Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker & Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Perusahaan Mental Gratisan

16 Agustus 2019   07:20 Diperbarui: 16 Agustus 2019   07:26 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah keluh kesah diutarakan oleh salah seorang sanak kerabat saya terkait pekerjaan yang ia jalani. Berprofesi sebagai staff Human Resources (HR) di salah satu perusahaan tentu load kerja yang dihadapi tidak sedikit. Terlebih menjelang akhir bulan saat memasuki periode closing gaji karyawan, ketika jam kerja normal serasa tidak mencukupi. 

Sehingga alternatif satu-satunya adalah dengan bekerja lembur. Apabila menyangkut beberapa jenis pekerjaan lain biasanya bisa ditunda hingga esok hari penyelesaiannya, urusan penggajian harus berkejar-kejaran dengan waktu. Deadline waktu yang ditentukan sangat mepet sehingga membuat semua orang yang terlibat didalamnya serba buru-buru. 

Oleh karena itu, pada waktu-waktu tertentu kerabat saya ini harus mengalokasikan waktunya khusus untuk lembur menyelesaikan urusan pekerjaannya yang belum tuntas.

Layaknya sebuah organisasi bisnis, urusan yang dihadapi tentu beraneka ragam. Termasuk di bagian HR sekalipun. Tidak mengherankan juga tatkala beberapa tugas kerja dipegang oleh satu orang yang sama, sehingga membuat seseorang terkadang overload dan kelabakan menyelesaikan beberapa pekerjaannya. 

Lembur seringkali menjadi solusi bagi karyawan untuk bekerja melebihi jam kerja guna menuntaskan beberapa tanggungan pekerjaan. Hal ini berlaku hampir di semua bagian perusahaan.

Beberapa perusahaan tidak terlalu hitung-hitungan ketika karyawannya melakukan lembur. Mereka akan dibayar sesuai dengan jam kerja tambahan yang mereka jalani. Tentu dengan catatan bahwa sang karyawan bertanggung jawab terhadap waktu yang dijalaninya itu. 

Namun ada sebagian perusahaan yang cukup ketat dalam memberlakukan kebijakan ini, sehingga muncul beberapa alternatif kebijakan seperti ganti hari atau sejenisnya. Terkadang, ada perusahaan-perusahaan yang "menuntut" loyalitas karyawannya dalam menuntaskan semua pekerjaannya. 

Apapun kebijakan yang diberlakukan, tetap saja semua itu harus didasarkan pada prinsip menghargai karyawan. Karyawan yang merelakan waktunya untuk bekerja gratis dalam durasi setengah hingga satu jam sudah bisa dianggap loyal terhadap pekerjaan. Terlebih ketika mereka "mengikhlaskan" berjam-jam waktunya diatas jam kerja normal untuk menuntaskan semua pekerjaan. Loyalitas mereka patut dijunjung tinggi. 

Akan tetapi hal ini tentu tidak bisa dilakukan setiap hari dan oleh setiap orang. Mereka yang bekerja melebihi jam kerjanya dan memiliki beban kerja yang cukup banyak juga perlu diapresiasi oleh perusahaan. 

Membayar upah lembur selama beberapa jam yang dijalani hendaknya tidak menjadi pertimbangan berat, terlebih ketika hal itu menyangkut pekerjaan yang memiliki urgensitas tinggi. Tentunya urgensinya itu bukan karena dibuat-buat karyawan karena ingin "mencari" lemburan, tetapi memang karena hal itu benar-benar penting.

Kerabat yang saya sebut di awal tulisan ini mengalami sebuah momen ketika ia harus bekerja lembur hingga tiga jam lebih karena mendapatkan tugas tambahan merampungkan data audit. Kesepakatan diawal sebenarnya para atasan mengizinkan dilakukannya lembur demi menuntaskan segala persiapan terkait audit. 

Lembur akan dibayar sesuai jam kerja yang dijalani. Namun beberapa waktu lalu realitas yang terjadi sungguh berbeda. Ketika lembur pekerjaan yang dijalani oleh kerabat saya ini mencapai angka diatas tiga jam, ternyata sang atasan malah membuat kebijakan yang kontradiktif. 

Lemburan yang tiga jam lebih diputuskan hanya akan dibayar dua jam saja, alias dipotong. Sontak hal ini membuat kerabat saya kecewa berat terhadap sang atasan. Keputusan sang atasan dianggapnya tidak adil. Entah keputusan ini didasari karena adanya masalah pribadi dari sang atasan atau karena kebijakan perusahaan yang memang mengharuskan demikian. 

Dalam hal ini seolah-olah pihak perusahaan hanya mengharap hasil terbaik namun tidak ingin membayar lebih. Ingin mendapatkan hasil maksimal tetapi tanpa modal. 

Sebuah mental gratisan yang sebenarnya merupakan ironi bagi perusahaan dengan pendapatan yang mumpuni dan tidak sepadan untuk sebuah upah lembur. 

Atas nama efisiensi tetapi hak orang lain diabaikan. Atas nama efisiensi namun kebijakan yang dikeluarkan cenderung memancing masalah dengan orang lain.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa setiap organisasi bisnis menekankan pentingnya pengurangan biaya-biaya (reduce cost). Sehingga setiap peluang akan dimanfaatkan dan setiap potensi pembiayaan akan dipangkas. 

Namun hal ini bukan berarti semua potensi pembiayaan dipangkas habis sampai-sampai apa yang harus dibayar justru tidak dibayar. Betapa banyak perusahaan yang bertindak curang dengan mengakali pajak, dan betapa banyak perusahaan yang kebijakannya mengorbankan hak para karyawan. 

Perusahaan-perusahaan yang berbuat seperti ini adalah perusahaan bermental gratisan, yang tidak akan pernah mencapai puncak keberhasilan sebuah organisasi bisnis. Ia hanya akan menjadi biasa-biasa saja, hidupnya sekadar hidup, operasionalnya ngap-ngapan, dan suasana kerja organisasi jauh dari kondusif. 

Perusahaan mental gratisan cenderung memperlakukan karyawan tidak lebih dari sekadar mesin. Sebatas dibayar untuk bekerja, tetapi aspek terpenting sebagai manusia yaitu batiniahnya justru diabaikan. 

Hanya orang-orang yang terpaksa oleh keadaan saja yang bersedia bertahan disana, dan itu artinya mereka hanya bekerja sebatas menuntaskan job desc saja. Mereka bekerja tidak dengan sepenuh hatinya. Sangat sulit mengharapkan perusahaan mental gratisan akan berkembang keskala yang lebih besar.

Salam hangat,

Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun