Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bias Emosi Bahasa Tulisan

10 September 2019   07:08 Diperbarui: 10 September 2019   07:13 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa tulis reskan menimbulkan bias informasi | Ilustrasi gambar : www.provoke-online.com

Keseharian kita tidak bisa dipisahkan dari yang namanya komunikasi dengan orang lain. Baik itu komunikasi yang dilakukan secara verbal ataupun lewat tulisan. 

Komunikasi yang kita lakukan dengan pembicaraan langsung pada umumnya lebih bisa ditangkap secara utuh maksud dan emosi yang tersimpan dibaliknya. Seseorang yang kita ajak bicara dapat mengetahui ekspresi kita dari mimik wajah, intonasi, nada bicara, atau dari volume suara yang kita sampaikan. 

Sehingga maksud yang ingin kita sampaikan dalam percakapan bisa diterima oleh orang lain dengan sebagaimana mestinya. Meski terkadang juga ada kemungkinan terjadinya mispersepsi dari kata-kata yang disampaikan. 

Seperti halnya seseorang yang punya karakter suara keras, ada kemungkinan orang lain yang mendengarkan ucapannya seperti dibentak atau dikasari. Padahal sebenarnya tidak. Akan tetapi kondisi ini sebenarnya cukup jarang terjadi.

Situasinya sangat berbeda dibandingkan ketika kita berbicara melalui media tulisan, baik itu via percakapan Short Message Service (SMS), pesan WhatsApp (WA), Facebook Messenger, line, dan lain sebagainya. 

Emosi yang disampaikan melalui pesan tulis berpotensi ditangkap secara berbeda oleh sang penerima. Tulisan yang kita maksudkan sebagai candaan adakalanya dianggap serius oleh orang lain. Kondisi seperti ini bisa terjadi ketika sang penerima pesan mood-nya sedang tidak baik. 

Emosinya sedang dalam kondisi "tensi tinggi" akibat satu dan lain hal. Jadi dalam hal ini ada semacam relativitas penerimaan informasi yang disampaikan melalui bahasa tulisan. 

Ketika informasi yang bersifat candaan dianggap serius, maka informasi seriuspun bisa dianggap sebagai candaan semata. Semuanya bergantung pada kondisi psikologis penerima pada saat itu.

Menyampaikan emosi dengan tulisan itu bisa dibilang susah-susah gampang. Ada berbagai macam kemungkinan tulisan kita dimaknai berbeda oleh orang lain. 

Pemahaman seseorang yang terbatas terhadap suatu konteks pembicaraan akan membuat komunikasi tidak berjalan lancar. Sehingga terkadang perlu ada "intermeso" dalam menyambung komunikasi dengan bahasa tulis.

Dalam menyampaikan maksud utama diri kita kepada orang lain melalui tulisan, dengan harapan orang lain memahami maksud emosi kita maka perlu adanya alat bantu supaya hal itu bisa dipahami dengan sebagaimana mestinya. 

Keberadaan emoticon bisa dikatakan cukup berkontribusi mengatasi bias emosi yang terjadi dalam jalinan bahasa tulis, khususnya dalam tulisan percakapan. Kita ingin menyampaikan emosi apa, cukup dengan mencantumkan jenis emoticon tertentu yang sesuai. 

Marah, sedih, ekspresif, semangat, antusias, malas, dan sebagainya. Hanya saja memang hal ini juga tidak sepenuhnya sempurna. Emosi seseorang bisa dimanipulasi seiring gambar ekspresi yang disampaikan berbeda dengan mood seseorang yang sesungguhnya. 

Saat kita dalam suasana bersedih, kita bisa saja menutupi hal itu dengan orang lain yang kita ajak bicara dalam bahasa tulisan dengan mencantumkan emoticon senang, antusias, bahkan gaya lebay. Dengan demikian kesedihan yang kita rasakan tidak diketahui orang lain.

Komunikasi verbal dan terlebih dilakukan secara langsung lebih memungkinkan kita untuk menangkap ekspresi emosi satu sama lain. Kita bisa tahu atau setidak-tidaknya mengira-ngira kondisi psikologis orang lain dari lantunan kata-kata, mimik wajah, atau dari intonasi suaranya. 

Mata seseorang seringkali tidak bisa membohongi kondisi didalam batinnya. Ketika senyuman disunggingkan tetapi mata menatap kosong, maka kita bisa memperkirakan bahwa tengah ada sesuatu yang salah dengan diri seseorang. Disinilah letak keunggulan komunikasi verbal dan tatap muka dibandingkan komunikasi melalui tulisan.

Hal ini menjadi tantangan tersendiri khususnya bagi kita yang sering mengutarakan opini lewat tulisan. Apa yang kita tulis dengan sisipan emosi didalamnya bisa jadi dirasakan secara berbeda oleh para pembaca. 

Sehingga sebuah maksud tulisan terkadang perlu dibaca secara utuh dan menyeluruh agar maksud yang terkandung didalamnya benar-benar ditangkap secara utuh. Emosi yang ingin disampaikan melalui tulisan dapat benar-benar diterima dengan baik oleh pembacanya.

Menyampaikan emosi lewat tulisan biasanya tidak cukup dengan menuliskan jenis ekspresi yang kita rasakan. Misalnya saat kita marah. Menuliskan kata "marah" saja rasanya seperti belum bisa mewakili emosi yang tengah kita rasakan. 

Sehingga tidak jarang yang menuliskan beraneka ragam kata dan kalimat yang memiliki arti menjurus pada kemarahan. Atau ada juga yang menuliskan kata-katanya dengan huruf BESAR semua.

Berikut saya tuliskan sebuah kalimat singkat yang emosinya bisa ditangkap secara berbeda:

"Dasar kamu lebay."

Kalimat ini kita pahami seperti apa? Apabila kita tengah dalam kondisi emosi, kalimat ini bisa saja kita anggap menyinggung dan menghina kita. Namun lain halnya saatnya kita tengah dalam suasana ceria selepas menonton film Warkop DKI yang mengocok perut. Saat kita tengah dalam situasi marah pun, menerima tulisan seperti itu tapi dengan tambahan tulisan "peredam" bisa menciptakan emosi yang berbeda.

"Dasar kamu lebay ah, ganteng!"

Kata "ah" dan "ganteng" bisa memunculkan emosi lain didalam benak si penerima pesan. Apalagi jika setelah tulisan itu ditambahkan lagi emoticon santai.

"Dasar kamu lebay ah, ganteng :D"

Emoticon senyum bisa membuat pesan tulisan itu ditangkap secara berbeda.

"Dasar kamu lebay" dibandingkan "DASAR KAMU LEBAY" bagi sebagian orang dianggap berbeda dimana tulisan dengan huruf besar seringkali dianggap memiliki nilai penekanan lebih daripada yang ditulis biasa. 

Seperti itulah diantaranya bias emosi yang terjadi dari sebuah bahasa tulis. Kita harus lebih banyak mencari tahu serta mengasah kepekaan terkait apa dan bagaimana seharusnya sikap kita dalam menyikapi kondisi ini. 

Perbendaharaan bahasa tulis kita harus terus diperkaya karena masih ada banyak sekali bias emosi yang bisa kapan terjadi dalam segenap aktivitas komunikasi yang kita lakukan. 

Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi seperti sekarang, kita lebih senang menjalin komunikasi melalui bahasa tulis dibandingkan bertemu langsung dan bertatap muka. Maka bahasa tulis pun menjadi penting untuk mengurangi kemungkinan salam paham.

 

Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun