Tanggal 21 hari yang lalu banyak media masa yang memberitakan perihal Deddy Corbuzier yang memutuskan untuk menjadi sorang muallaf. Namun tidak berselang beberapa lama setelah ia mengikrarkan syahadat dan kemudian ikut menunaikan sholat lima waktu berjamaah yang diikuti dengan beredarnya foto ketika Deddy menunaikan salat, ada saja netizen yang berkomentar atas caranya mengerjakan sholat.Â
Sebuah sikap yang menurut penulis sangat tidak perlu dilakukan. Mengapa kita sampai perlu merasa untuk mengoreksi orang lain yang menunaikan ritual agamanya?
Ketika masa kampanye pemilihan presiden (pilpres) dulu tengah gencar-gencarnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun tidak terlepas dari sasaran kritik para netizen yang tidak sepakat dengan aktivitas ritual keagamaan beliau.Â
Saat menjadi imam sholat dikritik, saat beribadah ke masjid dianggap pencitraan, dan lain sebagainya. Bapak Prabowo Subianto pun sebenarnya juga tidak terlepas dari kritik serupa.Â
Malah mungkin kita sebenarnya harus mengelus dada tatkala membanding-bandingkan satu orang dengan orang lain dalam menjalankan ibadahnya. Yang satu dianggap tulus, yang lain dianggap pencitraan, dan sebagainya. Patut untuk kita tanyakan kepada diri kita masing-masing, sebegitu berhakkah kita menilai keyakinan beragama orang lain?Â
Sebegitu tinggikah ilmu agama kita hingga mampu menilai orang lain tidak berilmu agama, kafir, dan sejenisnya? Pernahkah kita menanyakan kualitas ibadah kita sendiri?Â
Jika untuk sholat lima waktu saja masih bolong-bolong, tidak perlulah menilai sholat orang lain. Apabila sebatas mengetahui satu dua hadits saja, tidak perlulah menilai berlebihan orang lain. Apakah kita sudah lebih layak menilai kualitas ibadah seseorang dibandingkan malaikat Raqib dan Atid yang setiap saat selalu siap sedia mencatat amal ibadah kita?
Dalam beberapa kesempatan saya menyadari bahwa terkadang melihat adanya publik figur yang tengah menjalani ibadah berdasarkan keyakinannya dalam beragama seperti ada hasrat yang menggelitik untuk berkomentar, untuk menilai, atau bahkan mengkritik. Memang kita semua memiliki persepsi serta pemahaman masing-masing.Â
Akan tetapi menganggap bahwa semua pemahaman yang kita miliki adalah mutlak kebenarannya adalah sebuah sikap yang jauh dari bijaksana. Merasa paling tahu, tidak berarti menjadikan seseorang paling berpengatahuan.Â
Ada beberapa hal yang mesti kita nilai dari diri kita masing-masing. Berada dalam kuadran manakah diri kita, mengetahui bahwa diri kita tahu? Mengetahui bahwa diri kita tidak tahu? Tidak tahu bahwa diri kita tahu? Atau kita tidak tahu bahwa diri kita sebenarnya tidak tahu?Â
Sebaik-baik orang yang berpengetahuan, berilmu, bukanlah mereka yang banyak bicara dan sibuk menilai orang lain. Pertanyaannya, sebagai orang seperti apakah diri kita?
Seringkali penulis bertanya-tanya terkait motif seseorang yang begitu mudahnya untuk berkomentar sinis atau bahkan menghujat keyakinan beragama orang lain, khususnya yang satu keyakinan. Tentu kita masih ingat dahulu ketika AA Gym memutuskan poligami, kemudian banyak orang yang menyudutkan beliau, misalnya.
Ada juga ketika seorang artis, Bebi Romeo, terlihat menunaikan sholat dipinggir jalan banyak netizen yang berkomentar memuji tetapi banyak juga yang mencibir.Â
Mengapa bisa seperti itu? Kita banyak menilai baik buruknya keyakinan orang lain hanya dari sekelisasan pemahaman yang kita peroleh. Sekilas pemberitaan, sepotong video atau gambar, atau barangkali secuil kata-kata telah menjadikan kita mampu menarik kesimpulan besar.
Seakan-kita kita adalah pakar yang sudah bepuluh-puluh tahun menggeluti ilmu agama. Padahal bisa jadi pemahaman kita masih sangat cetek.
Alangkah baiknya apabila kita mengembalikan semua persepsi dan pandangan atas orang lain terhadap diri kita masing-masing. Terlebih apabila hal itu berkaitan dengan aspek keyakinan beragama.
 Sebelum menilai baik buruknya orang lain, bukankah lebih tepat kiranya jika kita menilai kualitas kebaikan diri kita sendiri?Â
Selain itu, para tokoh publik pun hendaknya bersikap serupa. Mereka yang memang dipandang orang banyak sebagai tokoh panutan publik seyogianya juga bisa bertindak bijaksana, khususnya dalam berkomentar. Bukannya malah melontarkan statement yang justru memperkeruh suasana.
Saat ini ada begitu banyak anggapan bahwa pihak yang benar dan pihak yang salah itu abu-abu, sulit dibedakan. Saling klaim benar salah pun sudah sering terjadi.
Hal ini terjadi salah satunya disebabkan oleh hasrat diri kita yang terlampu tinggi dalam menganggap bahwa kitalah yang paling benar. Mereka yang berbeda harus diluruskan.Â
Sayangnya hal ini seringkali dipahami secara parsial, sehingga mengorbankan kondusivitas dan ketentraman kita sebagai sesama warga negara.
Mari sama-sama belajar untuk menciptakan suasana kondusif di lingkungan kita, baik itu dalam ranah dunia digital ataupun dalam alam realitas.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H