Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

JJ Rizal vs PLN, antara "Bully" dan Budaya Anti Kritik

13 Agustus 2019   07:30 Diperbarui: 13 Agustus 2019   07:48 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JJ Rizal, seorang sejarawan asal Jakarta, mendapatkan bully dari beberapa warganet terkait aksi protes dan kritiknya kepada pihak PLN setelah puluhan ikan koi miliknya mati akibat pemadaman listrik masal yang terjadi minggu lalu. 

Kicauan kekecewaan yang ditunjukkan oleh JJ Rizal disatu sisi mengundang keprihatikan publik, akan disatu sisi hal itu justru membuatnya menjadi sasaran cemooh dan bully. 

JJ Rizal menyebutkan bahwa bully yang diterimanya justru berasal dari akun sebagian karyawan PLN. Jika memang benar demikian maka hal ini merupakan pertanda bahwa ada diantara bagian bangsa kita yang anti kritik, menolak komplain atas layanan yang diberikan, atau justru menyalahkan balik pihak yang mengkritik.

Kritikan yang dibalas dengan bully merupakan sebuah tindakan yang tidak mencerminkan kedewasaan. Meskipun bully tidak dilakukan langsung oleh institusi yang dikritik, namun indikasi adanya karyawan PLN yang terlibat menunjukkan bahwa ada sikap tidak terima disini. 

Orang-orang yang menjadi bagian institusi yang dikritik mungkin ada yang tidak terima atau merasa tidak nyaman dengan kritikan yang datang bertubi-tubi. 

Barangkali mereka beranggapan bahwa selama ini telah bekerja demikian keras demi memastikan kenyamanan masyarakat menggunakan listrik. Ketika sekali saja terjadi kasus pemadaman listrik mereka justru dihujani kritik dari kanan kiri. 

Seolah-olah apa yang mereka kerjakan selama ini tidak dihargai samasekali. Mengutip tulisan dari mantan dirut PLN, Dahlan Iskan, listrik itu justru diingat ketika ia mati. Bukan diingat sebagai sebuah kenangan baik, namun sebagai sesuatu yang menyebalkan bagi sebagian orang.

Sebagai pemegang amanah tentunya potensi mendapatkan kritik sangatlah besar. Jangan pernah berharap ketika kita diberi amanah lantas dibiarkan begitu saja. 

Anggota dewan atau presiden saja hampir selalu mendapatkan kritik setiap hari padahal mereka berkontribusi terhadap pembangunan semua sektor di negeri ini. Lantas bagaimana mungkin institusi pelayanan publik seperti PLN akan lepas dari kritikan? 

Kritik adalah sesuatu yang biasa dalam interaksi sosial. Jika disikapi dengan positif, kritik akan menjadi media berharga menuju continuous improvement. 

Semakin banyak mendapatkan kritik, maka semakin banyak masukan (input) untuk menjadi lebih baik. Tentu tidak semua kritik bernada membangun, ada kritik yang sekadar luapan emosi tanpa isi. Untuk kritik kategori ini, mungkin kita bisa abaikan. Jangan dimasukkan kedalam hati. 

Namun dibalik setiap kritik tentunya ada sebuah harapan yang ingin disampaikan. Seperti halnya kritik JJ Rizal yang dilayangkan kepada pihak PLN karena ia berharap agar PLN bisa meningkatkan kinerjanya sehingga masyarakat benar-benar merasakan manfaat maksimal dari layanan publik PLN.

Terkadang kerja keras dan dedikasi yang kita berikan tidak dipandang dengen semestinya oleh orang lain. Hal ini tidak semestinya membuat si penerima kritik menjadi cepat "panas" dan gampang emosi sehingga berujung aksi bully sebagai perwujudan atas ketikpuasan didalam dirinya. 

Memang tidak semua kerja keras kita dihargai orang lain, mungkin loyalitas kita tidak selalu dipandang baik, dan barangkali dedikasi kita tidak dianggap berhaga. 

Namun kita mesti percaya bahwa setiap tindakan baik yang kita lakukan akan senantiasa dicatat oleh malaikat disebelah kanan kita. 

Perbuatan baik kita akan "diabadikan" dalam goresan catatan malaikat pencatat amal kebaikan. Amal baik yang kita lakukan samasekali tidak akan hilang dan akan mendapatkan balasan sepadan di kemudian hari.

Mem-bully karena merasa tidak puas atas kritikan yang diterima adalah wujud nyata hasrat mendapatkan pujian dan hilangnya keikhlasan dalam berkontribusi. 

Mungkin ini adalah efek dari bekerja di instansi publik yang sebatas mengejar besara gaji saja, bukan pada titik ingin menjadi bagian orang-orang yang melayani masyarakat. 

Niatan pengabdian seringkali hanya menjadi penghias kata-kata saja, pemanis, akan tetapi jauh dari realitas. Setidak-tidaknya hal ini terjadi pada mereka yang mem-bully.

Setiap pem-bully pada dasarnya telah kehilangan empati dan kearifan dalam bersikap. Mereka dikuasai oleh amarah dan keyakinan bahwa diri merekalah yang paling benar. 

Apabila ada orang lain yang berbeda pendapat akan disangkalnya begitu keras, hingga mengeluarkan kalimat-kalimat yang menyudutkan orang lain. 

Semestinya kita mampu melihat semua peristiwa secara menyeluruh. Melihat dari berbagai sisi sehingga sikap kita menjadi lebih bijaksana. 

Bagaimanapun juga kita hidup memiliki keterkaitan satu sama lain yang membuat kritik sebagai suatu keniscayaan. Permalahannya bukanlah pada kritikan yang diberikan, namun pada bagaimana kita menyikapi kritikan itu.

Salam hangat,

Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun