Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Polemik Revisi UU Ketenagakerjaan, di Antara Buruh dan Pengusaha

22 Agustus 2019   08:48 Diperbarui: 22 Agustus 2019   18:34 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Revisi UU Ketenagakerjaan (KOMPAS/Toto S.)

"Tentu setiap orang punya kepentingannya masing-masing. Pengusaha punya kepentingan, pemerintah punya kepentingan, dan buruh pun juga punya kepentingan. " 

Beredarnya kabar revisi UU No 13 tahun 2013 yang dianggap merugikan sudah cukup membuat hati para buruh "panas". Para buruh beranggapan bahwa revisi ini hanya menguntungkan pengusaha dan sebaliknya merugikan kalangan buruh. 

Meski kabar tentang revisi UU belum sepenuhnya jelas, namun mengingat sensitivitas yang tinggi perihal isu ketenagakerjaan maka sebuah kabar berita yang samar pun sudah cukup menghadirkan kegelisahan di tengah-tengah masyarakat.

Entah apa sebenarnya urgensi dari upaya perevisian UU ini sehingga terkesan beberapa pihak begitu menggebu untuk melakukannya. 

Padahal masih ada begitu banyak draft UU yang mesti segera dituntaskan seiring pembahasannya yang berlarut-larut begitu lama, salah satunya adalah draft rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual. Tapi ternyata UU yang berpotensi memunculkan penolakan publik lah yang justru mengemuka.

Para pemilik modal, para pengusaha, dan beberapa pihak yang memiliki kewajiban membayarkan upah buruh seiring situasi ekonomi yang labil mungkin menanggung beban yang tidak sedikit sehingga ada tuntutan untuk melakukan efisiensi sebanyak mungkin. 

Segala cara ditempuh agar biaya operasional direduksi semaksimal mungkin. Termasuk di antaranya dengan menghapus beberapa jenis pengeluaran yang dianggap kurang produktif. 

Sayangnya upaya itu bertentangan dengan harapan para buruh yang justru menginginkan hal sebaliknya. Pengusaha menginginkan efisiensi, dan buruh menginginkan kesejahteraan. Dua kepentingan yang sangat riskan berbenturan satu sama lain sehingga memunculkan konflik berkepanjangan.

Mengubah sebuah Undang-Undang tentunya harus mendengarkan kepentingan-kepetingan dari segenap pihak yang terlibat di dalamnya. Jangan sampai mengubah UU secara tiba-tiba sedangkan komunitas yang menjadi cakupan dari UU itu tidak tahu-menahu sama sekali.

Merupakan sebuah bentuk kezaliman yang besar tatkala hal ini terjadi kepada para buruh, yaitu ketika UU yang melindungi mereka diubah tanpa adanya kerelaan dari para buruh itu sendiri. 

Tentu setiap orang punya kepentingannya masing-masing. Pengusaha punya kepentingan, pemerintah punya kepentingan, dan buruh pun juga punya kepentingan. 

Semua pihak itu harus ikut duduk bersama dan urun rembuk mencari alternatif terbaik atas setiap permasalahan yang ada. Sungguh sangat disayangkan tatkala ada salah satu pihak yang begitu keras kepala memaksakan kehendaknya. 

Memaksakan kehendak diri sendiri hanya akan membawa kerugian yang lebih besar di masa-masa mendatang. Ketika demo buruh terjadi artinya ada sekelompok pekerja yang meninggalkan pekerjaannya. Artinya, ada beberapa pekerjaan yang ditinggalkan. 

Artinya, ada pekerjaan yang tidak dituntaskan. Artinya, ada masalah yang belum terselesaikan. Pada akhirnya hal itu hanya akan mengorbankan produktivitas suatu pekerjaan. 

Siapa yang dirugikan? Pengusaha? Iya. Pekerja? Iya. Bayangkan apabila aksi demo ini kembali terjadi beberapa kali lagi pada waktu-waktu mendatangan. Betapa banyak kerugian yang harus ditanggung.

Pemerintah Pro Siapa?

Sering dalam beberapa kesempatan para elit politik kita menyerukan agar senantiasa berpihak kepada rakyat kecil, berpihak kepada kepentingan buruh. 

Namun tidak jarang ada tudingan dari masyarakat yang menyebutkan bahwa pemerintah seringkali pro kepada pengusaha atau para taipan pemilik modal. 

Sebenarnya kedua pernyataan ini kurang tepat diutarakan. Karena apapun yang terjadi pemerintah harus senantiasa menjadi pihak yang pro kepada semuanya. Dalam artian pemerintah harus mengutamakan kepentingan dan kemaslahatan seluruh warganegaranya. 

Para pengusaha khususnya yang berdarah Indonesia tentu merupakan bagian dari warga negara yang mesti diperhatikan kepentingannya. Terlebih mereka berjasa besar dalam memberi pemasukan bagi negara melalui pajak dan beberapa hal lain. 

Para pengusaha menjadi sumber penghasilan sebagian anggota masyarakat yang bekerja kepada mereka. Kepada buruh pun pemerintah juga harus memperhatikan kepentingannya. Hal-hal yang disuarakan buruh tentunya harus didengar dengan seksama. 

Dengan demikian pemerintah berperan penting menjadi penjembatan antara kedua belah pihak dengan memunculkan alternatif solusi yang bukan hanya sekedar baik bagi kedua belah pihak, tetapi juga baik bagi pihak-pihak lain yang berada diluar dua komunitas itu. Dalam istilah Steven R. Covey solusi yang dihasilkan oleh pemerintah ini disebut dengan alternatif ketiga.

Akan selalu terjadi tarik menarik kepentingan oleh semua pihak yang terlibat. Para buruh akan keukeuh dengan pendiriannya. Pun demikian halnya dengan para pengusaha yang juga memiliki kepentingannya sendiri. Sengketa masih akan terus berlanjut selama tidak ada penghubung yang bijaksana diantara keduanya. 

Komunikasi, konsolidasi, dan menjunjung tinggi semangat solusi adalah cara yang tepat untuk mengatasi perbedaan pandangan yang terjadi. Jangan memaksa salah satu pihak mengalah, karena hal itu terkesan tidak adil. 

Menyuruh pengusaha mengalah kepada buruh tentu tidak adil bagi para pengusaha. Meminta para buruh mengalah kepada para pengusaha juga merupakan tindakan yang kurang bijak. Kepentingan kedua belah pihak tetap harus diakomodir. 

Melakukan pembahasan bersama-sama dengan semangat mencari opsi lain yang lebih menguntungkan bagi semua pihak. Selama ini kecenderungan yang terjadi adalah salah satu pihak mengalah atau dikalahkan oleh pihak yang lain. 

Akibatnya sinergi tidak pernah terjadi dan energi produktivitas tidak pernah bisa melejit pada tingkat tertinggi suatu organisasi bisnis. 

Seharusnya kita semua belajar karena sudah sekian lama konflik kepentingan antara pengusaha dan buruh terjadi. Tidak bisakah kita memetik poin pelajaran dari jejak perjalanan panjang perselisihan dimasa lalu?

Salam hangat,
Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun