Dunia digital telah berkembang begitu pesat. Teknologi informasi sudah demikian canggih memasuki berbagai sektor kehidupan. Proses transaksi yang dulunya harus dengan bertatap muka, kini cukup bermodalkan media sosial atau aplikasi chatting saja sudah bisa diselesaikan.Â
Cara pemasaran (marketing) yang sebelumnya harus melalui promosi di tempat-tempat strategis dan diketahui banyak orang kini sudah semakin menyasar segmen-segmen tertentu yang dianggap sebagai pangsa pasar sesuai melalui promosi khusus berbasis data.Â
Bahkan pemilihan calon pemimpin suatu negara pun kini sudah tidak asing lagi dengan data, khususnya data statistik melalui mekanisme survei yang dimotori oleh lembaga survei.Â
Saat ini hampir semua bidang mulai dari industri, ekonomi, sosial, maupun politik menjadikan data sebagai dasar dalam merumuskan strategi atau menentukan suatu keputusan.
Saat ini, didalam dunia marketing tengah populer istilah precision marketing atau pemasaran berbasis data. Facebook ads merupakan media pemasaran yang saat ini sangat diandalkan para pelaku bisnis online untuk mempromosikan bisnis mereka kepada kalangan tertentu dengan kriteria-kriteria yang dianggap sesuai.Â
Pemasaran produk akan menyasar pada orang-orang yang dianggap tepat, sehingga goal dari marketing lebih mungkin untuk tercapai. Prinsip kerja precision marketing sendiri adalah dengan memanfaatkan big data atau data pengguna media sosial berikut segala aktivitas yang dilakukan selama menjelajah dunia maya.Â
Pada saat kita mengakses Facebook, status yang kita like atau informasi yang kita share akan terekam sebagai aktivitas kita. Seiring waktu kita menjalankan aktivitas di dunia maya, klik like pada beberapa status, mengunjungi beberapa situs, berkomentar pada beberapa informasi yang tersebar, dan sejenisnya semua hal itu terekam sebagai bagian dari data kita.Â
Setiap pengguna internet memiliki rekam jejaknya masing-masing yang pada satu titik tertentu memungkinkan untuk dianalisis terkait kegemaran, kecenderungan, ataupun minat kita terhadap suatu hal tertentu. Jikalau dipaparkan dalam wujud grafis, maka akan terlihat "penampakan" big data kita.
Kita sebagai pengguna teknologi internet dan pengunjung berbagai situs mungkin sudah tidak asing lagi saat diminta menginformasikan nama, nomor telepon, dan email sebelum men-download suatu video atau e-book.Â
Setelah menerima notifikasi via email kemudian kita bisa melakukan unduhan. Hal ini sebenarnya merupakan bagian dari pengumpulan data yang dilakukan oleh penyedia layanan untuk mempromosikan produk-produknya secara langsung kepada orang-orang yang tepat.
"Big data" untuk mendapatkan jodoh?
Sekarang dan pada masa yang akan datang kita akan semakin larut menjadi bagian dari eksistensi big data. Ketika hampir semua lini kehidupan saling terkoneksi satu sama lain, kehidupan seseorang lebih memungkinkan untuk dianalisis dengan menggunakan semua data itu.Â
Mungkin dahulu kita pernah melakukan tes psikologi untuk mengetahui karakteristik dan kecenderungan diri kita. Kita menjawab beberapa pertanyaan dan menyelesaikan beberapa tes psikologis sebelum akhirnya kita menjadi tahu tentang kepribadian diri kita masing-masing berikut minat kita terhadap sesuatu hal.Â
Pada era big data ini lebih mungkin bagi kita untuk mengetahui kecenderungan diri kita seiring sistem yang terus merekam aktivitas kita dan kemudian memetakan hal-hal apa saja yang menjadi nilai keunikan setiap individu.Â
Seperti halnya seorang pengguna media sosial akan bisa dipetakan kecenderungan perilakunya berdasarkan status apa yang dia like, status apa yang ia komentari, website apa yang ia kunjungi, dan lain sebagainya. Inilah cara untuk tahu kebiasaan, karakter, bahkan kondisi seseorang tanpa harus mengajukan pertanyaan secara langsung kepada mereka.
Sama halnya ketika kita ditanya tentang kriteria seperti apa dari seseorang untuk dijadikan pasangan hidup, jawaban lisan kita belum tentu merepresentasikan keinginan kita yang sesungguhnya. Bisa jadi jawaban kita cenderung normatif agar tidak dinilai buruk oleh orang lain yang bertanya hal itu kepada diri kita.Â
Mungkin saat ditanya kriteria perempuan seperti apa yang kita inginkan, jawaban seperti "baik hati", "pengertian", "lucu", "berhijab", atau "tinggi" akan meluncur dari mulut kita.Â
Padahal tidak menutup kemungkinan ada hal-hal lain yang sulit untuk terucap karena kita malu mengutarakannya atau karena memang kita tidak menangkap maksud dari keinginan itu.Â
Dengan memanfaatkan big data, semua hal yang "tersembunyi" itu bisa terbaca. Dengan demikian hal ini akan lebih memungkinkan kita untuk menguraikan sesuatu yang saat ini samar.
Saat ada seorang laki-laki mendambakan seorang perempuan untuk menjadi pasangan hidupnya, ia hanya bisa melihat "kulit luar" saja baik itu dari penampilan tubuh, paras wajah, atau cara bertutur kata.Â
Untuk melihat karakter orang tersebut tentu butuh waktu untuk saling berbicara satu sama lain. Meskipun sebenarnya hal ini juga belum bisa menjamin akan representasi sebenarnya dari karakter orang tersebut.Â
Sangat mungkin sekali bagi seseorang untuk "menyembunyikan" identitas aslinya kala berbicara dengan orang lain. Ekspresi bisa dimanipulasi, terlebih lagi perkataan bisa dikemas lebih menarik dari kenyataan.Â
Kecenderungan sejati seseorang akan terlihat dari perilakunya sehari-hari yang mana ia tidak merasa sedang diawasi orang lain. Saat mereka tengah berada dalam lingkungannya yang "bebas" tanpa kekangan.
Seandainya big data sudah benar-benar teraplikasikan pada setiap diri seseorang, maka hal itu akan membuat kita semua untuk lebih mudah dilacak dan dibaca gerak-geriknya.
Dalam konteks memilah dan memilih jodoh, tentunya hal ini akan menjadi sarana pemberi pertimbangan yang cukup ampuh terkait apakah seseorang memenuhi kriteria kita ataukah tidak.Â
Kita bisa memilih pasangan dengan mengetahui track record beserta karakternya karena hal itu semua tersaji dalam sebuah basis data.
Bukan hanya pebisnis atau pemegang kekuasaan saja yang bisa bertindak berdasarkan data. Seseorang yang hendak memilih jodoh terbaik pun bisa memanfaatkan big data untuk mendukung pengambilan keputusannya kelak. Memilih jodoh pun kini tidak sebatas mengandalkan rasa, logika juga ikut bersanding melalui kehadiran big data.
Kita masih menjadi decision maker
Meskipun kita sudah memasuki gerbang era big data, pada dasarnya penyelesai akhir tetaplah pada diri kita sendiri. Segenap data-data yang beredar diluar sana tidaklah lebih dari sekadar pemberi pertimbangan.Â
Keputusan akhir berada di tangan kita masing-masing. Sama halnya ketika ada seorang pemimpin organisasi bisnis yang disajikan setumpuk data statistik dengan segenap kelebihan dan kekurangan dari masing-masing opsi data.Â
Keputusan akhir yang nantinya diambil tidak selalu merujuk pada "data unggulan". Terkadang keputusan yang diambil juga melibatkan pertimbangan lain seperti naluri, insting, atau pengalaman masa lalu. Kita masih menjadi penentu hasil akhir untuk setiap sajian data dari big data.
Menentukan jodoh dalam beberapa hal mungkin akan mempertimbangkan banyak hal. Aspek karakter, fisik, kondisi ekonomi, keluarga, dan lain sebagainya adalah hal-hal yang tidak bisa dipisahkan dalam memilih pasangan.Â
Jika mengacu pada konsep memilih jodoh dari ajaran agama, maka memilih pasangan itu harus memprioritaskan sisi kualitas beragama seseorang.Â
Bukan semata karena paras wajah, kekayaan, atau status sosial seseorang. Terkait dengan kualitas beragama seseorang, big data pun bisa menjadi bagian pemberi pertimbangan untuk melihat kecenderungan dari kualitas beragama seseorang.Â
Bisa jadi seseorang memiliki tampilan bak pendakwah alim, namun setelah ditelusuri track record-nya ternyata ia melakukan hal-hal yang sebaliknya. Rekaman yang ada pada big data memperlihatkan bahwa terjadi anomali antara eksistensinya di dunia maya dengan tampilannya sehari-hari. Hal tentunya bisa menjadi bahan pertimbangan tersendiri bagi seseorang dalam mengambil keputusan akhir nantinya.
Era big data telah membuat kita memandang dunia ini secara berbeda. Membuat kita memiliki banyak pertimbangan untuk menilai serta memutuskan sesuau.Â
Hanya saja keputusan akhir tetap akan kembali kepada diri kita masing-masing. Oleh karena itu kita harus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih bijak dalam melihat sesuatu dari segala sisi dan mencari titik temu terbaik dari semuanya.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H