Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Apa yang Sudah Kita Dapat dari Ramadan?

22 Mei 2019   10:17 Diperbarui: 22 Mei 2019   10:46 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah dua minggu lebih bulan suci Ramadan ini kita lalui. Seiring waktu, bulan yang sebelumnya begitu ditunggu dan dinanti-nantikan kehadirannya oleh segenap umat muslim di seluruh ini semakin mendekati penghujung waktunya. Apakah setelah melalui beberapa hari Ramadan ini ada sesuatu yang berubah pada diri kita? 

Adakah dampak nyata yang kita dapatkan atau rasakan setelah menjalani beberapa hari di bulan nan suci ini? Atau jangan-jangan kita masih sama saja dengan sebelumnya? Sikap kita tidak berubah sama sekali. Kualitas ibadah kita tidak mengalami peningkatan. 

Emosi kita masih sering menguasai diri. Jika semua hal itu masih melekat pada diri kita sama eratnya seperti waktu-waktu diluar bulan Ramadan maka kita patut untuk khawatir. Mungkin Ramadan tidak berdampak apapun terhadap diri kita. Barangkali hati kita terlalu hitam pekat hingga putihnya Ramadan tidak mampu membersihkannya. Atau bisa jadi kita telah tanpa sadar "membenci" kehadiran bulan suci ini. Naudzubillah.

Seharusnya kita semua bisa bersorak gembira ketika Ramadan yang mulia ini dianugerahkan Allah SWT kepada kita umat Nabi Muhammad SAW. Bagaimana tidak? Bulan Ramadan menjadikan kita begitu istimewa, sehingga umat terdahulu pun "iri" kepada kita. Ibadah-ibadah yang dilakukan hingga puluhan tahun bisa disetarai hanya dengan ibadah semalam di bulan Ramadan. 

Menjadi sebuah pertanyaan tentunya apabila adanya keistimewaan yang begitu luar biasa ini tidak membuat kita bersuka cita. Lebih celaka lagi adalah hadirnya Ramadan tak ubahnya bulan-bulan lain bagi diri kita. Masih mengumbar emosi seperti biasanya, masih memuja syahwat dan nafsu sebagaimana dahulu, masih meremehkan waktu untuk beribadah, dan lain sebagainya. 

Sungguh malang kiranya ketika ada kebaikan besar yang datang tetapi malah kita tolak dengan mentah-mentah. Bahkan tidak sedikit yang membenci kehadiran bulan nan suci ini hanya karena macet di jalanan saat jam pulang kerja, harus menambah alokasi waktu sholat untuk tarawih, atau barangkali mesti bangun di pagi buta untuk sholat tahajjud dan bersantap sahur. Kata apalagi yang lebih tepat untuk menggambarkan orang-orang yang tidak mendapatkan manfaat apapun dari bulan suci Ramadan ini selain "terlalu".

Ibadah utama pada bulan Ramadan adalah menjalankan puasa dan membayarkan zakat fitrah. Tentunya ibadah ini bukan hanya memiliki nilai ritual semata. Terdapat makna lain yang tersirat dibalik itu semua. Jangan hanya memaknai ibadah puasa sebatas menahan makan dan minum saja. 

Apabila hanya pemaknaan dangkal seperti itu yang ada di benak kita maka binatang pun ada yang berpuasa. Bahkan puasanya bisa jadi lebih lama dari kita. Satu hal besar yang membedakan kita dengan makhluk lain adalah adanya akal dan hati pada diri kita.

 Kita adalah makhluk dengan kehendak bebas yang bisa berlaku apapun sesuai kehendak. Jika potensi ini kita lepaskan tanpa kendali maka sikap dan tindakan kita tak ubahnya binatang. 

Bagaimana cara kita mengontrol atau mengendalikan segenap potensi didalam diri adalah esensi utama dari menjalankan ibadah puasa. Segalanya adalah tentang pengendalian diri kita.

Kita yang dulu bukanlah kita yang sekarang

Sedikit menyitir lagu seorang musisi, aku yang dulu bukanlah yang sekarang. Kita semua berkembang dan bertumbuh seiring waktu. Pemahaman kita terus bertambah setiap kali waktu berganti. 

Kita bisa menjadi lebih bijak atau sebaliknya kita menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Itu semua tergantung bagaimana pengasahan diri yang kita lakukan. Apakah kita membiarkan lingkungan membentuk diri dan persepsi kita tanpa kita sadari? 

Apakah kita akan membiarkan realitas di sekitar menciptakan diri kita sesuai kehendak zaman? Kita sepenuhnya yang memiliki kendali terhadap diri ini, hidup ini, kenyataan ini. Hanya saja yang kita butuhkan adalah tools atau alat untuk membentuk sikap dan pribadi kita secara sadar dan tanpa paksaan dari siapapun.

Ramadan dengan segala "atribut" yang ada didalamnya menjadi sebuah tools yang lengkap apabila kita ingin mendesain diri kita yang baru dengan segala potensi besarnya. 

Kita mungkin sudah sering melihat ada banyak orang-orang hebat di luar sana yang memiliki kebijaksanaan tinggi, memiliki harkat dan martabat tinggi, serta dihormati banyak orang. 

Apakah itu terjadi dengan sendirinya? Apakah mereka mendapatkan itu semua dari warisan keluarganya? Sebenarnya hal itu semua mereka bangun dan upayakan sendiri melalui perjuangan, melalui latihan. 

Barangkali cara yang ditempuh oleh setiap orang akan berbeda-beda satu sama lain. Mungkin mereka memiliki metode yang berbeda-beda. Akan tetapi bagaimana kiranya ketika metode itu diturunkan langsung oleh Sang Pencipta kita untuk diri kita? Bukankah itu akan jauh lebih luar biasa dibandingkan apapun?

Puasanya anak kecil umumnya berbeda dengan puasanya orang dewasa. Seorang anak kecil kadang ada yang berpuasa hanya sampai menunggu adzan dhuhur tiba kemudian berbuka puasa. 

Artinya mereka masih mengasah diri untuk menahan diri terhadap godaan makan dan minum. Apakah kita yang sudah baligh ini memiliki pola pikir yang sama dengan anak kecil itu? Semestinya tidak. 

Orientasi kita berpuasa seharusnya jauh lebih tinggi dari itu. Pengasahan spiritualitas kita bukan lagi sebatas pada aspek ritual semata, tetapi lebih jauh pada mencari makna dibalik itu semua. 

Untuk apa kita berpuasa? Untuk apa kita tidak makan dan minum seharian penuh? Untuk apa kita harus mengeluarkan zakat fitrah? Untuk apa kita melaksanakan sholat tarawih, sahur, dan sebagainya? Semunya adalah wujud pengabdian nyata kita dan keberserahdirian kita kepada Sang Khaliq. Semua karena kita yakin dan percaya bahwa perintah-Nya memiliki nilai manfaat yang luar biasa bagi diri kita. 

Sudahkah kita menyadari hal ini? Ketika pemahaman kita masih merupakan sebuah keluhan dan bukannya kebersyukuran maka kita belum menemukan esensi dari Ramadan. 

Ketika kita mengharapkan Ramadan segera berlalu dan bergegas menyambut idhul fitri, maka kita harus bertanya tentang apa yang sebenarnya tengah terjadi pada diri kita ini. Jangan-jangan hati kita sudah mati.

Salam hangat,

Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun