Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menemukan "Reiwa" Indonesia?

8 April 2019   07:39 Diperbarui: 8 April 2019   07:45 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membangun jiwa bangsa Indonesia adalah prioritas pertama membangun peradaban bangsa (Ilustrasi gambar : www.aida.or.id)

Era "kedamaian" akan segera berganti menjadi era "ketertiban dan harmoni", itulah tajuk utama yang beberapa waktu terakhir mengemuka di publik bangsa Jepang. Iya, masa kepemimpinan Kaisar Akihito per tanggal 1 Mei 2019 nanti akan berganti estafet kepada putranya, Naruhito.

Dalam tradisi bangsa Jepang, setiap periode kekaisaran selalu ditandai dengan sebuah nama penuh makna. Sebagaimana masa kekaisaran Akihito yang disebut dengan era "Heisei" atau kedamaian, per tanggal 1 Mei 2019 nanti era itu akan resmi digantikan dengan era "Reiwa" atau ketertiban dan harmoni. 

Sebuah tradisi yang bisa dibilang unik tetapi juga luar biasa. Seperti yang kita tahu, Jepang adalah satu dari sedikit bangsa-bangsa di dunia yang menganut sistem monarki konstitusional dimana keberadaan raja atau kaisar masih diakui sebagai salah satu elemen penting negara.

Menandai pergantian era dengan sebuah kata atau kalimat penuh makna seperti yang dilakukan bangsa Jepang mungkin sudah menjadi tradisi turun temurun dari dahulu hingga sekarang. 

Makna yang tersimpan dibalik kata-kata yang diusung sebuah era baru bisa dikatakan sebagai misi besar yang diusung oleh generasi masa itu. Kita semua tahu bahwa pada tahun 1945 bangsa Jepang luluh lantak oleh karena serangan bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki. 

Namun saat ini Jepang adalah satu dari beberapa negara dengan peringkat ekonomi terbaik di dunia. Jika membandingkan dengan Indonesia, pada tahun 1945 justru kita tengah menikmati euforia kemerdekaan. Sebuah kondisi yang sangat bertolak belakang dengan apa yang dialami oleh bangsa Jepang.

Meskipun demikian, bertahun-tahun berselang ternyata kondisi yang dialami oleh dua bangsa ini juga masih bertolak belakang. Dalam artian Jepang begitu pesat perkembangannya, sedangkan Indonesia hanya berjalan pelan.

Orde lama, orde baru, dan reformasi mungkin adalah era yang dilalui bangsa kita. Dari setiap era itu hampir selalu menyelipkan cerita pergantian kekuasaan yang tidak bisa dibilang mulus. Pergantian dari order lama ke orde baru terselit cerita supersemar yang masih menjadi misteri serta kontroversi hingga saat ini. 

Periode order baru ke reformasi pun ditandai dengan badai krisis moneter yang luar biasa. Mahasiswa turun ke jalan, gedung wakil rakyat dikuasai, penjarahan merajalela, dan chaos terjadi dimana-mana. 

Presiden Soeharto lengser keprabon digantikan wakilnya waktu itu, B.J. Habibie. Pasca reformasi yang sudah melewatkan lima kepemimpinan presiden sejak masa pemerintahan B.J. Habibie, Megawati Soekarno Putri, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingga sekarang Joko Widodo (Jokowi). 

Seberapa besar perkembangan bangsa kita sejauh ini? Mungkin akan banyak sekali silang mendapat dalam menilai pencapaian bangsa kita sedari masa kemerdekaan hingga sekarang. 

Namun jika melihat potensi besar yang kita miliki sebagai bangsa Indonesia, semestinya kita mampu berkembang sepesat dan bahkan lebih baik dari banga Jepang. Siapa yang berani memungkiri kekayaan alam Indonesia? Siapa yang akan memungkiri besarnya warisan budaya bangsa kita? Lantas apa yang membuat kita seakan kini jauh tertinggal dari bangsa Jepang ataupun bangsa-bangsa lainnya?

Sebuah lirik dari lagu Indonesia Raya mungkin memberikan gambaran tentang satu hal penting yang seharusnya lebih diutamakan daripada yang lain. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya. 

Jiwa bangsa adalah tahap awal yang mesti diperhatikan. Ketika Jepang hancur akibat bom atom tahun 1945, Kaisar Hirohito yang waktu itu berkuasa bertanya kepada rakyatnya, "Berapa guru yang masih hidup?" Ia tidak menanyakan berapa jumlah angkatan perang yang masih tersisa atau berapa banyak sumber-sumber penting seperti kendaraan, senjata perang, sumber daya alam, atau sejenisnya. 

Mengapa guru yang menjadi prioritas pertanyaan sang kaisar? Karena Kaisar Hirohito menyadari pentingnya membangun kualitas pemikiran bangsa, dan itu hanya bisa dilakukan apabila mereka memiliki tenaga pendidik yang memadai. 

Nama era kekaisaran disaat Kaisar Hirohito berkuasa adalah "Showa" yang bermakna harmoni yang tercerahkan. Sebuah era dengan makna filosofis untuk menciptakan tatanan bangsa yang penuh harmoni. Terlepas dari kebijakan bangsa Jepang waktu itu yang menginvasi sebagian bangsa asia lain, harus diakui bahwa bangsa Jepang telah berhasil membangun bangsanya dan bangkit dari keterpurukan masa lalu.

Mambangun Jiwa Indonesia

Jiwa bangsa adalah prioritas utama, baru kemudian badan mengikuti. Dengan kata lain, membangun manusia itu harus lebih diprioritaskan daripada sekadar membangun infrastruktur, membangun jalan tol, membangun rumah-rumah, membangun bendungan, atau membangun mercusuar. Percuma saja memiliki fasilitas megah tapi jiwanya rapuh. 

Percuma saja memiliki infrastruktur modern tetapi pemikiran dan jiwa masyarakatnya terbelakang. Jika kita secara jernih melihat perkembangan pendidikan bangsa Indonesia maka kita tidak akan memungkiri bahwa masih sangat banyak ditemui saudara-saudara kita yang sulit mendapatkan akses pendidikan atau menerima pendidikan bermutu rendah. 

Jiwa bangsa kita harus diutamakan pembangunannya, itulah amanah yang disampaikan oleh bapak pendiri bangsa kita melalui sebaris kalimat pada lagu Indonesia Raya.

Membangun jiwa bangsa Indonesia adalah prioritas pertama membangun peradaban bangsa (Ilustrasi gambar : www.aida.or.id)
Membangun jiwa bangsa Indonesia adalah prioritas pertama membangun peradaban bangsa (Ilustrasi gambar : www.aida.or.id)

Mungkin saya kurang memahami secara luas makna membangun jiwa bangsa, namun jika berkaca pada bangsa-bangsa yang telah berkembang secara luar biasa seperti bangsa Jepang semestinya kita bisa melihat realitas bahwa mempelajari ilmu pengetahuan dari bangsa-bangsa lain yang lebih berkembang serta memadukannya dengan kearifan lokal merupakan kunci menuju kemajuan. 

Jika bangsa Jepang begitu bangga dengan warisan Samurai berikut budaya yang dibawanya, maka kita pun sebenarnya memiliki warisan budaya yang jauh lebih luar biasa. Coba kita sedikit menoleh kebelakang tentang masa jaya kerajaan masa lalu seperti Sriwijaya atau Majapahit. 

Pernahkah kita melihat lebih jauh nilai-nilai mulia yang membawa kedua kerajaan tersebut mencapai masa jayanya? Benar apa yang dikatakan oleh Bung Karno tentang JAS MERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah. 

Maju mundurnya, atau bangkit terpuruknya bisa kita pelajari dari masa lalu. Kita telah melihat peralihan kekuasaan berjalan dengan tidak sebagaimana mestinya pada era orde lama ke order baru atau order baru ke reformasi. 

Beberapa hari menjelang pemilihan umum (pemilu) pada 17 April 2019 nanti semestinya kita semua ikut memikirkan dan memberikan aksi tentang bagaimana nasib bangsa kita lima tahun kedepan. 

Siapapun yang terpilih nanti sebagai pemegang amanah rakyat mungkin tidak perlu mendeklarasikan kalimat penanda sebuah era sebagaimana tradisi bangsa Jepang. 

Namun pemimpin yang terpilih nanti tetap harus mendeklarasikan tentang visi utamanya membangun bangsa ini. Terutama menciptakan generasi manusia Indonesia yang berhati nurani serta berpengetahuan luas. Masih ada didalam ingatan saya tentang sebuah harapan besar dari para orang tua terhadap anak-anak mereka, yaitu tentang keberadaan sebuah generasi penerus yang "Berotak Jerman, Berhati Mekah."

Sebuah harapan orang tua yang dimala lalu begitu mengagumi sosok cerdas seperti Bapak B.J Habibie yang menempuh studinya di Jerman atau keberadaan ilmuwan besar kelahiran Jerman seperti Albert Einstein. 

Mekah adalah kiblat umat muslim dimana disana adalah awal mula hati nan suci diasah. Memadukan intelektualitas mumpuni dengan hati yang bersih adalah gambaran tentang hebatnya manusia. 

Bisa dibayangkan betapa luar biasa ketika memiliki generasi-generasi penerus yang hati dan pikirannya seperti itu. Mungkin tidak akan ditemukan saling hujat, menjatuhkan, atau mempermalukan sesama anak bangsa.

Bangsa Jepang telah menyiapkan era baru dengan harapan menjadi bangsa yang disirami ketertiban serta harmoni didalam masyarakatnya. Bagaimana dengan kita? Apa harapan kita untuk negeri kita tercinta ini?  Apakah kita juga mendambakan "reiwa" untuk negeri ini? 

Ketika harapan atau impian untuk bangsa kita saja sudah tidak ada, lalu bagaimana mungkin kita akan menemukan realitas dari impian itu? Selamat membangun harapan baru wahai negeriku.

Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun