Ketergantungan kita terhadap media sosial (medsos) terlihat begitu tinggi seiring hari-hari yang kita lalui tanpa melewatkannya untuk berselancar di dunia maya meng-update status, bertukar komentar di laman media sosial, atau saling memberi like satu sama lain. Ketika kebiasaan memainkan medsos sudah semakin "mendarah daging", hari-hari kita seakan ada yang kurang jika tidak memainkannya.Â
Sepertinya jari-jemari kita begitu gatal untuk mengetikkan kata-kata pada layar smartphone yang kita miliki. Menggunakan medsos sudah selayaknya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.Â
Bahkan disaat kita sudah begitu terbiasa hidup di medsos hal itu justru membuat kita kehilangan hidup yang sebenarnya. Betapa sering kita jumpai orang-orang yang berkumpul bersama rekannya tapi terasa seperti tidak sedang berkumpul.Â
Secara fisik mereka memang berada di satu tempat yang sama, namun pikiran dan hati mereka melayang entah kemana. Kita begitu sibuk dengan smartphone kita masing-masing, membaca status medsos, berkirim pesan dengan orang-orang yang berada jauh disana, hingga asyik melakukan upload jualan online.Â
Akhirnya, kualitas pertemuan antar sahabat atau komunitas tidak lebih dari sekedar momen bertatap muka semata namun kering makna. Berjumpa tapi serasa tidak berjumpa. Dekat tapi terasa jauh. Â
Pembatasan akses terhadap penggunaan medsos yang sedang terjadi saat ini membuat semuanya terasa sangat berbeda. Ada bagian dari hidup kita yang hilang, serasa ada sesuatu yang kurang untuk dilakukan. Namun pada kenyataannya kita masih tetap hidup.Â
Kita masih bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Ternyata medsos tidak sepenuhnya menjadi bagian dari kehidupan kita. Ada dunia lain yang ternyata lebih nyata dari dunia medsos yang selama ini sangat kita gandrungi.Â
Sahabat-sahabat dekat tidak pergi seiring akses medsos yang terbatas, karena bagaimanapun juga persahabatan itu tertanam di hati dan bukan di medsos. Ada begitu banyak orang yang kita anggap baik di medsos tapi pada kenyataannya justru sebaliknya. Karena di media sosial kita hanya sebatas mengenali mereka dari kata-kata, gambar wajahnya, atau video seseorang di jejaring sosial.Â
Meski sebenarnya semua hal itu tidak akan pernah bisa menggantikan arti perjumpaan secara langsung. Betapa banyak seseorang yang terjebak oleh manipulasi teman di dunia maya hingga mereka mengorbankan hal-hal baik yang ada pada dirinya. Kehilangan harta benda, keluarga, dan persahabatan barangkali merupakan sesuatu yang beberapa kali terjadi oleh karena "keyakinan" kita yang begitu besar terhadap dunia digital ini.Â
Kita sampai mengabaikan realitas yang tampak di sekitar kita dan mengacuhkan nasihat orang-orang terdekat. Kita baru menyesal disaat semuanya sudah terlambat.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pembatasan akses medsos ini memiliki cukup banyak kerugian, salah satunya dalam hal bisnis online yang mengandalkan medsos sebagai sarana penunjang utama. Seiring "lumpuhnya" media sosial, maka bisnis itu juga akan ikut mengalami kelumpuhan serupa.Â
Namun dibalik setiap hal yang kita anggap mengecewakan juga terdapat hikmah atau pembelajaran besar. Dengan keterbatasan akses ini kita bisa mengurangi jatah waktu bersama smartphone kesayangan. Waktu kita yang sebelumnya cukup banyak tersita untuk berselancar di dunia maya dapat dialihkan untuk hal-hal lain yang lebih produktif.Â
Semestinya kondisi ini juga menyadarkan kita bahwa hidup yang kita jalani ini akan terasa lebih hidup tatkala kita "bergerak" dalam kenyataan, bukannya memperbanyak angan serta pengandaian. Sadarilah bahwa kita hidup di dunia nyata, bukan dunia maya.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H