Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Merindu Ramadan "Tempo Doeloe"

17 Mei 2019   08:27 Diperbarui: 18 Mei 2019   13:47 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa momen ramadhan tempo dulu yang di zaman sekarang sulit ditemui| Sumber: Kompas/Adrian Fajriansyah

Hari ini kita sudah memasuki hari ke-12 bulan Ramadan, artinya kita sudah hampir setengah jalan mengarungi bulan suci nan mulia ini. Selama dua belas hari menjalankan ibadah puasa ini, tidakkah kita merasa ada yang kurang dari Ramadan kali ini? 

Secara pribadi, penulis merasa bahwa hingar bingar Ramadan saat ini atau bahkan beberapa tahun terakhir seperti kehilangan ruhnya. Terlebih ketika kita memasuki sebuah era yang disebut dengan era digital ini. 

Ramadan saat ini sangat sulit rasanya bagi kita menemukan kesederhanaan dan kebersahajaan dalam menunaikan ibadah puasa. Sewaktu masih kecil dulu, terutama saat masih tinggal di kampung, momen Ramadan terasa begitu hidup. Anak-anak kecil beramai-ramai datang ke masjid atau musholla untuk mengikuti Sholat Tarawih, dan dilanjut tadarus Al-Qur'an. 

Saat-saat setelah sholat tarawih selesai dilakukan mungkin adalah salah satu waktu yang paling dirindukan. Suara lantunan ayat suci Al-Qur'an berkumandang di hampir dari segala penjuru. Tua muda bercengkerama di tempat-tempat ibadah membicarakan pengalaman menunaikan ibadah di bulan nan suci ini.

Beberapa orang bercerita kalau di salah satu musholla sholat tarawihnya ada yang cepat sedangkan sebagian yang lain lekas mengundang datangnya kantuk. Pada saat yang lain mereka bercerita tentang pengalaman bertemu dengan jamaah dari kampung sebelah ketika sedang melakukan musik patrol. 

Sebagian yang lain asyik menyalakan mercon bambu yang legendaris itu, sambil tertawa cekikikan ketika ada orang lewat yang kaget mendengarkan dentuman suaranya. Ketika perut mulai lapar, tidak perlu repot-repot pergi mencari penjual makanan. Cukup datang ke masjid atau musholla dan menikmati sajian dari warga yang diberikan untuk mereka yang bertadarus Al-Qur'an. 


Masih ada banyak sekali momen atau kisah-kisah Ramadan tempo dulu yang kini sudah sangat sulit dijumpai, bahkan di kampung sekalipun. Momen-momen itulah diantaranya yang membuat bulan Ramadan terasa begitu hidup dan menyenangkan untuk dijalani.

Pagi hari di bulan Ramadan barangkali adalah waktu paling indah untuk menikmati suasana pagi, yaitu ketika banyak diantara kita yang beramai-ramai pergi ke masjid menunaikan sholat subuh berjamaah. Dibandingkan hari-hari biasa yang mana sholat subuh di masjid begitu "sepi peminat", bulan Ramadan telah menghidupkan suasana subuh di masjid-masjid. 

Ramadan yang dirindukan itu kini telah datang sebagai pengingat momen indah yang terdahulu (Ilustrasi gambar : https://bengkuluekspress.com)
Ramadan yang dirindukan itu kini telah datang sebagai pengingat momen indah yang terdahulu (Ilustrasi gambar : https://bengkuluekspress.com)

Orang-orang yang biasanya enggan membuka matanya di pagi buta terstimulus oleh kehadiran bulan suci ini. Berjalan-jalan pagi ba'da subuh adalah kesenangan lain yang sulit digambarkan keindahannya.

Siang hari di bulan Ramadan mungkin satu dari sekian tantangan besar yang mesti dijalani umat muslim tatkala menunaikan ibadah puasa. Terik matahari yang menyengat seakan "menyuruh" kita untuk menengguk sejuknya air. Namun hal ini bagi penulis memberikan kesan tersendiri. Banyak tingkah unik dan kreatif yang dilakukan oleh sebagian orang. Diantarnya dengan berkumpul di musholla dekat rumah untuk "bermain" air. 

Mengguyur seluruh tubuh dengan air dari sumur adalah kelakukan unik yang dilakukan demi mengakali teriknya matahari dan "meredakan" dahaga yang memuncak. Disaat tubuh merasa lelah dan mengantuk, tidur adalah obat paling mujarab. 

Bahkan di bulan suci ini tidurnya seseorang yang berpuasa dinilai sebagai ibadah. Namun hal ini tidak menjadikan mereka yang berpuasa lantas menjadi malas, karena jika tidur saja bernilai ibadah maka bagaimana dengan melakukan aktivitas produktif lain?

Menjelang sore, setelah sholat ashar tidak sedikit masjid-masjid yang mengadakan acara tausiyah atau kajian keagamaan. Istilah ngabuburit terbaik sebenarnya bukan dengan nongkrong dan melakukan sesuatu yang tidak bermakna, akan tetapi dengan memperbanyak aktivitas keagamaan sembari menunggu adzan maghrib berkumandang. 

Ketika ibu-ibu di rumah sedang sibuk menyiapkan hidangan, para anak-anak kecil berlarian di halaman rumah sembari menunggu waktu maghrib tiba. 

Para bapak ada yang membaca di ruang depan sambil mendengarkan ceramah dari da'i kondang Kyai H.Zaenuddin MZ (Almarhum), atau bercengkerama dengan sanak kerabat sebelah rumah. Menjelang waktu maghrib tiba, bukan adzan di televisi yang dinanti. 

Akan tetapi tabuh beduk di musholla dekat rumah sebagai penanda waktu maghrib tiba. Suasana terasa hangat, keluarga seakan begitu harmonis menikmati waktu demi waktu di bulan nan suci ini.

Ramadan adalah saat dimana kesederhanaan dan kebersahajaan dilakukan. Saat dimana setiap detik begitu sangat berharga untuk dilewatkan. Jauh sekali obrolan politik, jarang sekali bahasan tentang problematika sehari-hari, yang ada hanyalah euforia Ramadan. 

Momen indah itu kini seakan semakin sulit ditemui. Program-program televisi yang penuh candaan telah merenggut syahdunya bulan nan suci ini, menjamurkan gadget atau smartphone telah menggelayuni banyak orang sehingga berat melangkahkan kakinya ke masjid atau musholla. 

Modernisasi adalah sebuah keniscayaan, akan tetapi indahnya Ramadan tidak semestinya lekang oleh waktu dan zaman. 

Mari kita hadirkan momen indah bulan nan suci ini di kehidupan kita hari ini. Bulan nan suci di era yang sangat jauh berbeda dengan saat-saat yang lalu, namun tetap memberikan kesan indah bagi hidup kita di masa mendatang.

Salam hangat,

Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun