Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lapas Berkontribusi terhadap Penambahan Populasi LGBT?

10 Juli 2019   11:28 Diperbarui: 10 Juli 2019   11:33 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : https://www.tribunnews.com

Beberapa hari terakhir tengah ramai diberitakan terkait sejumlah narapidana lembaga pemasyarakatan (lapas) yang mengalami masalah pergeseran orientasi seksual menyimpang. 

Beberapa narapidana laki-laki di lapas "bergeser" orientasi seksualnya menjadi homoseksual, sedangkan beberapa narapidana perempuan menyimpang orientasi seksualnya menjadi lesbian. Hal ini tentunya mengundang keprihatinan kita bersama. 

Terutama ketika kondisi semacam ini terjadi di sebuah negara seperti Indonesia yang tidak memiliki kompromi terhadap LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Sebuah negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia.

Populasi LGBT di Indonesia bertambah. Meski belum ada data pasti yang bisa menunjukkan kondisi itu. Namun pemberitaan terkait terjadinya penyimpangan perilaku seksual di lapas menjadi sebuah ironi tersendiri bagi Bangsa Indonesia. 

Kondisi ini sekaligus menunjukkan kepada kita bahwa pada dasarnya LGBT itu bukan sesuatu yang ada sejak seseorang terlahir di dunia. Ia merupakan hasil bentukan lingkungan. Dalam hal ini, lapas menjadi lingkungan yang "berkontribusi" terhadap kehadiran kaum LGBT "baru". 

Kapasitas lapas yang tidak sepadan dengan jumlah narapidana yang mengisinya ditengarai sebagai faktor utama yang "memaksa" individu-individu sesama jenis untuk berhubungan lebih intim satu sama lain. 

Dengan adanya hasrat biologis yang tertahan sedangkan "media" penyalurannya tidak ada, maka apapun yang "memungkinkan" akan dijadikan media "pengganti". 

Beberapa hal ini mengindikasikan bahwa peran dan fungsi lapas memang tidak berjalan secara optimal. Pembinaan kepada para penghuni lapas terjadi dengan ala kadarnya, akibatnya lapas tidak ubahnya sebatas tempat berkumpulnya pelaku kriminalitas saja. 

Bukan lagi lembaga untuk memberikan pembinaan psikis dan juga moralitas penghuni lapas. Mereka yang keluar dari lapas bukannya membaik, malah memiliki kelainan orientasi seksual. Sungguh ironis.

Jika memang kita semua peduli, khususnya pihak-pihak terkait, dengan kondisi narapidana akan status orientasi seksualitas mereka maka hal ini tentu membutuhkan penanganan sesegera mungkin. 

Pemerintah dengan segenap jajarannnya akan dicap sebagai orang-orang yang bertanggung jawab "menciptakan" LGBT baru di Indonesia apabila mengabaikan situasi dan kondisi lapas yang terus-menerus terjadi seperti sekarang.

 Pemerintah boleh-boleh saja berfokus pada pembangunan infrastruktur seperti jembatan, jalan tol, bendungan, atau sejenisnya. Namun pemerintah juga tidak boleh mengabaikan aspek moralitas masyrakatnya. Sebagaimana amanah yang disampaikan oleh para pendahulu bangsa didalam lirik lagu Indonesia Raya. ".. 

Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.." Bukan sebatas badan (infrastruktur) bangsa yang perlu mendapatkan perhatian pemimpin republik ini, lebih utama dari itu adalah jiwa-jiwa anak bangsa yang mesti dibentuk atau dibangun sedemikian rupa sehingga memiliki akhlak atau etika yang luhur. 

Seperti amanah Undang-Undang Dasar 1945, "..Berbudi pekerti luhur..". Memunculkan LGBT baru sebagai akibat kegagalan proses pembinaan lapas yang kondisinya overload bukanlah wujud komitmen sebuah bangsa sebagaimana amanah undang-undang. 

Selain memperbaiki kualitas ataupun kuantitas lapas, menjadi tugas kita bersama untuk menekan angka kriminalitas yang mengakibatkan seseorang berstatus narapidana. 

Pendidikan harus benar-benar dioptimalkan sehingga mampu menekan angka kriminalitas. Status ekonomi masyarakat pun juga tidak boleh dilupakan. Bagaimanapun juga kondisi ekonomi seringkali menjadi faktor utama dibalik tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh seseorang. 

Jika memang demikian halnya yang terjadi, maka bisa dikatakan juga bahwa LGBT itu muncul sebagai efek dari buruknya kualitas pendidikan serta rendahnya kualitas ekonomi seseorang.

Mungkin masih ada kontroversi atau pro kontra dalam menyikapi "kaum" LGBT di Indonesia. Namun kita semua sepakat bahwa mempertontonkan aksi seksual menyimpang adalah sesuatu yang terlarang. Kodrat kita diciptakan berpasang-pasangan berlainan jenis, dan memang semestinya seperti itu. 

Semoga Negara Indonesia tercinta ini senantiasa menjadi bangsa yang dilindungi serta dihindarkan dari sebuah masa seperti masa umatnya Nabi Luth AS yang diazab oleh karena perilaku seksual menyimpang mereka.

Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun