Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kementerian Kebahagiaan di Kabinet Kerja Jilid II, Mungkinkah?

5 Juli 2019   14:10 Diperbarui: 5 Juli 2019   14:50 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekspresi ceria para remaja di negara paling bahagia di dunia, Finlandia. (Sumber gambar : https://www.voaindonesia.com)

Indonesia adalah negara paling bahagia nomor 92 dari 156 negara di dunia sebagaimana yang dirilis oleh World Happiness Report. Peringkat ini masih sangat jauh apabila dibandingkan dengan negara-negara berperingkat sepuluh besar paling bahagia di dunia seperti Finlandia, Denmark, Norwegia, Islandia, Belanda, Swiss, Swedia, Selandia Baru, Kanada, hingga Austria.  

Melihat beberapa kriteria penilaian seperti kebebasan berpendapat, kebebasan memeluk kepercayaan, harapan hidup sehat, kehidupan sosial dan masyarakat, menjadi wajar kiranya apabila beberapa negara tersebut menduduki posisi sepuluh besar. 

Lain halnya dengan negara-negara di posisi terbawah seperti Sudan (peringkat 156) yang mana mayoritas masyarakatnya menderita kekurangan pangan serta didera perang saudara. Hal serupa juga dialami oleh Yaman dan Afganistan, sehingga bisa dibilang merekalah negara paling bersedih di dunia.

Berangkat dari penilaian yang dilakukan oleh lembaga dunia tersebut, peringkat Indonesia yang hanya di urutan ke-92 menjadi indikasi bahwa ada aspek-aspek sosial hidup masyarakat kita yang belum sepenuhnya terfasilitasi dengan baik. Konflik horisontal masih beberapa kali terjadi, dan angka kemiskinan pun juga tidak bisa dibilang sedikit. 

Usulan dari ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo (Bamsoet) agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk Kementerian Kebahagiaan mungkin bukanlah langkah yang tepat sasaran. 

Hal itu tidak menyentuh esensi persoalan dari penyebab masyarakat hidup bahagia atau tidak. Menurut Bamsoet, pencetusan Kementerian Kebahagiaan ini terilhami oleh negara Uni Emirat Arab (UEA)  yang telah berbuat lebih dahulu dan berhasil meningkatkan level kebahagiaan masyarakat disana.

Usulan dari Bamsoet mungkin ada benarnya. Akan tetapi peningkatan level kebahagiaan UEA tidak semata-mata ditentukan oleh adanya Kementerian Kebahagiaan tersebut. UEA seperti yang kita tahu saat ini merupakan negara dengan tingkat kemajuan ekonomi yang luar biasa. 

Perusahaan-perusahaan besar dunia ada disana, diantaranya Fly Emirates. Gedung tertinggi dunia, Burj Khalifa, yang merupakan salah satu pusat bisnis dunia juga ada disana. 

Belum lagi dengan pulau-pulau buatan seperti Palm Jumeirah, Palm Jebel Ali, serta masih banyak lagi yang lain. Singkat kata, pertumbuhan ekonomi disana sangat luar biasa. Dengan kondisi ini, tentu taraf hidup masyarakat disana meningkat pesat. Sehingga tidak mengherankan apabila tingkat kebahagiaan negara tersebut pun juga meningkat.

Bamsoet boleh-boleh saja mengutarakan pendapatnya. Presiden Jokowi pun juga pasti sudah memiliki pandangannya terkait seperti apa kabinet yang akan beliau bentuk nanti. Tentunya bapak presiden harus bisa belajar banyak dari periode pertama kepemimpinannya, yang mana masih ada begitu banyak problematika bangsa yang perlu segera dituntaskan. Khususnya yang berkaitan dengan aspek kesejahteraan rakyat. 

Kementerian yang dulu pernah terbentuk dengan tujuan untuk mengangkat kualitas hidup bangsa harus lebih diberdayakan lagi sehingga mampu mampu memperbaiki taraf hidup masyarakat. 

Keberadaan kementerian yang ada saat ini bisa jadi sudah tepat, hanya saja fungsi kerjanya yang mesti ditingkatkan lagi. Mendirikan kementerian baru seperti Kementerian Kebahagiaan ini bukan tidak mungkin malah akan menambah beban anggaran atau justru menjadi bahan ejekan. Namun apapun nanti keputusan Pak Jokowi, semuanya tetap harus dipertimbangkan secara seksama.

Sah-sah saja kita memiliki harapan agar suatu saat nanti Indonesia menjadi sepuluh besar negara paling bahagia di dunia. Hal itu bukan tidak mungkin bisa kita wujudkan selama aspek-aspek penting dalam kehidupan masyarakat kita terpenuhi. 

Niatannya bukanlah bagaimana agar menjadi salah satu negara paling bahagia. Akan tetapi bagaimana memastikan agar segenap bangsa Indonesia benar-benar menikmati kehidupan yang sejahtera diatas tanah ibu pertiwi ini. Peranan untuk membawa gerbong bangsa ini menuju tatanan masyarakat yang tata tentrem kartaraharja. 

Tanpa melihat kriteria yang dirilis oleh World Happiness Report, bangsa kita sebenarnya sudah memiliki kriteria sendiri yang bahkan telah lebih dahulu diadopsi oleh kehidupan nenek moyang bangsa kita dahulu. Apabila kita menengok sejarah, Kerajaan Majapahit pernah menciptakan sebuah tatanan negara yang begitu harmonis dan membahagiakan. Ini artinya Indonesia masih sangat berpotensi untuk kembali menjadi salah satu negara paling berbahagia di dunia.

Salam hangat,

Agil S Habib 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun