Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Perlukah Menghadirkan Kotak Kosong pada Pemilu Nanti?

28 Maret 2019   13:13 Diperbarui: 28 Maret 2019   13:30 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Golput adalah bagian dari pilihan yang harus diatasi dengan cara yang bijak (Ilustrasi golput: cdn2.tstatic.net)

Belakangan ini tengah hangat diperbincangkan seputar fatwa haram golput oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memicu polemik dan juga kontroversi di masyarakat. Dalih yang diajukan terkait fatwa golput ini adalah agar supaya segenap lapisan masyarakat ikut berperan aktif dan bertanggung jawab menentukan pemimpin bangsa.  Sebuah niatan yang baik dan positif sebenarnya. 

Namun terlepas dari pemberitaan bahwa apakah golput haram merupakan fatwa resmi dari pihak MUI atau sekadar himbauan kepada masyarakat agar menggunakan hak pilihnya pada saat pemilu 17 April nanti, satu hal yang bisa kita tangkap disini adalah tentang keberadaan komunitas masyarakat yang enggan untuk memilih kandidat pemimpin yang tersedia. 

Alasan dari orang-orang yang golput ini bisa jadi beraneka ragam. Tidak ada kandidat pemimpin yang sesuai harapan, malas datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), ingin memanfaatkan hari libur untuk refreshing  atau liburan, atau anggapan bahwa mengikuti pemilu harus kembali ke kampung halaman masing-masing. Jika alasan golput adalah karena keengganan untuk berangkat ke TPS atau karena memilih untuk berlibur, maka edukasi perihal pentingnya memilih perlu disosialisasikan kepada mereka. Apabila diberikan pemahaman yang baik, mungkin mereka akan bersedia menggunakan hak pilihnya. 

Sedangkan mereka yang beranggapan kalau memilih itu harus pulang kampung halaman terlebih dahulu cukup diberikan pemahaman tentang bagaimana cara menggunakan hak pilih di luar daerah yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka. Berbeda halnya dengan orang-orang yang tidak memilih karena menganggap ketiadaan pemimpin yang pantas untuk dipilih. 

Kondisi ini bukan lagi sekedar masalah teknis seperti pemahaman harus pulang kampung untuk memilih atau masalah prioritas memberdayakan waktu pribadi seperti malas datang ke TPS dan memprioritaskan liburan daripada ikut menggunakan hak pilih.  Orang-orang yang menganggap bahwa semua kandidat yang tersedia tidak memiliki kelayakan sebenarnya menginginkan alternatif lain yang dianggap lebih baik dari semua kandidat yang sudah ada.  

Hal ini yang mungkin perlu dibaca dan dipahami lebih jauh oleh semua pihak yang terlibat. Juga menjadi seruan agar semakin banyak orang diluar sana yang berani menawarkan diri berdasarkan gagasan yang dimilikinya, bukan sekadar dilandasi tingkat popularitas atau elektabilitas. 

Masalahnya sekarang, orang-orang yang populer dimata publik atau memiliki nilai elektoral tinggi dianggap cukup mumpuni dan layak diusung menjadi pemimpin.  Meski mungkin sebenarnya mereka tidak memiliki gagasan yang baik sebagai seorang pemimpin.

Fenomena pemilihan umum presiden satu dekade terakhir ini menunjukkan bahwa popularitas dan tingkat elektabilitas sebagai faktor terpenting menuju kursi orang nomor satu di negeri ini. Lembaga survei seolah begitu berkuasa menjadi narasumber yang menentukan kandidat-kandidat pemimpin bangsa. 

Orang-orang hebat yang memiliki kapasitas mumpuni sebagai seorang pemimpin, tapi namanya tidak mengemuka di hadapan lembaga survei kecil sekali kemungkinannya untuk maju menjadi pemimpin bangsa. Jangankan menjadi pemimpin, menjadi kandidat pemimpin saja belum tentu. Hal ini sudah terlihat jelas pada lima tahun terakhir ini dimana sosok calon presiden hanya mengerucut pada dua nama saja, Joko Widodo dan Prabowo Subianto. 

Mungkin nama-nama tokoh lain ada yang mengemuka, akan tetapi mereka tidak lebih dari sekadar nama yang "diusulkan" oleh beberapa kalangan sebagai kandidat pemimpin. Sehingga tidak mengherankan apabila pemilu presiden 17 April nanti hanya menyajikan dua pasang kontestan saja. Karena tokoh-tokoh lain sudah terlebih dahulu "menggugurkan diri" sebelum mencalonkan diri karena "minder" dengan elektabilitas yang mereka miliki. 

Terlebih untuk maju sebagai calon presiden membutuhkan dukungan partai politik dengan total prosentase parlemen minimal 20% atau lebih. Para tokoh dengan popularitas kecil tidak akan dilirik oleh partai politik. Akibatnya, kontestasi menuju orang nomor satu Indonesia terasa kurang menarik. 

Bandingkan dengan pemilu 2004 yang lalu dimana waktu itu mempertarungkan lima pasang calon presiden dan wakil presiden. Saat itu belum ada lembaga survei yang mengerucutkan nama-nama kandidat sebagaimana saat ini. Persaingan saat itu begitu hidup.

Apakah hal ini menunjukkan bahwa keberadaan lembaga survei mengurangi kualitas berdemokrasi? Mungkin tidak. Bagaimanapun juga lembaga survei memiliki peranan penting dalam membangun demokrasi, tentu dengan catatan bahwa lembaga survei yang ada tidak sekadar menjadi alat politik beberapa golongan saja. 

Sebagai sebuah pesta demokrasi, pemilihan umum di tanggal 17 April 2019 nanti merupakan kesempatan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk ikut bersuara menentukan nasib bangsa di masa mendatang. Pertanyaannya adalah apakah setiap anggota masyarakat yang sudah memiliki pilihannya masing-masing diharuskan hanya memilih satu dari sekian kandidat yang tersedia saja? 

Bagaimana seandainya seorang anggota masyarakat sudah memiliki kandidat tertentu akan tetapi kandidat tersebut tidak bisa mencalonkan diri untuk dipilih karena tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan? Barangkali hal inilah yang dipahami oleh sebagian orang yang memilih untuk golput atau abstain untuk memilih satu dari sekian kandidat yang ditawarkan. 

Jikalau para golput ini memang diharuskan datang ke TPS memberikan suaranya, maka mungkin pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menyediakan satu kotak suara lagi sebagai wadah aspirasi untuk memilih kandidat lain yang mereka anggap pantas. Toh dengan memberikan hak suara bukankah itu berarti kita sudah tidak golput lagi? 

Terkadang kita harus memahami bahwa masih banyak dari masyarakat kita yang mengharapkan munculnya kandidat pemimpin baru pembawa perubahan atau tokoh-tokoh lama namun dengan membawa gagasan-gagasan baru. Tokoh-tokoh yang penuh gagasan pasti masih banyak bertebaran di luar sana. 

Kalaupun saat ini masyarakat kita dihadapkan pada keterbatasan sosok calon pemimpin bangsa, setidak-tidaknya para pemimpin yang ada haruslah menawarkan gagasan-gagasan baru yang menjanjikan lebih baik daripada sebelumnya. Semua pihak harus ikut berkaca terkait mengapa angka golput tinggi. 

Mengurangi angka golput bukanlah dengan memfatwakan haram golput dengan tujuan memaksa masyarakat datang menggunakan hak pilihnya. Kesadaran dirilah yang diperlukan. Mendesain pesta demokrasi agar semarak dan membangkitkan antusiame dalam memilih. 

Kreativitas sebagian masyarakat yang mengemas TPS-TPS menjadi terlihat menarik adalah salah satu cara yang jauh lebih efektif menggugah minat masyarakat dibandingkan memberi fatwa haram.  Sudah bukan lagi zamannya lagi menggerakkan seseorang menggunakan cara-cara yang memaksa. 

Terlibat dalam pesta demokrasi seperti pemilu memang semestinya disadari urgensinya oleh segenap masyarakat kita. Tapi kita harus menyadari bahwa ada sebagian dari anggota masyarakat kita yang perlu sedikit "dorongan" untuk dapat menyadari itu. Mungkin kita perlu belajar dari musisi yang menciptakan lagu ajakan datang ke TPS atau para warga yang mendesain kreatif TPS-nya sehingga mengundang minat warga untuk datang melihat kemudian memberikan hak pilihnya. 

Berdemokrasi seharusnya bukanlah sebuah paksaan atau ancaman. Akan tetapi berdemokrasi adalah proses kreatif menuju tatanan baru yang memperbaiki kualitas serta taraf hidup masyarakat. Penting bagi masyarakat terlibat untuk mengajak serta seluruh warganya berpartisipasi aktif menggunakan hak pilihnya. 

Namun yang jauh lebih penting adalah bagaimana setiap kandidat pemimpin yang ada mampu menawarkan gagasan-gagasan yang benar-benar efektif memberikan perubahan dan perbaikan. Pada akhirnya, pesta demokrasi mengharuskan keterlibatan secara utuh segenap elemen masyarakat mulai dari puncak hingga paling bawah. 

Salam hangat,

Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun