Hampir selalu terjadi setiap tahun di mana banyak orang beramai-ramai mencari uang receh untuk ditukar. Jasa penukaran uang "dadakan" banyak bermunculan di pinggir jalan. Bahkan tidak jarang dari sebagain rekan kerja yang menawarkan hal serupa.Â
Uang receh yang biasanya "diabaikan" seakan berubah menjadi primadona baru sebagian masyarakat yang ingin berbagi sebagian rezekinya kepada sanak kerabat atau tetangga di sekitar rumah. Sebuah niatan mulia sebenarnya.
tukar menukar barang adalah harus kontan dan senilai.Â
Namun menukar uang dengan uang memiliki konsekuensi berat apabila tidak hati-hati dalam melakukan transaksinya. Prinsip utama dalam Islam ketika melakukan transaksiDalam konteks melakukan penukaran uang receh praktik yang seringkali kita temui adalah sejumlah uang receh baru ditukar dengan nominal utuh sejumlah uang tersebut ditambah besaran tertentu.Â
Misalnya ada seseorang yang menukar uang receh pecahan Rp 5.000 sebesar Rp 100.000 harus digantikan dengan nominal utuh lembaran Rp 100.000 ditambah Rp 10.000 yang merupakan biaya atas penukaran yang dilakukan. Beberapa orang menyebutnya sebagai uang lelah atau uang jasa. Transaksi yang tidak senilai ini, menukar uang Rp 100.000 dengan Rp 110.000 bisa tergolong sebagai riba.
Dalam melakukan transaksi jual beli atau tukar menukar barang akad yang dilakukan harus diperjelas. Bagaimanapun juga, menukar uang Rp 100.000 dengan Rp 110.000 tidaklah senilai.Â
Menurut Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr. H. M. Asrorun Ni'am Sholeh, M.A., aktivitas tukar menukar uang seperti itu boleh, asal tidak ada unsur diperjanjikan.Â
Diperjanjikan di sini misalnya uang receh pecahan Rp 100.000 HARUSÂ ditukar dengan uang Rp 110.000, Rp 120.000, dan seterusnya. Dengan kata lain semacam ada tarif yang diberlakukan untuk melakukan pertukaran uang tersebut.Â
Berbeda halnya ketika kita menukar uang receh pecahan Rp 100.000 dengan nominal uang yang sama, namun karena kita merasa ditolong kemudian memberikan uang terima kasih seikhlasnya tanpa ada batasan atau penentuan angka nominalnya. Perbedaannya sangat tipis sekali disini. Bahkan bagi sebagian orang mungkin masih beranggapan hal ini masih tidak menghilangkan unsur ribanya.
Edukasi MUI dan Kontribusi Bank Syariah
Mungkin ada banyak sekali kepentingan di balik keinginan seseorang untuk mendapatkan uang receh jelang lebaran. Akan tetapi hal itu sebaiknya tetap membuat kita sebagai umat muslim untuk tetap berhati-hati dalam mengambil tindakan. Karena jika kita "terpeleset" sedikit saja dalam transaksi pertukaran uang ini, maka bisa jadi kita akan terperosok dalam riba.Â
Dalam hal ini MUI selaku panutan umat muslim Indonesia hendaknya menggalakkan sosialisasi dan juga edukasi dengan masyarakat. Hal ini bisa dilakukan pada acara-acara salat tarawih, majelis taklim, atau bahkan bazar Ramadan yang banyak dikunjungi masyakarat. Khususnya umat Islam. Edukasi ini perlu karena tidak menutup kemungkinan pengetahuan akan riba di masyarakat kita sangat terbatas.
Sebagaimana saran yang diberikan oleh MUI, alangkah lebih baik apabila penukaran uang itu dilakukan secara langsung ke bank-bank terdekat. Tentu dengan catatan bahwa pihak bank mendukung penuh aktivitas masyarakat yang seakan telah menjadi tradisi tahunan ini. Bank harus stand by memberikan layanan penukaran uang sehingga masyarakat merasa dimudahkan.Â
Tantangan besarnya adalah banyak dari masyarakat kita yang enggan untuk datang ke bank dengan alasan harus mengantri lah, jauh lah, tidak ada waktu lah, dan sebagainya. Bagaimana seandainya pihak bank yang bersikap lebih "proaktif" untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap penukaran uang ini.Â
Pihak bank bisa melakukan layanan penukaran uang keliling atau membuka stan-stan khusus penukaran uang ditempat ramai seperti di pameran, atau di pinggir jalan utama. Saat ini siapapun bisa menawarkan jasa penukaran uang di pinggir jalan. Mengapa tidak langsung pihak bank saja yang melakukan hal ini?
Apabila bank-bank konvensional tidak bersedia melakukannya, mengapa tidak bank-bank berlabel syariah saja yang melakukan eksekusi? Bagaimanapun juga bank syariah ada karena mereka menawarkan layanan keuangan berbasis syaiah dan menjauhi prinsip-prinsip riba.Â
Jikalau mereka sudah mengetahui adanya transaksi potensi riba yang "bebas berkeliaran" di luar sana, mengapa tidak ada langkah nyata untuk menanggulanginya?Â
Momen menjelang lebaran ini adalah kesempatan bagi bank-bank syariah untuk menunjukkan eksistensi sekaligus kepeduliannya terhadap aplikasi syariat Islam secara menyeluruh.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa kebiasaan menukar uang receh menjelang lebaran ini akan selalu terjadi setiap tahunnya. Setiap pribadi tentu harus bisa lebih berhati-hati untuk menjaga setiap tindakannya agar tidak melangkah di jalan yang salah. Akan tetapi muslim Indonesia juga memiliki panutan seperti MUI dan tokoh-tokoh cendekiawan muslim.Â
Kita memiliki bank syariah yang dimaksudkan untuk memberikan alternatif transaksi anti riba. Mengapa tidak sebaiknya kita optimalkan semua sumber daya itu agar umar Islam Indonesia benar-benar bisa menjalani agamanya secara kaffah.
Jangan hanya urusan penentuan awal puasa atau awal idhul fitri saja yang diperhatikan, kehidupan uamt muslim pun juga hendaknya diberikan perhatian. Bukan sebatas memberi fatwa tanpa pengarahan lebih lanjut.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H