Keseharian kita tidak pernah luput dari interaksi dengan orang lain. Seorang anak dengan orang tuanya, pekerja dengan atasannya, pengusaha dengan konsumennya, sesama rekan sejawat, dan lain sebagainya.Â
Setiap interaksi yang terjadi tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan pendapat, salah persepsi, miskomunikasi, atau ketidakpuasan terhadap suatu kondisi dari satu pihak ke pihak lainnya.Â
Hal ini seringkali menjadi pemicu naiknya emosi dari masing-masing pribadi terkait rasa tidak puas dan juga kecewa. Kondisi ini pada akhirnya memunculkan kemarahan dari satu pihak ke pihak lain.Â
Orang tua memarahi anaknya, atasan memarahi bawahannya, dan seterusnya. Kemarahan merupakan wujud dari ego pribadi yang memiliki suatu keinginan tapi keinginan tersebut mengalami kendala dalam proses pencapaiannya.Â
Seperti halnya seorang atasan yang marah karena instruksi yang dia berikan kepada anggota tim ternyata tidak berjalan sebagaimana seharusnya, atau orang tua yang memarahi anaknya karena sang anak melakukan sedikit "pembangkangan". Dalam buku Emotional Intellegent, Daniel Goleman menyebutkan bahwa kemarahan adalah bentuk pembajakan emosi.Â
Dengan kata lain kita kehilangan kendali terhadap emosi kita. Ada sebuah sistem diotak kita yang mengambil alih kendali dalam waktu sangat cepat sehingga sejenak kita seperti "kehilangan" diri kita sendiri.Â
Kita baru menyadari beberapa waktu setelahnya dan biasanya ada sedikit rasa sesal ketika kemarahan itu diluapkan kepada orang lain.
Namun apakah kita pernah mempertanyakan lebih jauh perihal efek yang ditimbulkan dari kemarahan yang kita luapkan kepada orang lain itu? Beberapa kali saya mendengar sebuah pernyataan dari orang-orang sekitar bahwa seorang pemimpin itu harus bisa marah.Â
Benarkah demikian? Apakah benar bahwa kita harus marah untuk memberikan efek jera terhadap kesalahan yang dilakukan oleh orang lain, oleh rekan kita, oleh kerabat kita, oleh anggota tim kita?
Nabi Muhammad SAW, tokoh utama panutan umat Islam memberikan nasihat yang begitu luar biasa terkait hal ini. Jangan marah. Nasihat ini beliau ulang sampai tiga kali kepada salah seorang sahabat yang meminta nasihat kepada beliau. Artinya apa?Â
Kemarahan itu harus diredam. Amarah itu sebaiknya ditahan. Dale Carnagie dalam bukunya How to Win Friends & Influence People menyimpulkan bahwa tidak ada kemarahan yang memberikan dampak positif terhadap jalinan komunikasi antar pribadi atau membuat seseorang yang menjadi objek kemarahan lebih loyal dan antusias dalam memberikan energi positifnya.
Apa yang kita rasakan sebagai pribadi tatkala menjadi pelampiasan kemarahan orang lain? Senangkah kita? Tidak. Bahagiakah kita? Tidak. Sepakatkah kita dengan kemarahan itu ditimpakan pada diri kita?Â
Dale Carnagie menyebutkan bahwa hanya satu kali saja kita menyetujui kritik dari 100 kali kritik yang dilemparkan kepada kita. Setiap orang memiliki kecenderungan defensif untuk melindungi dirinya. Ini naluriah.Â
Sehingga efek dari kemarahan tidak akan memberikan kontribusi signifikan dalam mencapai kemajuan. Impact-nya minimalis, energi positifnya sangat kecil. Kemarahan hanya akan menghasilkan emosi negatif.Â
Menurut Daniel Goleman dalam buku Focus, emosi negatif adalah motivator yang buruk. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemarahan adalah bentuk motivasi yang buruk dari seseorang kepada orang lain, entah itu orang tua kepada anaknya ataupun atasan kepada bawahannya.
Memimpin itu artinya mengendalikan. Mengendalikan tidak hanya orang lain, tetapi juga mengendalikan dirinya sendiri. Dalam artian di sini bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki kendali diri yang baik. Kendali atas emosinya.Â
Kendali atas amarah yang bisa kapan saja hadir. Kendali diri adalah bentuk keterampilan yang bisa dilatih. Hal ini sudah saya utarakan dalam tulisan artikel kompasiana saya yang lain.Â
Kendali diri bukan bakat bawaan, tapi lebih kepada kemampuan yang bisa terus diasah dari waktu ke waktu. Terkait dengan bagaimana menjaga amarah, beberapa hal yang bisa kita lakukan adalah:
1. Memberikan sugesti yang meredam amarah pada diri. Misalnya, "Sabar, sabar, sabar!", "Jangan emosi.", atau bagi kita yang beragama Islam bisa mengucapkan kalimat, "Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk.", dan mengucap istighfar juga bisa menjadi cara yang ampuh untuk memberikan sugesti menenangkan pada diri sendiri.
2. Diam (tidak berbicara). Hal ini perlu dilakukan agar kita tidak mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati orang lain, atau menciptakan perasaan tidak nyaman kepada lawan bicara kita.Â
Lisan kita itu laksana pedang. Ketika ia tidak dikendalikan dengan baik maka akan memberikan sayatan yang menyakitkan hati orang lain, atau menciptakan kerugian yang lebih besar dari itu.
Oleh karenanya sangat penting menjaga level emosi, serta tetap sadar terhadap segala tindakan ataupun ucapan yang akan kita lakukan tatkala berada pada situasi marah. Diam akan menetralisir pikiran kita, menjernihkan emosi kita, dan menjaga kita agar tetap bersikap bijaksana dalam memandang suatu peristiwa.
3. Mengubah posisi tubuh tatkala amarah mulai merasuki diri.Ketika dalam situasi marah kita berada dalam keadaan berdiri, maka kita harus berubah ke posisi duduk. Tatkala kemarahan kita timbul disaat duduk, maka merubah posisi menjadi berbaring.
Harus ada sentakan pengganggu terhadap sistem motorik kita agar kemarahan itu tidak semakin menjalar dan membajak sistem emosi kita.
4. Berwudhu. Bagi seorang muslim mengambil wudhu adalah cara yang bisa dilakukan dalam rangka meredakan tensi emosi yang tengah meninggi. Kemarahan itu laksana api yang membara, ia harus dipadamkan dengan air nan sejuk.
Ketegangan yang ditimbulkan akibat kemarahan akan mengendur setelah mendapatkan basuhan air wudhu. Bara kemarahan yang biasanya terlihat dari memerahnya wajah karena marah akan meredam seiring aliran air yang mengenainya.
Ketika amarah sudah terkendali, maka kita sudah siap untuk menjadi pemimpin yang dapat mengaktifkan semangat terpendam yang ada didalam diri anggota tim kita.Â
Energi kemarahan yang sebelumnya sempat menyulut diri seorang pemimpin, selanjutnya akan mampu dinetralisir dan diubah menjadi energi baru yang dapat lebih mempositifkan orang lain.Â
Terkadang seorang pemimpin akan menerima kemarahan dari atasannya atau dari orang lain yang memiliki kewenangan lebih. Akan tetapi hal itu bukan berarti ia juga perlu menularkan kemarahan itu kepada orang lain, terlebih anggota timnya.Â
Seringkali seorang pemimpin harus mampu meredam, menetralisir, dan menjadikan kemarahan yang ia terima sebagai energi terbarukan yang lebih bersahabat.Â
Akan jauh lebih baik lagi tatkala tidak ada lagi kemarahan yang ditumpahkan dari satu orang ke orang lain, sehingga sebuah tim akan mengalami kondisi damai dan bersahabat.
Salam,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H