus memiliki keberanian diri untuk menghadapi setiap hinaan dari orang lain. Terlebih hinaan itu berasal dari mereka yang semestinya dilayani oleh seorang pemimpin.

Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun