Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(Kembali) Terjadi Penolakan pada Penceramah Agama, Pertanda Apa?

27 Juni 2019   13:56 Diperbarui: 27 Juni 2019   14:03 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kajian Ustadz Felix Siauw di Balai Kota DKI baru-baru ini dibatalkan terkait adanya penolakan dari sejumlah pihak. Kasus ini bukan yang pertama kali terjadi dimana ada pemuka agama yang mendapatkan penolakan untuk menyampaikan kajiannya. Bahkan sekitar tahun 2017 yang lalu kajian dari Ustadz Khalid Basalamah di daerah Sidoarjo, Jawa Timur, juga pernah dibubarkan. 

Dua peristiwa ini merupakan potret kecil dari pertentangan pemahaman yang berujung pada penolakan hingga memunculkan stigma negatif di masyarakat. Meski mungkin ada alasan tertentu yang mendasari adanya penolakan dan pembubaran tersebut, namun pemberitaan yang beredar luas di publik terlanjur mengabarkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan komunitas umat muslim di tanah air.

Beberapa waktu lalu kita mungkin masih ingat adanya pelaporan kepada salah seorang anggota Banser yang dianggap telah membakar bendera tauhid, sebuah tindakan yang kemudian berujung pada aksi protes diman-mana. Dalih yang mengemuka waktu itu adalah anggota banser menganggap bendera yang di bakarnya adalah bendera milik organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), bukan bendera tauhid. Peristiwa ini juga sempat viral pada masanya. Berangkat dari beberapa peristiwa ini ada sebuah kesan yang bisa kita tangkap bahwa tengah terjadi pertentangan di antara sesama komunitas muslim di tanah air, di mana salah satu pihak mempersalahkan pihak yang lain.

Selama lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, kehidupan beragama kita begitu kondusif. Perbedaan agama, perbedaan pandangan, dan perbedaan keyakinan selama ini sudah ada di bangsa ini namun belum pernah menimbulkan friksi yang mengusik kenyamanan bermasyarakat dan bernegara hingga kemudian beberapa tahun terakhir ini benturan antar keyakinan itu mulai mengemuka. Seakan tercipta gap atau jarak dari umat berkeyakinan sama. Sama-sama Islam tetapi tidak akur, sama-sama warga negara Indonesia tapi menjauhi perdamaian.  

Sebagian dari kita mungkin dengan mudah menunjuk hidung terkait siapa yang salah dan siapa yang benar. Namun penilaian seperti ini tidak akan pernah membuat kita kembali akur. Ketika salah satu pihak telah mendeklarasikan dirinya yang paling benar dan yang lain salah, maka perlu perjuangan berat untuk menciptakan kembali harmoni dalam beragama.

Menganggap orang lain sebagai pelaku bid'ah, mempersalahkan warisan budaya leluhur, dan bahkan mengkafirkan sesama saudara seagama adalah beberapa tindakan yang dengan begitu mudahnya ditemui saat ini. Lebih ironis lagi ketika ternyata hal itu dilakukan oleh orang-orang yang baru belajar ilmu agama, dan masih memahami sedikit sekali dari begitu luasnya ilmu agama. Pemahaman yang dangkal dan pengetahuan yang membabi buta barangkali merupakan salah satu sumber dari terjadinya pertentangan sesama umat Islam di Indonesia. Bagaimanapun juga, sejarah perjuangan hidup bangsa kita mengajarkan kearifan yang begitu luar biasa kepada warga negaranya. 

Sesama umat muslim diajarkan untuk menghargai warisan budaya nusantara yang memang begitu luar biasa. Bahkan kepada umat beragama lain pun seorang muslim diajarkan untuk memberikan penghormatan yang baik. Sehingga muncul sebuah pertanyaan besar terkait apa yang sebenarnya tengah terjadi saat ini di negara kita. 

Mengapa sampai harus terjadi aksi pengusiran atau pembubaran sebuah kajian keagamaan oleh kalangan dari agama yang sama? Apakah memang kajian tersebut dianggap berpotensi merusak keimanan orang banyak sehingga patut ditolak atau dibubarkan? Padahal kita sebenarnya memiliki cara-cara yang lebih arif dan bijaksana untuk menyelesaikan perbedaan pandangan.

Kita dianugerahi akal pikiran sekaligus hati untuk memilih dan memilah mana yang benar dan mana yang salah. Kita bisa berdiskusi, berbicara dari hati ke hati, dan sejenisnya untuk memperjelas setiap persepsi yang muncul di benak kita masing-masing terkait ajaran tertentu dalam beragama. 

Apabila salah satu dari kita merasa ada yang tidak benar dari suatu ajaran agama, maka alangkah baiknya untuk melakukan cek dan ricek terlebih dahulu kepada yang bersangkutan sebelum melakukan aksi penolakan atau pembubaran. 

Jika peperangan besar saja dapat didahului melalui proses diplomasi sebelum memutuskan mengangkat senjata di medan perang, maka tidak bisakah kita untuk mendinginkan kepala sejenak dan duduk bersama menyampaikan pandangan satu sama lain? Ataukah memang menolak suatu paham yang berbeda itu harus dengan cara-cara "keras" seperti demikian?

Salam hangat,
Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun