Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Yang Murah, yang Murahan?

20 April 2019   12:01 Diperbarui: 20 April 2019   12:14 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seringkali sebuah statement diucapkan bahwa harga itu setara kualitas. Produk dengan harga murah jangan mengharapkan kualitas kelas atas, begitu juga sebaliknya jangan mengharapkan produk bermutu tinggi dengan harga murah.

Apakah pernyataan tersebut memang benar? Apakah memang produk berharga mahal itu selalu berkualitas tinggi? Apakah kita harus membayar lebih besar agar supaya kualitas prima kita dapatkan?

Tidakbisakah kita memperoleh layanan kelas satu dengan harga terjangkau? Benarkah produk yang murah itu adalah murahan? Semua pertanyaan tersebut sebenarnya mengerucut pada satu hal, yaitu kesebandingan antara harga dengan kualitas yang ditawarkan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk memperoleh suatu produk bermutu tinggi membutuhkan effort yang lebih besar, sehingga cost yang mesti dikeluarkan juga akan lebih besar. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa produk-produk dengan harga murah "dilegalkan" untuk menjadi sebuah produk murahan.

Memang secara standar kualitas tingkatan produk berharga murah akan kalah dibandingkan dengan produk yang berharga lebih tinggi. Hanya saja belum tentu produk-produk berharga tinggi menjamin 100% bahwa mereka pasti jauh lebih berkualitas dibandingkan produk sejenis yang berharga lebih murah. Dengan kata lain, korelasi antara harga dengan kualitas tidaklah sepenuhnya berbanding lurus. Ada faktor-faktor lain yang berperan terhadap kualitas serta harga.

Dalam teori industri bisnis, cara untuk meningkatkan profit meliputi dua hal. Pertama, menaikkan harga jual. Kedua, menurunkan ongkos produksi.

Dengan tingkat persaingan bisnis yang sudah dipastikan ketat, opsi untuk menaikkan harga jual adalah langkah terakhir yang akan ditempuh suatu organisasi bisnis untuk mempertahankan keberlangsungan bisnisnya. Langkah yang paling ampuh untuk ditempuh adalah dengan menurunkan ongkos produksi. Menekan efisiensi pada tingkatkan paling optimal sehingga total biaya yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan sebuah produk menjadi sekecil mungkin.

Dengan menurunnya ongkos produksi meskipun harga jual tidak mengalami kenaikan maka profit margin yang diperoleh juga semakin besar. Sayangnya, dengan dalih menekan ongkos produksi banyak hal penting yang justru dikorbankan. Dengan dalih efisiensi banyak aktivitas pendukung vital yang termaginalkan.

Efeknya, mutu produk mengalami penurunan, kualitas layanan tidak maksimal, dan akhirnya timbul ketidakpuasan dari pengguna produk. "Harga murah kok inginnya dapat layanan terbaik?", mungkin seperti itulah pandangan sinis yang seringkali timbul. Seakan-akan harga yang murah menjadi bentuk perizinan tidak resmi bahwa produk bersangkutan diperbolehkan asal-asalan, diizinkan ala kadarnya, atau disetujui sebagai produk murahan.

Penulis pernah mengalami situasi seperti ini berkaitan dengan pembelian rumah subsidi. Sebagaimana pemahaman umum yang beredar di masyarakat, perumahan subsidi pada umumnya berharga lebih murah daripada rumah nonsubsidi karena kita sebagai pembeli mendapatkan keringanan pembayaran dari pemerintah untuk pengadaan rumah tersebut. Namun setelah selesai merampungkan proses transaksi dan serah terima rumah, didapati bahwa kondisi rumah banyak yang tidak sesuai harapan.

Lantai menggelembung, pintu tidak bisa dibuka, dan lain sebagainya. Ketika melakukan komplain kepada pihak developer ada satu respon menarik yang penulis terima, "Ya harap dimaklumi kondisinya untuk perumahan subsidi, Pak."

Apa yang disampaikan oleh pihak developer tersebut seolah menjadi penegasan dari pemahaman umum bahwa yang murah itu berarti murahan. Kalau ingin mendapatkan layanan bermutu maka harus berani membayar mahal. Sama halnya dengan mereka yang miskin jangan mengharapkan layanan dari dokter spesialis, karena itu terlalu mahal.

Apakah memang sudah semestinya seperti ini? Apa yang murah dianggap lumrah sebagai produk murahan?

Toyota adalah satu dari sekian banyak produsen otomotif dunia yang mengusai pangsa pasar dunia. Toyota dibandingkan dengan produsen mobil untuk kelas yang sama memiliki sisi keunggulan dibandingkan yang lain. Jika dibandingkan dengan mobil-mobil Amerika, Toyota mampu dengan begitu efisien menjalankan aktivitas produksinya. Sehingga mobil yang dihasilkan oleh Toyota dianggap lebih terjangkau namun tetap bermutu tinggi.

Sistem produksi mereka yang melegenda dan telah diadopsi oleh beragam industri di dunia menjadi contoh yang baik tentang bagaimana seharusnya memberikan pelayanan terbaik. Menawarkan harga "murah" tanpa harus memberikan produk yang murahan. Murah atau mahalnya ongkos produksi tidak semata disebabkan oleh tingginya kualitas produk yang ditawarkan, namun juga dipengaruhi oleh efektivitas serta efisiensi produksi yang dilakukan.

Jangan-jangan mindset murah itu murahan telah merasuki pikiran para pelaku bisnis sehingga mereka beranggapan bahwa kualitas terbaik itu tidak bisa diberikan tanpa harus mengeluarkan biaya besar. Kualitas bagus itu artinya mahal. Mindset ini harus dicabut akarnya, dan diganti dengan pemikiran baru yang tepat.

Memang tidak bisa dipungkiri akan ada perbedaan kualitas antara mereka yang membayar mahal dengan mereka yang membayar murah. Hanya saja harus ada standar minimal yang tetap mumpuni dan tidak mengecewakan dalam pelayanan. Bagaimanapun juga, orang-orang yang menawarkan pelayanan biasanya memberikan banyak sekali janji manis dan kesempurnaan.

Tatkala tawaran itu diambil oleh orang lain dan ternyata ditemukan banyak celah kekurangan, tentusaja akan muncul kekecewaan. Mengapa yang diterima berbeda jauh dari yang dijanjikan? Terkecuali pada saat awal selama periode penawaran disampaikan segala potensi kekurangan yang ada, tanpa perlu menutupi satu dan lain hal.

Jika memang perumahan subsidi itu ditawarkan dengan kondisi lantai bergelombang, tembok retak mungkin pembelinya tidak akan komplain. Jika membeli barang elektronik murah disampaikan kekurangan bahwa usia produk mungkin hanya beberapa bulan saja maka tidak akan ada komplain.

Sayangnya, produsen atau penyedia produk dan layanan seringkali mengumbar janji manis yang kebanyakan meleset dari kenyataan yang ada. Ketika komplain bermunculan mereka hanya menyatakan, "Harganya murah kok. Ya wajarlah."

Kira-kira apa yang kita rasakan tatkala mendapatkan respon seperti itu atas ketidaknyamanan yang kita rasakan?

Salam hangat,

Agil S Habib  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun