Masih ingat peristiwa beberapa waktu lalu saat kemunculan transportasi daring dipermasalahkan oleh pemilik angkutan umum? Saat dirver transportasi online banyak yang diberhentikan "paksa" oleh sopir angkot hingga ada diantaranya yang sampai merenggang nyawa karena ditabrak oleh sopir angkutan umum.Â
Pelaku bisnis transportasi konvensional banyak yang menekan pemerintah untuk membuat regulasi yang mampu "memberangus" keberadaan transportasi online.Â
Semua tindakan dengan maksud menyudutkan dan mempersempit ruang gerak transportasi daring ini dilakukan demi menjaga eksistensi mereka di tengah-tengah proses disrupsi yang mereka alami.Â
Transportasi konvensional "diserang" atau didisrupsi oleh "pemain baru" yang menawarkan keunggulan layanan dalam banyak hal. Proses pemesanan cepat, harga murah, dan tanpa perlu adu mulut.Â
Sayangnya "perlawanan" yang dilakukan bukannya dengan menawarkan inovasi yang lebih baik, hanya sebatas bersembungi dibalik ketiak penyusun regulasi.
Potret seperti yang terjadi pada bisnis transportasi konvensional ini sebenarnya juga dialami oleh jenis-jenis bisnis lainnya. Agen tiket pesawat dan travel saat ini sudah hilang tanpa bekas seiring kelahiran traveloka atau tiket.com.Â
Bahkan industri perbankkan sudah mulai terusik oleh kehadiran start up bergenre financial technology (fintech). Pertanyaannya sekarang adalah, apakah para pelaku lama dunia bisnis ini mampu menyikapi secara tepat kondisi ini ataukah justru memilih jalan "kalap" sebagaimana dulu pernah dilakukan oleh beberapa pelaku bisnis transportasi?
Zaman yang Berbeda
Kita hidup di zaman yang samasekali berbeda dengan dahulu. Ada banyak hal yang berbeda antara saat ini dengan di masa lalu. Apabila kita hanya berharap adanya perlindungan dari penentu regulasi, maka itu sama artinya dengan kita menggantungkan nasib pada orang lain.Â
Selain itu, mereka yang hanya mampu bersembungi dibalik regulasi hanyalah seorang pecundang di era disrupsi ini. Disrupsi adalah keniscayaan yang akan senantiasa terjadi dalam setiap zaman. Akan selalu ada pihak yang terdisrupsi dan ada pihak yang mendisruspi. Tinggal kita memilih menjadi yang mana.
Bahkan bukan hanya dalam dunia bisnis disrupsi itu terjadi. Dalam segenap aspek lain pun sudah banyak terjadi hal serupa. Seperti melhat anak kecil yang kemana-mana memegang gadget atau smartphone saat ini sudah merupakan sesuatu yang biasa.Â
Bukan masanya lagi membatasi anak-anak masa kini untuk tidak bersentuhan dengan smartphone, bukan masanya lagi menentukan bahwa mereka baru boleh menggunakan handphone setelah memasuki usia tertentu, dan lain sebagainya.Â
Para orang tua hanya haruslah lebih pintar daripada anak-anaknya dalam menyikapi fenomena ini sehingga efek negatif penggunaan smartphone dapat dihindari.Â
Menjadi sangat aneh apabila untuk membatasi penggunaan smartphone pada anak saja pemerintah sampai harus mengeluarkan regulasi khusus atau mengungkit-ungkit tradisi masa lalu.Â
Eranya sudah sangat jauh berbeda dengan dahulu. Kata Sayyidina Ali RA, "Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya.". Dengan kata lain kita harus "bersahabat" dengan realitas yang sedang terjadi ini, apapun konteksnya.
Kita boleh tidak sepaham dengan fenomena yang sekarang kita saksikan. Namun menentang arus hanya akan membuat kita hanyut. Satu-satunya cara adalah kita membangun perahu yang bisa mengimbangi arus yang terjadi sembari berharap mampu terus menjaga eksistensi. Memang berat, tetapi bukan berarti mustahil. Kita tidak bisa berharap bahwa regulasi akan menyelamatkan kita dari era disrupsi ini.Â
Kita hanya perlu berkompromi dan mencari sisi baik dari kondisi tersebut. Jangan mempergunakan paradigma berfikir lama, tetapi pergunakan pola pikir yang selaras dengan kondisi saat ini. Berfikir ke depan. Hanya itu saja cara bagi kita untuk menjaga eksistensi diri dan komunitas yang kita sayangi.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H